Harapan besar pemerintah mencapai Indonesia Emas 2045 bak mimpi di siang bolong, apalagi melihat sistem pendidikan tinggi kita yang masih problematik.
Salah satu hal paling penting dalam menyongsong Indonesia Emas 2045 adalah pembangunan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, sebab pondasi menuju ke sana harus dibangun dengan SDM yang berkualitas. Kualitas SDM yang tinggi akan berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan hidup dan pendapatan suatu wilayah. Mudahnya, ekonomi akan terbangun seiring pembangunan manusianya.
Salah satu jalan peningkatan kualitas SDM adalah lewat perguruan tinggi. Negara-negara yang bisa dikatakan maju hari ini merupakan investasi jangka panjang dari sektor pendidikannya. Sebut saja Jepang, Finlandia, dan Korea Selatan.
Sebelum bisa menantang Amerika Serikat di Perang Dunia II, Jepang melakukan masifikasi pengetahuan dan teknologi besar-besaran. Kala itu pemerintah Jepang mengirim pelajarnya ke Eropa dan Amerika Serikat untuk belajar. Hasilnya adalah pembuatan Mitsubishi A6M Zero–pesawat tempur terbaik pada masanya–yang merupakan buah pikir kaum terpelajar Jepang sendiri. Bahkan selepas mereka diporakporandakan Amerika Serikat dengan bom atom, tidak butuh waktu lama bagi Jepang untuk bangkit dari keterpurukan.
Baca juga:
Begitu juga dengan Finlandia, pada awal abad ke-20, mereka hanyalah negara kecil yang rapuh. Ekspektasi hidup mereka kala itu hanya berada di angka 46 tahun, hanya 6% populasinya yang menjangkau pendidikan dasar. Namun, hari ini Finlandia menjadi salah satu negara maju yang memiliki ekspektasi hidup tinggi dan tingkat kebahagiaan terbaik. Hal ini tidak lepas dari kebijakan “Pendidikan untuk Semua” yang mereka implementasikan sejak tahun 1918-an.
Mereka sadar tidak bisa mengandalkan ekonomi agraria. Oleh karena itu, setelah Perang Dunia II Finlandia berbenah. Negara Skandinavia tersebut fokus pada pengembangan pendidikan dan riset. Perguruan tinggi dibangun, selaras dengan masifikasi akses pendidikan. Mereka meyakini, tidak boleh ada yang tertinggal dalam pembangunan. Hingga hari ini mereka terkenal sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik.
Pola yang sama juga terjadi di Korea Selatan. Negara tersebut memiliki sumber daya ekstraktif terbatas, sehingga sejak era Park Chung-Hee (1961–1979), Korea Selatan membenahi ekonominya seraya meningkatkan akses pendidikan, termasuk pendidikan tinggi.
Saya kira sudah jelas bahwa pola pembangunan ketiga negara maju tersebut disandarkan pada kualitas SDM-nya. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah pendidikan tinggi kita sudah berada di jalur yang benar untuk mencapai target Indonesia Emas 2045?
Dalam hal ini saya pesimis, berikut saya paparkan permasalahan pendidikan kita yang berpotensi menggagalkan peluang Indonesia Emas 2045.
Kultur Buruk Pendidikan Tinggi
Sebagai mahasiswa semester akhir, saya melihat sendiri bagaimana buruknya kultur akademik di kampus kita. Baik dosen maupun mahasiswa sama-sama terkungkung oleh logika mekanis.
Kenapa saya bilang begitu? Di universitas, iklim Tri Dharma Pendidikan–pendidikan, penelitian, dan pengabdian–sudah tidak lagi menjadi tanggung jawab intelektual. Tri Dharma Pendidikan hanya menjadi kewajiban formal untuk meningkatkan syarat administrasi universitas.
Penelitian maupun pengabdian yang dilakukan civitas akademika hanya berlandaskan logika formalitas kerja, bukan atas dasar kebutuhan masyarakat. Alhasil, terciptalah jurnal-jurnal predator, sedangkan dari sisi pengabdian masyarakat, muncul webinar-webinar tanpa manfaat yang diklasifikasikan sebagai pengabdian.
Kultur mekanis-mekanis pun merambah ke mahasiswa. Nalar kritis mereka mati sehingga perkuliahan tidak lagi dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, tetapi hanya pengantar menuju dunia kerja.
Apakah visi Indonesia Emas 2045 bisa kita sandarkan pada logika mekanis seperti ini? Tentu tidak. Mitsubishi A6M Zero yang diciptakan Jepang tidak mungkin diciptakan dengan logika mekanis intelektualnya.
Akses Pendidikan Tinggi yang Rendah
Menurut data yang diperoleh dari BPS, angka partisipasi kasar (APK) perguruan tinggi di Indonesia hanya mencapai 31,16%. Nilai APK juga masih timpang di kelas ekonomi bawah. Pada tahun 2022, hanya 19,46% dari kategori ekonomi kuintil 1 atau penduduk sangat miskin bisa mengakses perguruan tinggi. Hal yang sama juga terjadi pada kuintil 2, hanya 23,17% kategori penduduk miskin bisa masuk kampus. Berbanding terbalik pada ekonomi kuintil 5–kategori penduduk terkaya–yang mencapai angka 51,33% dan kuintil 4 sebesar 32,68%.
Rendahnya akses terhadap pendidikan tinggi juga dapat dikaitkan dengan mahalnya biaya kuliah di Indonesia. Menurut data dari Global Economic, Indicator, Charts and Forecasts, dalam kurun waktu 28 tahun terakhir, biaya kuliah di Indonesia mengalami kenaikan 9900%, sedangkan kenaikan penghasilan rata-rata masyarakat hanya 266%.
Berdasarkan data di atas, lantas bagaimana menciptakan Indonesia Emas 2045 bila akses pendidikan tinggi minim? Apa pada tahun 2045 kita hanya akan bergantung pada lulusan sekolah menengah atas?
Minim Political Will
Apakah pemerintah mampu memperluas akses pendidikan tinggi? Pemerintah selalu berdalih bahwa akses pendidikan tinggi yang terjangkau tidak memungkinkan untuk diwujudkan. Apalagi dengan lanskap anggaran negara yang minim.
Namun sejauh saya kira, sektor pendidikan memang tidak pernah dibangun dengan serius. Kepentingan politik kita cenderung mengedepankan kebijakan yang bersifat populis, seperti pembangunan jalan tol, jembatan, atau fasilitas-fasilitas fisik lain.
Di lain sisi, investasi pada pendidikan sifatnya jangka panjang. Mungkin dampaknya bisa terasa 15 hingga 20 tahun ke depan. Tentu hal ini sangat tidak menguntungkan bagi politisi kita yang hanya memiliki masa jabatan 5 sampai 10 tahun.
Namun, bukan berarti saya menghendaki perluasan durasi kekuasaan presiden, sebab kalau presiden memiliki jabatan 30 tahun tetapi tidak memiliki political will yang kuat dalam pendidikan, ya sama saja.
Baca juga:
Secara postur anggaran, apakah memungkinkan menggratiskan biaya kuliah? Tentu. Kita bisa menghitungnya secara kasar. Misal jumlah mahasiswa di Indonesia pada 2023 berada di angka 9,32 juta orang. Sebanyak 3,38 jutanya berkuliah di perguruan tinggi negeri, sementara 4,49 juta orang berada di perguruan tinggi swasta, sisanya tersebar di perguruan berbasis agama dan akademi pemerintahan.
Katakanlah kita ingin menggratiskan biaya kuliah di PTN. Dengan asumsi biaya kuliah per semester sebesar 9 juta rupiah, hanya dibutuhkan Rp60,8 triliun per tahun untuk mengakomodasi seluruh mahasiswa PTN. Hanya 10% dari total anggaran pendidikan.
Kalau membangun ibu kota megah di tengah Kalimantan dengan biaya Rp466 triliun saja pemerintah mampu, masa investasi pada pendidikan tinggi tidak bisa dilakukan.
Tiga permasalahan tersebut hanya simplifikasi saya, tetapi semuanya berkorelasi dengan peningkatan SDM menuju Indonesia Emas. Kultur buruk pendidikan tinggi harus dipupus, guna menciptakan SDM yang berkualitas.
Selain itu, akses menuju perguruan tinggi harus dibuka semaksimal mungkin, dengan biaya terjangkau atau bahkan gratis. Dengan begitu, siapa pun warga negara, dari golongan apa pun, dapat mengenyam bangku pendidikan tinggi. Dan dengan begitu, fondasi Indonesia Emas 2045 benar-benar dibangun dari SDM yang berkualitas.
Tidak lupa, hal ini harus didorong dengan political will yang kuat. Kalau persoalan ini tidak dipandang serius, visi Indonesia Emas 2045 akan menjadi mimpi siang bolong belaka.
Editor: Prihandini N