Di tengah lamunan, terbesit ingatan di benak saya satu ucapan kakek buyut. “Saat zaman perang dulu, bung yang menyelamatkan Mbah Kakungmu ini sewaktu di hutan,” kenang kakek buyut saya.
Ia menyampaikannya sembari duduk dengan tangan menopang ke teken kayu. Gurat wajahnya mengombak, cukup ampuh membuat diri saya, yang waktu itu belum akil balig, kontan terpukau. Ingatan tentang bung (Jawa: rebung) tersebut mengantarkan saya pada penelusuran utas-kisah tentang hikayat pohon bambu.
Baca juga:
Mari melesat jauh ke belakang menuju Tiongkok pertengahan abad ke-3 Masehi. Di area Shanyang (sekarang tepi selatan Provinsi Henan), ada tujuh pertapa meriung di rumpun bambu. Julukannya The Seven Sages of the Bamboo Grove alias Tujuh Bijak Bestari dari Rumpun Bambu.
Masa itu, bumi masih gelap. Langit tentu semarak oleh bintang gemintang. Mereka rimbun dan berkedip-kedip mesra—tidak seperti saat ini. Di situlah ketujuh orang bijak ini bersitukar-lidah, jual-beli diskusi. Mereka terdiri dari kaum eksentrik, mencakup sarjana nyeleneh, penulis, musisi, filsuf, dan penyair. Intinya, boleh saja kau sebut gerombolan ini sebagai “pengangguran banyak pikiran” dan gemar “omong-omong”.
Satu hal mempersambungkan mereka: gandrung akan kebebasan individu. Suatu dorongan batin untuk mengekspresikan diri selepas mungkin. Pengaruh Taoisme/Daoisme ala Tao Te Ching dan anekdot-anekdot dari Zhuangzi (filsuf anarko pertama di abad ke-3 SM) tampak cukup menonjol. Terlebih, mereka pun punya ciri yang mirip: sama-sama jengah dengan sistem politik ditambah pengadilan yang korup. Karenanya, mereka menampilkan pola sikap eskapisme hedonistik: menyesap detik demi detik dalam kehidupan nan fana dan kebak perang ini dengan sukacita.
Di atlas waktu era itu, Jawadwipa masih remang sejarahnya. Belahan bumi lain tengah sibuk bertempur, saling merebut kekuasaan. Sementara itu, ada seorang calon nabi bernama Mani sedang menyusun agama baru bernama Manichaeism (Maniisme). Sumatera juga masih belum dibotaki tambang dan perkebunan sawit. Harimau masih sakral, leluasa, dan berwibawa. Pulau ini bernama Swarnabhumi—menurut catatan kitab Milinda Pañha, teks Buddha yang sudah sepuh.
Pada titik peta sejarah itulah mereka bertujuh hidup. Perjumpaan mereka senantiasa dinaungi keteduhan rumpun bambu. Walau terkesan kurang signifikan, peran rumpun bambu di kisah mereka ini tidak berhenti sebagai simbol dan situs, atau sekadar penyuplai oksigen segar. Melampaui itu, bambu sedari kelahirannya terbukti berjasa besar dalam sejarah panjang Homo sapiens. Ia menjadi salah satu organisme yang sekaligus “lembaga” atau “institusi” tempat kebudayaan mekar di sela-sela ruas tubuhnya, di antara bunyi risik musikal dedaunan dan ranting-rantingnya.
Kita sama menyimak dan akhirnya menemukan bahwa pemanfaatan rebung sebagai bahan pangan sudah setua sejarah filsafat. Lebih dari 5000 tahun silam, manusia di dataran Asia memanfaatkan bambu untuk bahan bangunan. Kemudian, 2.500 tahun lalu, masyarakat Tiongkok sudah mengolah tunasnya di dapur. Kuliner ini lantas berlayar jauh ke penjuru Asia Selatan, Asia Tenggara, hingga beberapa wilayah kecil Afrika Timur.
Selain menjadi penganan Panda yang menggemaskan, rebung juga ikut menyumbang kekayaan peradaban kuliner dan khazanah gastronomi—mungkin juga gastrosofi—di Bumi Nusantara ini. Di tanah Minang ada gulai rebung Padang, di Jawa ada lodeh rebung kacang tolo. Hidangan lain ada manisan rebung, abon rebung, hingga jajanan lumpia Semarang pun isiannya tunas bambu yang punya rasa-aroma-tekstur khas. Itu hanya secuil bukti kalau manusia Nusantara ikut melahirkan dan menganyam budaya kuliner dari tunas bambu.
Emas Hijau dan Kayu Orang Miskin
Begitu rebung menjadi bambu, tanaman ini masih tak kehilangan aji. Batangnya ditebang lalu direkadaya menjadi aneka bangunan, furnitur, scaffolding murah dan fleksibel, sampai pusparagam produk kreatif. Ketika Mesir mengenal papyrus, Jawa Kuno dan Bali mengerik lontar (daun siwalan) dan daluwang, Cina dan Jepang sedari zaman karuhun mengolah bambu menjadi kertas. Ia menjadi wadah sekaligus wahana produksi makna, penyampai pesan, penyintas ujian ruang-waktu yang melakukan ziarah lintas batas, lintas kelas, lintas generasi.
Relasi antara bambu dan manusia nyatanya telah menempuh perjalanan panjang. Kita bisa mengintip lewat gawai bahwa di Korea ada garam bambu yang nilai tukar ekonominya cukup tinggi. Arangnya bisa dialihrupakan menjadi tinta berkualitas. Dalam radius terdekat, sila tengok; ada sangkar burung, waring ikan, seser, besek, tampah, tas cangklong, sampai tepak dan, terkini, tumbler dari bambu yang banyak ditenteng milenial dan gen z yang dinilai ramah lingkungan. Di dunia musik, pusparagam instrumen menetas darinya; baik tiup, petik, getar, goyang, gesek, hingga pukul pun banyak yang terbuat dari bambu.
Tidak aneh jika keserbagunaan bambu membuatnya dijuluki “Emas Hijau”, dan di saat bersamaan, “Kayu Orang Miskin”. Iya, orang-orang kelas-bawah bergantung padanya untuk membangun gubuk gedhek dan aneka alat kebutuhan domestik. Orang suku pedalaman mengambil air yang terperangkap di dalam batangnya. Masyarakat desa zaman dulu memakainya untuk alat sunat dan mbeteti belut—yang terkenal licin itu—secara lebih efisien. Sementara itu, kalangan pebisnis megaindustri multinasional meraup keuntungan babon darinya karena biaya produksi bambu yang relatif murah, fleksibel, cepat, dan lebih terbarukan.
Sejarah dan Setengah Mitos
Di tanah air sendiri, kita juga punya ceruk dan romantisme heroik terhadap bambu. Dalam sejarah perjuangan nasional, terkenang istilah bambu runcing. Meminjam tuturan A.H. Nasution, bambu runcing sebagai senjata kemerdekaan adalah “setengah mitos”. Mulanya, ia dipakai Belanda menghadang pasukan Jepang yang konon akan turun dari udara dengan terjun payung. Kenyataannya, mereka masuk via pantai. Bambu runcing (Jepang: takeyari) lantas dipakai pasukan Jepang untuk melatih pemuda-pemudi Indonesia (Majalah Historia, 2 September 2014).
Sayang, tak dinyana hal itu malah jadi bumerang bagi Jepang. Muncul satu nama, Kyai Subkhi asal Parakan, Temanggung (1858-1959) yang dijuluki “Jenderal Bambu Runcing”. Batang tajam itu justru dialihdayakan untuk merampas bedil-bedil. Di tangan orang nekat yang berang—ditambah dengan niat mati syahid—bambu terbukti justru lebih ampuh ketimbang senapan mesin di tangan orang yang gentar. Pada titik inilah pamor bambu runcing melejit. Lebih lanjut, diperkuat pula oleh propaganda glorifikasi sejarah nasional oleh rezim Orde Baru.
Terlepas dari itu, bambu memiliki tempat istimewa dalam peradaban manusia Nusantara. Satu contoh, misalnya, kisah Franz Ferdinand dari Austria. Jauh sebelum tewas terbunuh di Sarajevo yang memicu Perang Dunia I, ia pernah ke Bumi Pasundan dan terpesona dengan jembatan bambu di sana. Foto momen bersejarah ini diabadikan di Welt Museum Wina, Austria, bertitimangsa 16 April 1893. Di sini, penting untuk melihat bambu melampaui fungsi dan nilai ekonomi lazimnya.
Baca juga:
Peluang Ekspor dan Gastrodiplomasi
Para sejarawan, antropolog, sampai nutrisionis dan pegiat gastronomi perlu merajut kerjasama lintas-sektor. Kolaborasi interdisiplin keilmuan memungkinkan riset dan pemanfaatan bambu bisa optimal dari berbagai lini. Apalagi, pangsa pasar bambu internasional berpotensi memberi keuntungan gemuk secara ekonomi yang selama ini justru didominasi oleh Tiongkok.
Lebih dari itu, ide olahan tunas bambu bisa ikut menjadi bagian dari gagasan besar yang pernah disajikan William Wongso pada Pidato Kebudayaan DKJ 2023. Pidato bertajuk Gastrodiplomasi Nasi Bungkus untuk Menaklukkan Lidah Dunia sangat penting disokong dari aneka sudut dan jenis kuliner, termasuk rebung. Terlebih, menurut riset Acharya, dkk. dalam Journal of Ethnic Foods (2023), bambu dapat menurunkan kolesterol, antikarsinogenik, antioksidan, bahkan neuroprotektif.
Sudah waktunya ada sinergi top-down dan inisiatif bottom-up yang lebih serius dalam menyikapi Si Bung Bambu serbaguna ini. Siapa tahu, kelak, jika terlaksana, akan bermekaran lagi kebudayaan maju lintas sektor dan tokoh-tokoh intelektual multidisiplin (polymath) dari rumpun bambu. Awas terkecoh, hal-hal yang disepelekan, kelak bisa saja menggemparkan—dan kita tak ingin kegemparan yang bernuansa penyesalan.
Editor: Emma Amelia