Apa jadinya konsep dan alat yang baik dijalankan oleh orang-orang yang kurang kompeten serta ekosistem yang kurang mendukung? Tentunya akan kurang maksimal dan berpotensi gagal. Begitulah nasib Kurikulum Prototype nantinya. Seperti kurikulum yang sudah-sudah, juga akan layu sebelum berkembang. Slogan ganti menteri ganti kurikulum semakin jelas adanya. Walaupun Kurikulum Prototype ini disebut penyempurna kurikulum sebelumnya, tetap saja ada kesan ini bahasa politis semata.
Sejak kemerdekaan, kurikulum pendidikan telah berubah sebanyak 11 kali. Meskipun disebut berubah, irisan dan cirinya hampir mirip-mirip. Perubahan yang diharapkan menjadikan kualitas pendidikan lebih baik, nyatanya tidak. Kualitas kita sebagai bangsa dan negara cenderung menurun. Korupsi masih membudaya. Disrupsi gagal diimbangi, kesejahteraan gagal dicapai, kesenjangan semakin melebar, hukum tetap tebang pilih, kriminalitas meningkat, dan isu toleransi masih jadi bahan adu domba. Terkini, bonus demografi nyatanya cuma sebatas kalkulasi kuantitatif semata.
Pendidikan yang diharapkan menjadi modal utama pembentukan karakter dan budaya bangsa, cuma menjadi pelengkap institusi-lembaga dan penggugur kewajiban. Padahal, hampir 20% dana APBN digelontorkan di ranah tersebut. Jadi, apakah perubahan kurikulum adalah jalan keluar praktis yang solutif untuk pendidikan? Jelas tidak sesederhana itu.
Permasalahan pendidikan itu cukup kompleks. Harus benar-benar dimulai dari hulu ke hilir. Ekosistem pendidikan selama ini masih compang-camping. Bagaimana kualitas guru, budaya literasi, serapan dana pendidikan, dukungan SDM dan lingkungan, serta kontrol kebijakan selama ini? Belum ada jawaban yang melegahkan. Kita tidak bisa tutup mata, bahwa elemen dasar tersebut belum benar-benar siap.
Baca juga: Kegagapan Sistem Pendidikan di Era Digital
Jadi, selama belum ada perbaikan, penyadaran, dan persiapan pada hal dasar tersebut, apa pun bentuk perubahannya akan mendapatkan hasil yang berulang sama. Tidak ada satu solusi atau satu bentuk kurikulum yang manjur memecahkan kompleksitas problem pendidikan, selama ekosistem dasar pendidikan itu sendiri luput dari perbaikan dan pembentukan.
Pendidikan Gaya Bank
Kurikulum Prototype itu baik secara konsep. Banyak negara yang telah menerapkannya, walaupun permodelannya berbeda. Menekankan pembelajaran pada kebutuhan dan kebebasan siswa. Mengedepankan interaksi pada lingkungan tinggal dan hidup. Menguatkan karakter berbangsa. Penguatan literasi dan numerasi. Serta adanya kesinambungan pengetahuan (tematik). Secara konsep, jelas itu baik. Tapi permasalahannya, selama ini metode belajar gaya bank masih subur dan mendominasi di dalam praktiknya.
Namun, konsep yang baik itu tak akan terwujud di sistem pendidikan masih bergaya bank alias transaksional. Di dalam sistem ini guru dipandang memiliki pengetahuan sebagaimana ia memiliki kekayaan pribadi. Sementara siswa dianggap tidak berpengetahuan sekaligus berkebutuhan untuk menerima pengetahuan. Ini merupakan warisan feodal. Hampir semua gaya belajar di Indonesia demikian, menerima dan menduplikat. Guru memberi pengetahuan, siswa menerima, lalu guru menagih apa yang diberikannya saat ujian. Proses semacam ini telah mengakar dan membudaya.
Akibatnya, literasi yang diharapkan menjadi dasar olah pikir-kreatifitas tidak bertumbuh. Poin besar yang agung dari Kurikulum Prototype tidak akan didapat. Karena transfer pengetahuan hanya bersifat menerima dan duplikat. Contoh nyatanya, masih ada jual beli kisi-kisi ujian, pembuatan kartu soal, kiat sukses AKM, cara praktis lolos SNMPTN, lalu penerapan bocoran soal, dsb.
Kalau penawaran semacam itu masih legal bahkan diharuskan, proses mencari, belajar, dan olah kreatif akan hilang. Belajar yang seharusnya merekonstruksi pikiran, berubah menjadi proses menghapal. Tujuan belajar tidak pernah tercapai. Dan itu semua sudah lumrah dan menjamur di Indonesia. Praktik semacam itu yang harusnya dijadikan poin dasar pembahasan dan akar masalah. Bukan malah membuat kebijakan tanpa melihat latar belakang-modal SDM dan lingkungan. Jangan sampai konsep merdeka belajar menjadi bungsu karena praktik dasar pendidikan masih tradisional.
Peran Kampus
Syarat menjadi guru di Indonesia minimal sarjana. Jadi, kampus bisa dibilang menjadi penghasil guru. Bila kampus tutup mata dan tidak terlalu peduli, ke mana lagi persoalan ini dibahas?
Orientasi kampus khususnya fakultas kependidikan, harus mulai benar-benar menghasilkan lulusan yang kompeten dan menguasai beragam metode mengajar. Jangan sampai, setelah lulusan jadi guru, mereka juga mewariskan pendidikan gaya bank. Mata rantai harus diputus. Ini harga mutlak.
Baca juga: Merdeka Belajar adalah Hak Guru
Kita bisa mencontoh Finlandia. Untuk menjadi guru di Finlandia, rangkaian tes pedagogik begitu ketat. Syarat menjadi guru di sana minimal magister, karena orientasi dasar penerimaan ialah keberagaman metode mengajar. Pengembangan potensi profesi guru dilakukan melalui banyak metode. Salah satunya adalah mewajibkan para calon guru untuk melaksanakan pembelajaran di tingkat universitas melalui penelitian dan pelatihan pengembangan profesi.
Sedangkan, di Indonesia proses penerimaan tidak pernah ada rujukan yang jelas. Asal punya ijazah pendidikan dan bersedia mengabdi dengan gaji ala kadarnya sudah jadi guru. Selain itu, masih banyak pula, guru berstatus ASN nyatanya gaptek. Ini kan jelas jadi masalah dasar yang serius, tapi belum juga diperhatikan.
Bisa dilihat juga, hari ini banyak mahasiswa bangga dengan nama kampusnya. Padahal kan harusnya kampus yang bangga dengan mahasiswanya. Politik citra semacam ini menjadi tantangan baru bagi kampus. Konsep pendidikan gaya bank harus dihilangkan. Kampus harus mengubah orientasi dan caranya dalam menghasilkan lulusan. Karena bagaimana pun, kampus merupakan gerbang utama dalam hal ini. Sangat percuma bila konsep kurikulumnya baik, tapi pelaku pendidikan di dalamnya kurang memadai. Baik dari segi kualitas dan kapabilitasnya. Jika tidak, pendidikan Indonesia akan terus dihantui warisan feodal.