Seni Bertahan Hidup ala Victor E. Frankl

Ja'far Baihaqi

3 min read

Apa yang mungkin dibutuhkan manusia untuk bertahan hidup? Kebanyakan orang tentu saja akan menjawab makan, minum dan tidur. Beberapa yang lain mungkin akan menambahkan gadget. Dan sementara yang lain mungkin juga akan memasukkan beberapa teman ke dalam daftarnya. Semua jawaban itu tentu saja benar, manusia jelas membutuhkan makan, minum, tidur, dan barangkali juga gadget dan beberapa teman hidup. Namun, apakah itu saja cukup? Menurut Viktor E. Frankl, psikolog terkemuka dari abad ke-20, apa yang tidak kalah penting dari itu semua adalah makna hidup. Ya, manusia membutuhkan makna hidup agar dapat mempertahankan hidupnya. 

Asumsi ini bukanlah asumsi liar yang tak berdasar, apa lagi mengada-ada. Asumsi ini telah melalui serangkaian refleksi dan penelitian ilmiah yang mendalam oleh Frankl sendiri, lalu kemudian diperkuat dengan pengalamannya selama menjadi tawanan di kamp konsentrasi Auswitch. Dalam magnum opusnya yang berjudul Man’s Search for Meaning, ia mencoba mengelaborasi bagaimana manusia kemudian tidak mungkin dapat terpisah dari sesuatu yang ia sebut sebagai makna hidup. 

Tawanan Kamp dan Pencarian Makna Hidup

Di dalam buku itu ia menceritakan pengalaman kejiwaannya selama berada di kamp. Ia memulainya dengan menjelaskan bahwa di kamp, ia dan tawanan lainnya diperlakukan secara sangat tidak manusiawi. Beberapa perlakuan mengerikan yang dialami para tawanan misalnya adalah hanya diberikan 0,15 ons roti sehari dan satu mangkuk bubur encer, sedangkan mereka dituntut untuk bekerja selama dua belas jam sehari. Mereka diwajibkan untuk tetap bekerja meski suhu di luar ruangan -17° Celcius. Mereka juga dipukuli dan disiksa hanya karena kesalahan kecil dan sering kali tanpa alasan yang jelas. Mereka hanya diberi waktu libur kerja saat mereka sakit, itu pun jatah makan mereka akan dikurangi. Dan tak hanya itu, perlakuan dari sesama tawanan yang sama-sama ingin mempertahankan hidup pun ikut memperparah kengerian di kamp.

Baca juga:

Dalam kondisi seperti ini, di mana penderitaan dan penyiksaan menjadi sarapan rutin setiap tawanan, frustasi, depresi dan kematian tentu saja menjadi hal yang bisa dengan mudah ditemukan. Lalu, apakah Frankl sendiri tidak mengalami hal yang serupa? Frankl mengatakan bahwa ia pun hampir mengalami hal yang serupa. Namun, ia selalu mengingat makna hidupnya. Ia memikirkan tentang hal-hal besar yang bisa ia lakukan setelah keluar dari kamp, bertemu dengan anak istrinya dan hal-hal baik lainnya. Pikiran-pikiran semacam inilah yang membuat Frankl mampu bertahan di tengah kengerian kamp. 

Dari fenomena semacam itu, Frankl kemudian mengambil sebuah kesimpulan bahwa tawanan yang mengetahui makna dalam hidupnya memiliki kesempatan bertahan hidup yang lebih tinggi daripada yang tidak sama sekali. Meskipun demikian, memiliki makna hidup tentu tidak serta-merta menjauhkan para tawanan itu dari kematian, sebab pada akhirnya banyak juga tawanan yang memiliki makna hidup harus mati karena kelaparan atau sakit atau juga dimasukkan ke dalam kamar gas. Namun, hal semacam itu tentu tidak akan mengubah pandangan Frankl, karena ternyata lebih banyak lagi tawanan yang tidak mati karena penyakit fisik, tetapi penyakit mental yang disebabkan oleh kesadaran bahwa hidup tidak lagi bermakna.

Kesadaran semacam inilah yang kemudian menimbulkan semacam depresi terhadap para tawanan. Mereka akan menolak untuk makan, menolak bekerja dan membersihkan diri, dan tidak lama dari itu ia akan meninggal. Seseorang yang telah kehilangan makna dalam hidupnya akan memandang segala sesuatu sama sekali tak berarti, dan akhirnya mereka menolak bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Hal ini tentu tidak akan pernah dialami seseorang yang memiliki makna hidup dan tujuan seperti Frankl. Meski dalam kondisi yang hampir mati sekali pun, ia akan tetap sedapat mungkin bertanggung jawab terhadap kehidupannya yang berarti. 

Logoterapi

Pengalamannya bertahan hidup di kamp ini kemudian coba ia implementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui aliran psikologi yang ia bangun, yang kita kenal sekarang dengan sebutan logoterapi. Logoterapi ini memusatkan perhatiannya pada upaya pencarian makna hidup. Lalu apa yang kemudian coba ditawarkan oleh logoterapi untuk memungkinkan kita menemukan makna hidup? Sebelum mengetahui hal itu, ada baiknya kita mengetahui secara konkret barang apa yang hendak kita cari, sehingga nantinya akan lebih memudahkan dalam pencarian. Jadi, sebelum mencari dan menemukan makna hidup kita melalui logoterapi, kita harus paham lebih dulu apa arti makna hidup yang dimaksud Frankl?

Di sepanjang buku Man’s Search for Meaning, Frankl banyak mengambil kutipan dari Nietzsche yang berbunyi “Dia yang tahu mengapa harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk bagaimana harus hidup.”” Setidaknya, kebingungan kita mengenai apa yang dimaksud makna hidup oleh Frankl dapat kita temukan jawabannya dalam kutipan tersebut. Ketika mengatakan tentang makna hidup, ia bermaksud ingin merujuk pada mengapa kita harus hidup. Atau dalam sebuah kalimat definisi, bisa ditulis bahwa makna hidup adalah kesadaran tentang adanya alasan atau kemungkinan yang menyebabkan hidup kita layak untuk dijalani.

Baca juga:

Jalan Mencapai Makna Hidup

Kita telah mengetahui barangnya, lalu bagaimana cara kita mencarinya? Frankl, melalui teorinya logoterapi, mengatakan bahwa setidaknya ada tiga hal yang dapat ditempuh manusia untuk sampai pada makna hidupnya. Pertama, melalui tindakan-tindakan yang dilakukannya. Kedua, melalui orang yang ditemuinya. Dan yang ketiga, melalui makna di dalam  penderitaan. Penjelasan dari ketiganya sekurang-kurangnya adalah sebagai berikut:

Pertama, seorang dapat mengetahui makna hidupnya melalui apa yang ia kerjakan. Misalnya seorang guru lambat laun akan tahu bahwa makna hidupnya adalah untuk mengajar dan mendidik murid-muridnya. 

Kedua, melalui sesuatu atau melalui seseorang. Frankl menyebut poin yang kedua ini sebagai cinta. Orang dimungkinkan menemukan makna hidupnya melalui sesuatu yang dicintai dan lebih-lebih orang yang dicintainya. Seperti halnya ibu yang menyayangi anak-anaknya. 

Ketiga, melalui penderitaan yang ia alami. Frankl mengatakan bahwa dalam penderitaan yang tak kunjung usai pun, kita masih bisa menemukan makna. Seperti halnya seseorang yang cacat, ia mungkin akan berpikir bahwa jika ia tidak cacat, ia mungkin akan melakukan banyak hal buruk, sehingga ia menyadari bahwa kecacatannya adalah sesuatu yang bermakna. 

Lalu, sudahkan kita menemukan makna hidup? Kebanyakan dari kita, pun juga saya sendiri, mungkin masih sangat sulit menemukan makna hidup seperti yang dimaksud Frankl, karena pencarian semacam itu membutuhkan daya intelektual yang cukup tinggi. Jadi belum menemukan makna hidup saya pikir adalah hal yang cukup lumrah. Tapi, Frankl menawarkan sedikit solusi mengenai masalah ini. Ia mengatakan bahwa ketika kehidupan bertanya mengenai makna hidup kita, kita bisa menjawabnya dengan tanggung jawab. Ya, bertanggung jawab terhadap setiap yang telah ditimpakan padanya, entah itu momen indah atau tragedi berdarah. Hanya dengan itu kehidupan akan jauh lebih bermakna, bahkan tanpa tahu apa makna hidup itu sendiri. 

Akhir kata, kehidupan manusia adalah sesuatu yang unik. Di mana pun tempatnya dan kapan pun waktunya, suka atau duka, miskin atau kaya, sukses atau gagal, penuh dengan momen indah atau tragedi berdarah, kehidupan akan selalu layak dijalani hanya dengan menemukan sedikit makna di dalamnya. Jadi sudahkah kau temukan makna hidupmu? 

 

Editor: Prihandini N

Ja'far Baihaqi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email