Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Tempat Terbaik untuk Mati

Katarina Retno Triwidayati

2 min read

Sejak diprediksi hidupku tak lama lagi, aku memutuskan berhenti minum obat. “Akan kusambut kematian dengan gagah berani,” begitu kataku pada diriku sendiri.

“Tapi, mati tanpa berikhtiar itu bisa masuk kategori mati gagah berani nggak ya?” kataku lagi seraya menuang kopi. Kali ini aku menambahkan sedikit gula. Kau tahu, menambahkan gula pada kopi itu bukan dosa.

Setelah mengaduk kopi, aku malah sibuk memerhatikan pusaran di dalam cangkir. Meski tak lama, rasanya pikiranku ikut berputar-putar. Itu mungkin yang bikin aku punya banyak kemungkinan. “Aku ingin mati di tempat yang aku cintai, syukur-syukur tempat di mana aku merasa dicintai.”

Aku merasa sangat bertekad saat mengatakan itu. “Hmmm, masalahnya itu di mana?”

Sesuatu membuat perutku bergemuruh. Aku mencoba mencari penyebabnya: mungkin roti dengan jamur di pinggir yang tadi kumakan. Kan sayang sekali jika setangkup roti mesti dibuang. Toh jamur-jamur itu hanya berupa titik kecil. Jadi kusingkirkan saja jamur itu dan kumakan sisanya.

Di saat demikian, mataku melihat tas kerjaku. Sebuah ransel yang lusuh. Ada bekas tinta di bagian depan. “Aku mencintai pekerjaanku sebagai guru. Pasti akan menyenangkan sekali kalau aku mati mendadak saat sedang mengajar. Bayangkan, membeti materi, mengajak anak-anak berdiskusi, lalu malaikat maut datang dan mengajakku pulang. Lalu braaakkk … aku tersungkur di sana: di antara ilmu-ilmu dan pengetahuan baru, di antara para anak muda yang akan menjadi penerus bangsa …”

Aku meringis. Oh, astaga, imajinasiku boleh juga. Perutku kembali terasa sakit. Seperti diremas-remas dan rasa panas menjalar ke dadaku. Aku mengabaikan rasa sakit dan memilih menyesap kopi. Saat itulah sebuah ide mampir lagi.

“Atau … aku mati saat membaca buku. Mungkin bukunya Okky Madasari yang bersuara lantang tentang kemanusiaan. Bisa jadi saat membaca bukunya Iksaka Banu yang butuh riset lama karena … ah, aku lebih suka cerpen-cerpennya di Ratu Sekop daripada fiksi sejarahnya yang cemerlang itu. Ya, itu semata-mata karena aku tidak sanggup membaca dengan cepat buku-bukunya. Katakanlah ini cuma karena aku pengin bisa dianggap pembaca yang cepat saja. Atau saat aku membaca bukunya Iqbal Aji Daryono? Aku selalu merasa sedang ngobrol saat baca tulisan-tulisannya itu. Tapi, mungkin aku mati saat membaca buku penulis yang lain. Pasti rasanya menyenangkan saat tiba-tiba mati di antara buku-buku, sumber imajinasi dan berbagai informasi.”

Aku terkikik. Tepat pada saat yang sama, perutku kembali sakit. Kali ini rasanya tak hanya melilit, tapi juga panas yang menyebar ke dada. Seperti sesuatu menghantam perutku. Aku merasa mual.

Oh, aku sedikit menyesali keputusan minum kopi. Saat sesuatu mendesak-desak dari lambung menuju mulutku, aku lekas menuju kamar mandi. Tak ada wastafel di rumah kecilku. Aku akan membuang itu ke dalam lubang wc.

Sialnya, tak ada sesuatu yang keluar dari mulutku. Sesuatu itu kembali mendesak dan membuat perutku nyeri. Aku memutuskan meraih sebatang rokok yang ada di rak dan menyalakannya seraya berjongkok. Mungkin, aku perlu mengeluarkan sesuatu yang menyakitkan itu dari lubang yang lain.

Saat mengamati liukan asap rokok, aku teringat pada tubuh sintal, hangat, dan lengket di tubuhku. Rasanya itu belum lama berlalu. Perempuan dalam pelukanku itu menangis setelah kubilang harapan hidupku tak lama lagi. Dia memelukku erat. Dia mengucap kata cinta dan bilang akan terus setia.

“Ah, ya, aku akan mati di pelukan kekasihku. Dalam sebuah pelukan intim, dengan hujan kata cinta yang sangat romantis. Ah, kayak film-film saja. Kekasihku pun akan melepasku penuh cinta. Ya, memang ada air mata di sana. Tapi dia akan kembali bahagia. Sebab katanya, begitulah cinta, deritanya tiada akhir. Astaga aku mengutip kata-kata Patkai. Maksudku, kekasihku itu punya hati tabah. Dia akan tetap kokoh berdiri dan seperti janjinya akan menemaniku sampai akhir nanti.”

Aku merasa harus menyiram sesuatu meski saat kulirik dalam lubang tak ada apa-apa di sana. Pikiran meninggal dalam pelukan itu sangat romantis dan membuatku geli. Jadi aku mencoba mencari alternatif tempat terbaik untuk mati.

“Mati saat berdoa adalah sebaik-baiknya cara mati. Aku tengah dekat-dekatnya dengan Tuhan. Ya, lebih dari kekasihku, harusnya aku lebih dekat dengan Tuhanku. Jadi, mati saat berdoa adalah hal terbaik untuk dilamunkan,” kataku seraya membuang puntung rokok ke ujung kamar mandi yang basah. Bara di ujung rokok menyala sesaat sebelum padam. Asapnya pun lekas hilang.

Tepat saat itulah, nyeri di dadaku kembali terasa. Aku pun menyadari sesuatu seperti mencekik leherku. Kepalaku terasa dipukul berkali-kali. Napasku pendek-pendek. Sesuatu mendesak untuk keluar dan aku bisa mencium aroma tak sedap itu sesaat.

Tapi aku seperti telah mengerahkan seluruh tenaga. Aku merasa seperti pelari yang sudah di garis finis. Sebuah kesadaran pelan merayap di otak kecilku. Aku tak merancang kematian di sini, dalam kondisi seperti ini.

Tidak. Aku belum sebaik-baiknya mendampingi murid-muridku. Aku belum tuntas membaca buku. Ada banyak buku dalam sampul plastik yang belum kubuka. Aku belum mencium dan mengatakan sangat mencintai kekasihku. Aku juga belum berdoa dengan benar, bahkan sepertinya aku sudah lama tidak berdoa.

Kucengkram dadaku. Kuingin memaksa jantungku terus bekerja. Namun, aku mesti tersungkur. Dan saat itulah aku tahu sebaik-baiknya tempat untukku mati adalah tempatku merasa selesai.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Katarina Retno Triwidayati
Katarina Retno Triwidayati Ibu dua anak, merdeka, dan berbahagia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email