Kesempatan Kedua dari Penjara

Munawir Mandjo

2 min read

Banyak cerita tentang kejamnya kehidupan di dalam penjara. Mulai dari petugas yang dengan mudah menyiksa narapidana, kekerasan dan penyiksaan yang dilakukan oleh sesama narapidana, hingga sistem kehidupan sehari-hari yang tak manusiawi. Sudahkah ada upaya perbaikan?

Sejak sistem kepenjaraan berubah menjadi sistem pemasyarakatan, dasar penghukuman pun ikut berubah. Narapidana tak lagi dipadang sebagai objek atas perbuatan bersalahnya yang lantas membenarkan mereka disiksa dan dieksploitasi tenaganya. Kini mereka sebagai subjek pembinaan pemasyarakatan.

Sebagai petugas, saya kerap mendapatkan cerita dari petugas-petugas senior, jika di masa lalu, para petugas dengan sangat mudah memberikan siksaan kepada terpidana yang baru masuk lembaga pemasyarakatan (lapas). Penyiksaan menjadi semacam salam perkenalan bagi petugas kepada narapidana. Sekarang, dengan berubahnya sistem kepenjaraan, praktik-praktik seperti itu sudah jarang terdengar dan mulai ditinggalkan.

Meskipun saya sempat berpikir, berubahnya dasar penghukuman bagi narapida yang menjalani masa pidana bisa membuat mereka terkesan dimanjakan dan sistem yang baru ini tak memberi efek kapok bagi mereka. Namun, jika dipandang dari sisi kemanusiaan, tentu perubahan dasar penghukuman ini adalah pilihan tepat.

Seberapa Efektif?

Perubahan sistem kepenjaraan ke sistem pemasyarakat meruakkan serangkaian pertanyaan di kepala banyak orang. Pertanyaan-pertanyaan umum yang kerap muncul adalah seberapa efektif proses pembinaan di dalam lapas mampu mengubah para pelanggar hukum menjadi manusia yang lebih baik.

Pada dasarnya bentuk pembinaan yang diberikan kepada narapidana di dalam lapas terbagi dua. Pertama adalah pembinaan kepribadian meliputi: pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, pembinaan kesadaran hukum serta pembinaan mengintegrasikan diri. Kedua adalah pembinaan kemandirian, yang berorientasi pada peningkatan keterampilan narapidana yang mendukung usaha mandiri sesuai bakat dan minat mereka, sehingga mereka punya bekal keterampilan saat kembali ke tengah lingkungan masyarakat.

Studi yang dilakukan Federal Bureau of Prisons menyatakan bahwa narapidana dengan pembekalan berupa pelatihan di penjara mampu menyesuaikan diri lebih baik di masyarakat, kemungkinan untuk kembali melakukan kejahatan lebih kecil, dan lebih terbuka untuk mendapatkan pekerjaan setelah bebas. Adanya program-program pembinaan ini, diharapkan mampu mengubah narapidana menjadi pribadi lebih baik dan berguna di masa kelak.

Baca juga: Klithih: Sebuah Kegairahan?

Dengan program-program ini, narapidana yang kehilangan kemerdekaannya di dalam lapas tidak serta-merta menghabiskan masa hukuman dengan meringkuk seharian di dalam sel jeruji penjara. Sebagian besar waktu mereka akan dihabiskan untuk fokus mengikuti beragam program pembinaan yang sudah dibuat oleh lapas. Hal itu sudah menjadi kewajiban mereka selama menjalani masa pidana.

Proses pembinaan, baik dilakukan oleh petugas pemasyarakatan, antarnarapidana (pemuka), atau kerjasama dengan pihak lain, akan rutin dilaksanakan setiap hari. Sebab, program yang berjalan secara berkesinambungan diharapkan mampu menciptakan habitus atau kebiasaan yang tertanam karena adanya proses internalisasi secara berulang dari serangkaian aktivitas.

Akan tetapi, tak semua narapidana dengan mudah menerima setiap program pembinaan yang sudah dibuat lapas. Kebiasaan sebelumnya selama hidup di luar lapas akan membangun resistensi yang umumnya ditampilkan lewat tindakan bermalas-malasan, berusaha menghindar dengan seribu macam alasan, bahkan bisa sampai melawan petugas. Sebab itu, narapidana yang kemudian menolak mengikuti proses pembinaan, harus siap menerima hukuman.

Di dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) No. 6 Tahun 2013 telah dijelaskan bahwa narapidaa yang menolak mengikuti proses pembinaan akan memperoleh hukuman disiplin tingkat berat berupa: narapidana akan dimasukkan ke dalam sel pengasingan selama enam hari dan dapat diperpanjang selama dua kali enam hari, serta tidak memperoleh hak remisi (pengurangan masa pidana), asimilasi, cuti bersyarat, cuti menjelang bebas, cuti mengunjungi keluarga, dan pembebasan bersyarat.

Melalui ancaman pemberian hukum ini, narapidana akan dipaksa untuk mengikuti setiap program pembinaan yang sudah ditetapkan sehingga akhirnya mereka diharapkan memiliki kebiasaan yang akan mengubah diri mereka menjadi pribadi lebih baik.

Memang tak bisa dipungkiri bahwa, proses pembinaan tidaklah mudah. Pada faktanya masih ada beberapa residivis yang kembali bikin ulah, atau tak sepenuhnya insaf setelah bebas dari lapas. Namun, bukan berarti bahwa proses pembinaan di dalam lapas sepuhnya gagal. Sebab semuanya butuh proses.

Seperti yang kerap saya temui, tak sedikit narapidana yang akhirnya bisa membaca Alquran setelah mengikuti proses pembinaan di dalam lapas, atau akhirnya memiliki keterampilan tertentu yang belum mereka kuasai sebelumnya.

Kendati demikian, tak selamanya kemampuan baru yang mereka miliki itu lantas mengubah dirinya menjadi baik secara paripurna. Namun setidaknya, kenyataan ini bisa menjelaskan bahwa, proses pembinaan di dalam lapas sedikit demi sedikit mampu mengubah narapidana ke arah lebih baik.

Perubahan itu butuh waktu, juga proses panjang, dan setiap orang memiliki kemampuan berbeda di dalam menerima pembinaan hingga kesadaran untuk berubah menjadi lebih baik akhirnya datang kepada mereka.

Dan satu hal lagi, bahwa pembinaan tidak hanya berada di pundak para petugas pemasyarakatan, tapi keluarga dan orang-orang terdekat mereka juga punya peran untuk mengubah mereka menjadi pribadi yang lebih baik lagi setelah mereka bebas. Sebagaimana kata Aristoteles, kebaikan itu lahir dari kebiasaan.

Munawir Mandjo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email