Tak hanya soal pekerjaan yang harus negeri seperti PNS, menempuh pendidikan pun harus negeri pula di PTN.
Saya tidak habis pikir, bagaimana pemikiran buruk semacam itu bisa merajalela pada bangsa kita. Seolah-olah, tolok ukur suatu kesuksesan adalah jika kalian dapat berkecimpung pada apa pun yang berbasis negeri. Kerja negeri, kuliah negeri, bahkan kalau ada, buang air juga di toilet berbasis negeri.
Kenapa kita berbondong-bondong untuk kuliah di negeri sembari mengabaikan, menomorduakan, bahkan menomor sekiankan kampus swasta? Banyak di antara kita yang ketika dinyatakan tidak lulus PTN akhirnya melarikan diri ke PTS. Seolah-olah, “Ya sudah lah, yang penting kuliah, swasta pun tidak papa.”
Kalau menengok data Statistik Pendidikan Tinggi 2021, jumlah mahasiswa baru secara nasional terbanyak itu dari PTS, persentasenya mencapai 43,62 persen dari keseluruhan mahasiswa baru. Di bawahnya, ada PTN yang hanya 40,48 persen dan sisanya adalah mereka yang kuliah PTK dan PTA.
Dari data itu, kita dapat lihat, jumlah kursi PTS dan PTN itu tidak jauh berbeda sebenarnya, tapi kenapa PTS diposisikan sebagai cadangan? Kenapa PTS begitu direndahkan? Apakah benar ini soal kualitas? Ataukah ini soal kebijakan yang tebang pilih? Apakah mungkin ini persoalan daya saing yang berjenjang? Atau apa?
PTS Tak Kalah Saing
Mohon maaf, lho, ya, sebelumnya, jika kita ngomongin kualitas, menurut saya kampus swasta itu tidak kalah saing dengan kampus negeri. Bahkan, tidak sedikit kampus swasta yang melampaui negeri dan mampu bersaing di kancah internasional. Kampus-kampus seperti Universitas Bina Nusantara (Binus), Universitas Telkom, Universitas Katolik Atma Jaya Indonesia, dan yang lainnya menduduki peringkat 1000 besar dunia menurut QS WUR 2024. Itu artinya, kualitas kampus-kampus itu tidak perlu dipertanyakan lagi, dong?
Di Surabaya, misalnya, ada Universitas Ciputra yang kiblatnya sudah bukan skala nasional lagi. Kiblatnya sudah ke luar negeri, seperti kampus-kampus yang mencetak banyak alumni berbasis konglomerasi di sana. Ketika dibandingkan dengan kampus lain di Surabaya, memasuki UC bak memasuki kampus yang bukan lagi di Indonesia. Di sana, seolah-olah kita berada di kampus luar negeri.
Prospek Kerja
Berdasarkan amatan saya, teman-teman yang kuliah di kampus swasta itu lebih gercep diterima kerja dibandingkan teman-teman yang kuliah di kampus negeri. Dalam statistik pegawai Tokopedia per Februari 2020 di laman LinkedIn Tokopedia, alumni Universitas Binus menempati posisi kedua dengan total 352 orang. Di posisi pertama, pegawai Tokopedia berasal dari Universitas Indonesitas sebanyak total 355 orang. Di sini, Binus boleh dikatakan melampaui kampus-kampus negeri lain di bawahnya seperti ITB, UGM, IPB, dan lain sebagainya.
Bahkan, tidak jarang mereka yang kuliah di PTS itu sudah ada yang kerja sambil kuliah. Jadi, mereka kuliah bukan untuk mencari kerja, tapi untuk menaikkan jabatannya di tempat kerja. Ibaratnya, mahasiswa PTN maju selangkah dengan kebanggaan diterima kuliah negeri, tapi anak PTS sudah maju sepuluh langkah dengan kebanggaan bakal naik jabatan.
Kenapa ini bisa terjadi? Banyak faktor yang melatarbelakanginya, mulai dari keuletan mahasiswa PTS, fleksibilitas kuliah di PTS, jejaring yang lebih luas, mekanisme kebijakan kampus PTS yang berorientasi prospek kerja, dan lain sebagainya.
Namun, terlepas dari kemegahan yang didapat itu, PTS masih menjadi pilihan nomor kesekian bagi banyak calon mahasiswa. Bahkan, kalau tidak saking mentoknya, mereka tidak bakal kuliah di PTS.
Birokrasi yang Pilih Kasih
Sudah sejak lama, bahkan semenjak Kemendikbudristek itu berdiri dan menaungi seluruh perguruan tinggi swasta maupun negeri, kampus swasta diberi kewenangan sebesar-besarnya untuk mengelola lembaganya sendiri. PTS tak dapat suntikan dana dari pemerintah sehingga dapat bebas mempergunakan dana yang mereka punya. Namun, ini juga berarti PTS mesti bisa mencari pendanaannya sendiri.
Alhasil, tidak mengherankan bila terkadang PTS terseret-seret karena kekurangan dana. PTS yang bekerjasama dengan perusahaan mungkin masih bisa hidup makmur, tapi tidak bagi PTS yang memulai semuanya dari nol dan dari tangan sendiri. Maka dari itu, tidak mengherankan apabila biaya kuliah di PTS itu jauh melampaui PTN.
Biaya kuliah PTS yang tinggi itu bukan karena PTS sekadar mencari untung. Biaya pendidikan itu nantinya terbayar lunas dengan kualitas yang memadai dan pandangan masa depan yang lebih cerah. Tidak perlu menunggu lontang-lantung setelah lulus mau ke mana.
Baca juga:
Di sisi lain, saya menilai birokrasi internal beberapa PTS justru semakin merendahkan PTS itu sendiri. PTS kerap menerapkan masa penerimaan calon mahasiswa yang lebih panjang daripada PTN. Jika PTN hanya membuka tiga gelombang seleksi, PTS bisa membuka 5 hingga sepuluh gelombang seleksi untuk menjemput bola. Periode penerimaan mahasiswa baru yang berpanjang-panjang seperti ini mengesankan PTS menempatkan dirinya sebagai cadangan, alih-alih yang utama.
Seandainya PTS melakukan seleksi secara serentak dengan PTN, maka para calon mahasiswa akan berpikir dua kali untuk menjadikan PTS sebagai cadangan. Sebab, kalau mereka tertolak PTN, mereka tidak bakal bisa kuliah di tahun itu, baik di PTN maupun di PTS. Jadi, mau tidak mau mereka harus mendaftar ke kampus PTN dan PTS sekaligus. Praktik ini akan menempatkan PTS dan PTN pada posisi yang setara.
Agar kampus swasta tak lagi tersisihkan dan terabaikan, perbaikannya tidak cukup hanya dengan meruntuhkan konstruksi publik yang serba negeri itu. PTS perlu merekonstruksi kebijakan-kebijakan internal yang pesimistik pada lembaga mereka sendiri. Memang benar pandangan masyarakat harus diubah, tapi dapur lembaga juga harus berbenah.
Editor: Emma Amelia