Parlindoengan Loebis adalah salah satu orang Indonesia yang menjadi saksi hidup kekejian kamp-kamp konsentrasi Nazi di Eropa. Ketika menjadi tahanan Nazi, dia merasakan tinggal di sekurangnya empat kamp konsentrasi. Dia berhasil lolos dari kegentingan di detik-detik keruntuhan Reich Ketiga ketika pembunuhan sangat mudah untuk dilakukan oleh tentara Jerman.
Kurang lebih perlu 35 tahun sejak kepulangannya ke tanah air untuk dia rampung menuliskan kesaksian-kesaksiannya itu dalam sebuah buku. Buku itu lahir dari ingatannya atas hal-hal yang tidak menyenangkan, hal-hal yang lebih banyak pahitnya daripada manisnya. Buku otobiografi itu dia beri judul yang datar saja, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, diterbitkan pertama kali oleh Penerbit Komunitas Bambu pada September 2006.
Kedataran Loebis dalam menulis juga terasa dalam isi bukunya. Hal ini menjadi kritik pada bagian pengantar yang diberikan oleh sejarawan kondang Harry A. Poeze. Namun, bagi yang telah merampungkan membaca buku otobiografi ini, akan melihat bahwa kedataran tulisan Loebis terkait dengan usahanya bertahan hidup saat berada di kamp konsentrasi Nazi.
Baca juga:
Buku ini merupakan realisasi ucapan Loebis saat berpisah dengan kawannya, Sidartawan, di kamp Amersfoort:
“Lebih baik begini; barangkali ada salah satu di antara kita yang bisa selamat ke luar dari tahanan dan dapat menceritakan kesengsaraan kita di kamp konsentrasi ini.” (Hal. 151)
Dokter Loebis Kita
Terdapat tiga bagian hidup Loebis yang diceritakan dalam bukunya: saat masih kanak-kanak hingga remaja ketika dia hendak berkuliah ke belanda, saat menjadi mahasiswa yang aktif di PI dan mengobarkan semangat nasionalis kepada sesama kawan mahasiswa, dan saat menjadi tahanan Nazi hingga berhasil kembali ke tanah air.
Namun, ketahuilah, hal yang menyelamatkan Loebis dari kamp konsentrasi adalah profesinya sebagai dokter. Mulanya, Loebis ingin menjadi seorang insinyur pertanian, tetapi tidak mendapat restu dari ayahnya. Sebagai gantinya, agar keinginannya berkuliah di negeri Belanda terwujud, dia pun menerima usul ayahnya untuk belajar Kedokteran.
Loebis kuliah Kedokteran di Belanda selama delapan tahun, 1932-1940. Kemudian, pada Maret 1941, dia menikah dengan Clara Johanna Soumokil. Situasi negeri Belanda saat dia menikah sudah berada dalam cengkeraman Nazi. Kehidupan masyarakat saat itu begitu sulit. Pada saat-saat itulah Dokter Loebis merasakan manfaat dari profesinya.
Pernikahan Loebis dan Jo tidak berlangsung lama karena Loebis ditangkap oleh dua reserse Belanda saat sedang praktek kerja pada 26 Juni 1941. Loebis kemudian dibawa ke penjara sementara sebelum dipindahkan ke Kamp Schoorl. Para tahanan di Kamp Schoorl ini belum mulai untuk kerja paksa. Di kamp tersebut, Loebis dimintai tolong oleh seorang dokter untuk menjadi asistennya di poliklinik kamp.
Keberuntungannya sebagai dokter juga dirasakan Loebis saat berada di pabrik pesawat Heinkel. Pabrik ini berdekatan dengan Kamp Konsentrasi Sachsenhausen. Berkat bantuan seorang kawan, Loebis ditempatkan pada sebuah poliklinik khusus untuk para tahanan dan buruh pesawat. Perjumpaan dengan tahanan-tahanan yang sakit dari berbagai negara di Eropa di poliklinik tersebut membuat Loebis menguasai berbagai bahasa.
Kemampuan bahasa asing Loebis semata-mata demi menunjang pekerjaannya sebagai dokter. Berikut jawaban Loebis ketika ditanya seorang Kolonel SS, pasukan khusus Nazi, soal bagaimana ia menguasai berbagai bahasa tersebut:
“Kukatakan bahwa bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris telah kupelajari di sekolah menengah, dan bahasa Prancis kupelajari sendiri, bahasa Rusia dan Spanyol dari sesama tawanan.” (Hal. 183)
Selang dua bulan setelah bekerja di poliklinik bengkel pesawat tersebut, Loebis diangkat menjadi dokter kepala. Jabatannya ini membuatnya memiliki kuasa memberikan cuti kerja kepada tahanan yang lemah atau sekadar perlu istirahat dari lelahnya bekerja. Atas perannya ini, para tahanan memandang Dokter Loebis sebagai seseorang yang beriktikad baik.
Sekali waktu, Loebis pernah menolong seorang tahanan Polandia yang memiliki darah bangsawan dari daftar hukuman mati. Loebis menolongnya dengan memberikan diagnosa usus buntu palsu.
Baca juga:
Sekalipun Loebis banyak membantu para tahanan Eropa di sana, dirinya pernah dilecehkan atas dasar warna kulit. Saat dia kedatangan seorang pasien yang terkena infeksi Panaritium, pasien tersebut menolak diobati oleh Loebis yang orang kulit putih. Penolakan yang berujung cekcok itu diketahui oleh penjaga Jerman yang kemudian menegur si pasien dan membela Loebis.
Loebis menulis kesannya atas kejadian itu:
“Orang-orang di Eropa yang tidak bersekolah biasanya menganggap kita orang-orang berkulit berwarna sebagai orang bodoh. Apalagi kalau mereka belum mengenal dan bercakap-cakap dengan kita.” (Hal. 197)
Layak Difilmkan
Dari uraian Loebis dalam buku ini, kita bisa membayangkan kengerian kamp konsentrasi Nazi selama Perang Dunia II. Buku ini penting untuk dipertimbangkan agar dibuatkan film.
Jika Desmond T. Doss, seorang Kopral Angkatan Darat Amerika Serikat, atas kisah heroiknya menyelamatkan orang-orang sekarat tanpa memandang kawan atau lawan di peperangan Pasifik difilmkan dalam Hacksaw Ridge, lalu upaya bertahan hidup dari kejaran tentara Nazi seorang pianis Polandia berdarah Yahudi bernama W. Szpilman difilmkan juga dalam The Pianist, maka kisah seorang Parlindoengan Loebis layak pula mendapat sebuah judul film.
Editor: Emma Amelia