Siswa, Guru, dan Sekolah dalam Belenggu Moralitas Budak

Naufalul Ihya Ulumuddin

2 min read

Konsep moralitas budak barangkali tepat untuk menggambarkan wajah pendidikan kita saat ini. Siswa adalah budak paling nista dalam lanskap pendidikan kita. Perbudakan yang dialami siswa juga dirasakan oleh guru. Mereka terlihat sama-sama tak berdaya di bawah perintah “tuan-tuan” pendidikan.

Menurut Nietzsche, seluas apa pun seorang budak diberi kebebasan, hal yang akan dilakukan tetaplah mematuhi perintah tuannya. Tidak ada sedikit pun gairah dalam dirinya untuk melakukan sesuatu di bawah kehendaknya sendiri, sebab seorang budak hanya bisa disebut bermoral jika mematuhi kehendak penuh tuannya. Apabila membangkang, meskipun untuk kebaikan tuannya, seorang budak akan dianggap tidak bermoral. Budak dianggap bermoral ketika mengikuti segala perintah. 

Moralitas Budak Siswa

Pada prinsipnya siswa adalah budak. Tepatnya, mereka dituntut menjadi budak. Siswa diarahkan terus patuh pada sistem yang entah dari mana dan siapa pembuatnya. Siswa diikat dengan upaya-upaya rasional palsu tentang kepatuhan. Siswa dibiasakan terus menjalankan perintah, tanpa benar-benar paham substansi dari perintah sepenuhnya. 

Baca juga:

Siswa selalu diperintah mengerjakan tugas-tugas secara cepat, tepat, dan sebanyak mungkin. Nyaris tak sehari pun ia bebas dari perintah. Karena terbiasa dengan perintah, siswa lantas lupa dengan kehendak bebas dalam dirinya.

Karena terlanjur biasa dengan segala aktivitas berdasarkan perintah, pada puncaknya, ketika mendapat ruang bebas tanpa perintah, siswa justru bingung dan hilang arah. Mereka tidak tahu harus melakukan apa jika tidak ada perintah. Mereka linglung, diam, dan mengkerut otaknya ketika seluruh perintah musnah. Tak ayal, kreativitas hanya menjadi angan-angan dalam pendidikan kita. 

Fenomena tingginya budaya mencontek adalah contoh paling mudah. Mereka mengharap nilai bagus, tetapi tidak terbiasa berjalan di atas gerak pikir dan pilihannya sendiri. Mereka terbiasa berjalan di atas kerangka orang lain, yaitu perintah. Sungguh ironis. 

Moralitas Budak Guru

Guru sama budaknya dengan siswa. Moralitas yang tertanam erat di sanubarinya pun tak lain adalah segala hal yang mengarah pada kepatuhan atas perintah.

“Siap laksanakan”, “baik, akan segera dikerjakan, “siap ditindaklanjuti, “akan segera saya perbaiki”. Perkataan itu diucapkan dengan lantang, lugas, dan mantap tanpa kompromi. Segala perintah harus diikuti. Instruksi atasan harus diutamakan. Mencerdaskan bangsa, urusan belakang. Kelengkapan administrasi adalah tujuan. Jika perlu, tak usah mengajar. Suara atasan adalah perintah mutlak. 

Dalam kasus terbaru, guru disibukkan dengan perintah mutlak tentang pengerjaan PMM (Platform Merdeka Mengajar). Semua guru di negeri ini, wajib, tanpa terkecuali untuk mengerjakan PMM. Katanya, segala ilmu, petuah, dan metode pembelajaran paling jitu serta paling baru ada di platform itu. Lalu, apa yang dilakukan guru? Tepat sekali, mengangguk dan mengucapkan “siap, Tuan”. 

Seketika semua guru berbondong-bondong membeli laptop baru dengan gajinya yang pas-pasan agar bisa menyesuaikan diri dengan berbagai aktivitas digital yang diinstruksikan tuannya. Hari-hari ini, dalam definisi Tuhan milik Nietzsche, PMM adalah Tuhan baru para guru. Segala aktivitas “pahala” dan “dosa” guru dalam mendidik akan terlihat, tercatat, dan terlaknat di dalamnya. Ironis. 

Sama seperti siswa, guru terbelenggu cengkraman moralitas budak dalam dirinya. Ketika segala perintah tandas, tak ada hal lain yang bisa dilakukan guru. Guru hanya akan mengulang berbagai aktivitas dari perintah-perintah lama.

Lebih dari itu, jika guru mulai kekurangan perintah di sekolah, mereka akan mencari perintah di program-program yang lain, misalnya program Guru Penggerak, Duta Canva, Praktik Baik, dan sejenisnya. Semakin banyak ikut program, semakin banyak perintah dan tugas yang harus dikerjakan, sehingga semakin bermoral pula guru tersebut. Itulah moralitas budak guru. 

Moralitas Budak Sekolah

Lalu, pertanyaan berikutnya adalah, siapa sebenarnya tuan dari para guru? Kepala sekolah atau sekolah itu sendiri? Jelas tidak. Kepala sekolah dan sekolah itu sendiri sama halnya dengan guru, yakni sama-sama budak. Hanya saja, sekolah adalah budak yang lebih tinggi. Sekolah tidak lain hanyalah sistem yang patuh secara total atas sistem-sistem di atasnya, ada cabang dinas pendidikan, dinas pendidikan provinsi, sampai pada kementerian pendidikan.

Atas dasar ini, bisakah disimpulkan bahwa para aktor kementerian adalah tuan dari sistem pendidikan kita? Tetaplah bukan. Semua yang ada di kementerian pun hanyalah aktor-aktor yang patuh atas perintah. Semua adalah budak dari budak yang lain. 

Baca juga:

Ukurannya sederhana, ketika ada secuil kebebasan, maka kebingungan mendera begitu deras. Misalnya, hadirnya Kurikulum Merdeka menghasilkan kepanikan yang luar biasa dalam segala aspek pendidikan. Di level sekolah, Kurikulum Merdeka dinistakan karena dianggap tidak jelas dan tidak konkret dalam menjabarkan panduan menjalankan proses pembelajaran. Di titik inilah moralitas budak sekolah begitu nampak.

Sekolah dan segala aktor di dalamnya merasa butuh instruksi, perintah, dan arahan yang serinci mungkin dalam menjalankan proses pembelajaran. Hal ini adalah akumulasi dari praktik perbudakan yang panjang dalam sistem pendidikan kita. Sampai-sampai, secuil ruang bebas terkesan hanya menjadi sebuah kehinaan dalam pendidikan kita. 

Lalu, apa yang bisa diharapkan dari pendidikan yang menolak kebebasan ini? Jawabannya tidak ada. Kecuali, kata Nietzsche, para aktor-aktor pendidikan ini berani “membunuh” tuan-tuan yang menjelma Tuhan dalam dirinya, kemudian kembali meresapi kehendak bebas pada dirinya, karena tak satu pun manusia yang tidak memiliki kehendak bebas.

Semua manusia memiliki kebebasan, hanya saja sering kali ditekan dalam alam bawah sadar hingga seakan-akan hilang. Pada kenyataan ini, sekolah justru menjadi aktor utama hilangnya kehendak bebas itu.

 

 

Editor: Prihandini N

Naufalul Ihya Ulumuddin

One Reply to “Siswa, Guru, dan Sekolah dalam Belenggu Moralitas Budak”

  1. jujur saya baru saja lulus dari SMA, dan saya memang merasa ada banyak sekali kejanggalan dalam sistem pendidikan yang di ajarkan di sekolah. saya sellau bertanya kepada diri saya sendiri,? kenapa sekolah selalu mengajarkan setiap siswa untuk patuh terhadap perintah? dan kenapa jika ada murid yang mencoba berfikir dengan cara yang berbeda selalu di lihat aneh oleh teman atau guru itu sendiri? seiring berjalanya waktu saya mencoba untuk mempertanyakan hal hal tersebut kepada diri saya sendiri. dan saya mulai berasumsi bahwa sekolah itu sendiri memang mendesain murid untuk selalu patuh akan perintah, dan lagi, mungkin kah sekolah itu sendiri memang mencoba untuk mematikan pemikiran kritis setiap murid-murid nya? saya selalu menanyakan kepada diri saya sendiri, bukankah ini sama seperti dengan perbudak? dan mirisnya lagi ketika saya mencoba untuk menyadarkan teman teman saya dengan fakta bahwa sekolah itu mencoba mematikan pemikiran kritis setiap muridnya, mayoritas teman saya menganggap bahwa saya aneh. apakah itu bukti dari perbudak itu sendiri? saya berfikir bahwa mereka benar-benar sudah tidak bisa berfikir kritis, mereka hanya patuh akan perintah, tanpa pernah bertanya apa tujuan sebenarnya dari sebuah perintah itu sendiri. disini saya hanya membagikan sedikit pengalaman saya, dan juga disini saya tidak merasa bahwa diri saya yang paling benar, saya hanya selalu mempertanyakan kepada diri saya sendiri, kenapa sistem sekolah itu selalu mewajibkan muridnya untuk paruh akan perintah. ketika saya mulai belajar tentang asal sekolah di ciptakan, dan segala peraturannya, saya mulai mengerti sekarang, tampak para elit memang sudah mendesain sedemikian rupa untuk membuat tatanan sistem hebat ini, tanpa orang orang sadari mereka di paksa untuk patuh akan sebuah perintah dan tidak banyak membantah. salah satu kutipan yang benar benar membuat mata saya terbuka akan sistem perbudak yang dalam dalam tenda kutip “sekolah” ini yaitu kutipan dari seseorang yang bernama John D Rockefeller. dimana sosok John D Rockefeller ini berkata bahwa ” I Don’t Want A Nation Of Thinkers, I Want A Nation Of Workers ” kalimat itu sudah cukup menampar saya tentang sistem sekolah selama ini, bahwasanya benar jika para murid di sekolah di paksa untuk patuh akan perintah, supaya saat lulus dan menjadi pekerjaan nanti mereka sudah terbiasa patuh, tidak banyak tanya dan hanya mematuhi peraturan yang ada, tanpa mereka harus tau apa tujuan dari patuh terhadap peraturan itu sendiri, mayoritas dari mereka sudah tidak lagi mau berfikir secara kritis. saya hanya bisa berharap bahwa kedepannya bangsa ini lebih cerdas lagi, lebih bayak lagi anak anak yang bida berfikir kritis, lebih banyak lagi generasi bangsa yang kau mengemukakan pendapat dan ide idenya. saya hanya bisa berharap bahwasanya Indonesia emas 2045 bukan hanya angan angan semata, terimakasih sudah membuat artikel seperti ini, semangat untuk kita semua🙏🏻.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email