Strap Sel: Penjara di Dalam Penjara

Munawir Mandjo

2 min read

Sebagai orang yang menjalani masa pembinaan di dalam penjara, narapidana punya kewajiban dan tanggung jawab untuk dipenuhi. Pemenuhan kewajiban dan tanggung jawab itu menjadi syarat untuk memperoleh hak. Hak tersebut dapat berupa pemberian remisi atau pengurangan masa hukuman.

Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi narapidana tidaklah sulit, mereka hanya perlu mengikuti setiap program pembinaan yang telah dibuat oleh pihak penjara, baik program pembinaan kepribadian maupun kemandirian. Selain itu, mereka juga punya tanggung jawab mengikuti setiap peraturan, serta tidak melakukan pelanggaran yang bisa memicu gangguan keamanan dan ketertiban di dalam penjara, seperti menggunakan obat terlarang atau alat komunikasi ilegal.

Baca juga:

Selain pencabutan hak, narapidana yang tidak mampu memenuhi kewajiban dan tanggung jawab harus siap menerima hukuman ditempatkan di ruang strap sel (sel pengasingan). Seperti namanya, narapidana yang berada di dalam ruang strap sel ini akan terisolasi. Ada larangan bersosialisasi dengan narapidana lain. Mereka pun tidak dibolehkan menerima kunjungan dari pihak keluarga. Dapat dikatakan, strap sel adalah penjara di dalam penjara, sebab di dalam ruangan ini narapidana dibatasi geraknya untuk bersosialisasi dengan sesama narapida.

Luas ruangan pengasingan tergantung pada kebijakan masing-masing penjara, tetapi pada umumnya ruangan ini berukuran kecil. Begitu pun dengan kondisi strap sel, ada strap sel yang kondisinya membuat narapidana tidak jera keluar masuk, tetapi ada juga yang membuat narapidana berpikir berkali-kali untuk melakukan pelanggaran demi terhindar dari ruang pengasingan itu.

Mengakhiri Hukuman Fisik

Jika dibandingkan dengan sistem penjara yang pemberian hukumannya didasari pada pembalasan, penyiksaan, dan eksploitasi, hukuman strap sel semacam ini tentu tidak diperlukan, sebab para pelanggar akan ditindak langsung secara fisik untuk memberi efek jera. Hadirnya sistem pemasyarakatan tentu membuat dasar penghukuman ikut berubah. Salah satunya dengan menghadirkan strap sel. Dengan adanya strap sel, penindakan pelanggaran tidak lagi dilakukan dengan kekerasan. Narapidana yang melanggar akan diasingkan dari lingkungan narapidana lain sehingga mereka memiliki kesempatan untuk merenung dan menyadari kesalahan.

Beberapa orang menganggap hukuman isolasi dapat menimbulkan dampak buruk bagi kesehetan mental, seperti kecemasan, mudah marah, hingga depresi. Juan Ernesto Mendez, Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan, dan Perlakuan atau Hukum Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat, menyimpulkan jika lima belas hari berada di ruang isolasi merupakan perlakuan kejam dan tidak manusiawi.

Namun, di dalam sistem pemasyarakatan, waktu pengasingan ditentukan berdasarkan jenis pelanggaran yang dibuat oleh narapidana. Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia. Untuk hukuman disiplin tingkat berat misalnya, narapidana hanya akan dimasukkan ke dalam strap sel selama enam hari dan dapat diperpanjang selama dua kali enam hari jika dirasa perlu. Dan tentunya narapidana bersangkutan akan dicabut hak remisi, asimilasi, pembebasan bersyarat serta hak-hak lainnya.

Bukan hanya untuk hukuman disiplin tingkat berat, hukuman disiplin tingkat sedang seperti memasuki area steril tanpa izin petugas, membuat tato, melakukan aktivitas yang dapat membahayakan diri sendiri serta orang lain, dan pelanggaran sedang lainnya bisa dimasukkan ke dalam ruang pengasingan ini.

Baca juga:

Jangka waktu pengasingan selama enam hari menunjukkan jika sistem pemasyarakatan tetap memperhatikan sisi kemanusiaan narapidana. Narapidana tetap dipandang sebagai manusia yang tidak dapat dipisahkan dengan esensinya sebagai makhluk sosial. Makhluk yang punya kesadaran tentang status dan posisi dirinya di dalam kehidupan bermasyarakat.

Peran Petugas dan Keluarga

Tidak bisa dipungkiri, melakukan pembinaan kepada narapidana bukanlah perkara gampang, sebab subjek yang dibina merupakan orang-orang yang sudah sejak awal punya masalah dengan hukum. Namun, seperti kata Aristoteles dalam buku Nicomachean Ethics, kebaikan lahir dari kebiasaan. Pembinaan, baik melalui paksaan atau tanpa paksaan, jika dilakukan secara kontinu diharapkan akan mampu membuat narapidana sadar dan mengubah pribadi mereka menjadi lebih baik. Mereka bisa diterima lagi di dalam lingkungan masyarakat dan tidak kembali melakukan pelanggaran.

Tentunya keberhasilan pembinaan bukan hanya ditentukan oleh peran petugas, peran keluarga narapidana juga sangat penting dalam proses pembinaan narapidana, sebab tak jarang petugas menemukan jika keluarga narapidana sendiri yang membatu dan mendukung mereka untuk melakukan pelanggaran di dalam penjara, seperti membantu memasukkan alat komunikasi, obat terlarang, atau barang-barang terlarang lainnya. Kendati tak bisa dipungkiri juga adanya kemungkinan oknum petugas melakukan hal serupa. Maka dari itu, salah satu keberhasilan pembinaan sangatlah ditentukan oleh peran petugas dan keluarga narapidana.

 

Editor: Prihandini N

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email