mahasiswa biasa

Di Manakah Kenangan-Kenangan Indah Hidup?

Nurfikri Muharram

2 min read

Mulai sekarang, jika ada yang bertanya, “Novel apa yang membuatmu merasakan sesak sekaligus hangat dalam satu waktu?” Tanpa berpikir panjang, saya akan menjawab, “Semasa karya Teddy W. Kusuma & Maesy Ang.”

Bukunya boleh saja tidak terlalu tebal. Namun, tiap halamannya akan membawamu kepada nostalgia-nostalgia atau penyesalan-penyesalan atau juga kerinduan-kerinduan terhadap sesuatu yang kamu sebut dengan rumah.

Novel ini menceritakan sepasang sepupu, Coro dan Sachi yang kembali bertemu selepas bertahun-tahun berpisah. Mereka justru kembali dipertemukan di momen ketika mereka lagi-lagi harus berpisah—kali ini, dengan kenangan masa kecil mereka di Rumah Pandanwangi.

Baca juga:

Kenangan yang Sesak dan Hangat

Secara garis besar, penceritaan dalam novel ini didominasi oleh ingatan-ingatan masa lalu Coro terhadap Bapak, Ibu, Bibi Sari, Paman Giofridis, Sachi, dan Rumah Pandanwangi. Meski begitu, novel ini sama sekali tidak membosankan. Justru, ingatan Coro mampu membawa pembaca turut merasakan kehangatan dari kenangan-kenangan masa lalunya.

Pada bagian pertama, Coro diceritakan baru bertemu dengan Sachi setelah enam tahun berpisah. Mereka berangkat bersama menuju Rumah Pandanwangi yang akan dijual tidak lama lagi. Dialog selama perjalanan diselingi ingatan masa kecil keduanya menjadi favorit saya di novel ini. Kecanggungan kedua tokoh sangat terasa di awal-awal; yang kemudian perlahan mencair setelah pembahasan mulai mengarah pada kenangan-kenangan masa kecil mereka.

Coro dan Sachi sangat dekat semasa kecil. Sachi kecil adalah seorang perempuan yang canggung dan mudah limbung, sementara Coro adalah anak laki-laki cekatan yang bisa dibilang menjadi panutan Sachi kecil. Andai saja mereka tidak diceritakan sebagai sepupu, tetapi sebatas teman masa kecil, saya yakin mereka akan saling jatuh cinta. Mereka memiliki chemistry yang kuat, terasa sangat dekat. Saya sendiri—sepengalaman saya membaca fiksi—jarang menemukan adanya hubungan antara dua tokoh (bukan tentang asmara) yang rasa saling sayangnya sampai ke relung hati saya.

Kenangan menyenangkan saat mereka bermain tebak-tebakan, membaca karya sastra bersama-sama, atau bermain di sungai datang silih berganti mewarnai dialog-dialog mereka di dalam mobil. Tetapi, kita semua tahu kalau kenangan tidak berbicara soal yang indah-indah saja. Hubungan mereka mulai merenggang karena kecemburuan Coro terhadap Sachi. Coro merasa ayahnya jauh lebih dekat dengan Sachi dibanding dirinya. Kedekatan Sachi dan Ayah Coro terbangun karena keduanya sama-sama pembaca yang haus.

Ketidakhadiran Sachi di sisi Ibu Coro menjelang wafat mungkin menjadi titik terendah dari hubungan mereka. Sachi tidak dapat hadir karena kesibukan akademiknya di Belanda. Kekecewaan Coro bahkan masih tampak meskipun kejadian itu sudah berlalu enam tahun.

“Kesalahan Sachi bukan bahwa ia tidak ada di dekatku untuk menjadi sandaran tangisku. Untuk seseorang yang cepat tanggap akan isu sosial di sekitarnya, soal kemiskinan, perkara kekerasan terhadap orang kecil, dan segala macam, Sachi tidak hadir di saat-saat paling suram bagi orang-orang terdekatnya. Dan di saat-saat akhir Ibu, saat wajah orang-orang yang dicintai dapat menguatkan, Sachi tidak hadir. Tidak sekali pun.” — Hal. 50

Kerelaan Melepaskan

Keinginan menjual Rumah Pandanwangi hadir karena Bapak Coro dan Bibi Sari sudah tidak dapat lagi bepergian sering-sering ke sana; begitu pula dengan Coro dan Sachi yang sibuk dengan urusan masing-masing. Ditambah lagi, Bibi Sari ingin menghabiskan masa tuanya di kampung halaman suaminya, Paman Giofridis, di Yunani. Ia ingin membangun restoran dan penginapan kecil di sana—tentu saja itu memerlukan uang tambahan.

Semuanya berjalan lancar sampai pembeli yang sudah jauh-jauh hari ingin membeli rumah mereka tiba-tiba meninggal. Calon pembeli yang tersisa adalah seorang hakim yang sebelumnya Bapak Coro tolak karena ia menilai sumber uang si Hakim tidak jelas. Bapak Coro ini bisa dibilang pribadi yang idealis sekaligus sangat melankolis.

Penolakan Bapak Coro inilah yang kemudian menjadi konflik utama cerita ini. Ia tidak sependapat dengan Bibi Sari yang ingin menjual rumah ini ke si hakim. Tindakan Bibi Sari bisa dimengerti mengingat ia memerlukan uang itu secepatnya. Penulis membangun konflik keluarga ini dengan sangat halus dan apik.

Baca juga:

Mereka mungkin saling bertentangan, tetapi tetap satu meja makan dan saling mendengarkan—bukankah memang seperti itulah keluarga yang ideal? Kamu bisa berbeda pendapat dengan ayah, ibu, atau saudaramu, tetapi kamu sadar bahwa mereka adalah satu-satunya tempatmu untuk pulang. Sebab, kenangan sesungguhnya tidak melekat di rumah, tetapi pada orang-orang di dalamnya.

“Rumah itu, bagaimanapun, ya, benda mati. Yang hidup itu kenangan di dalamnya, juga alasan-alasannya berdiri. Semua kedekatan emosional yang muncul darinya, juga terhadapnya, itu tidak akan lepas, tidak akan hilang.” — Hal. 104

Bapak Coro akhirnya mengalah kepada Bibi Sari dan memutuskan untuk menjual rumah itu kepada si hakim. Kerelaan melepaskan ruang terciptanya kenangan-kenangan indah masa lampau sama sekali bukan hal yang mudah karena Rumah Pandanwangi telah menjadi saksi bisu dari naik-turunnya hubungan mereka. Rumah yang juga menjadi alasan-alasan mereka kembali bertemu dan saling melepas rindu. Rumah yang kemudian harus mereka lepaskan karena—seperti yang tertera pada blurb di sampul belakang buku—pada akhirnya, kata “selamanya” bukan pilihan.

 

Editor: Emma Amelia

Nurfikri Muharram
Nurfikri Muharram mahasiswa biasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email