Ada sebuah video lewat di timeline media sosial saya kemudian mengusik kepala saya sampai saat ini. Semuanya berawal ketika ramai pemberitaan mengenai mahasiswa UGM berumur 18 tahun yang memutuskan untuk bunuh diri. Tak berselang lama, sebuah video milik Koko Mas Filsuf (@kudatampan_) tiba-tiba sampai di timeline—lantas berhasil membuat saya merenung dan mencari tahu lebih dalam soal ini.
Kreator konten video itu menyambung video yang membahas mengenai peristiwa bunuh diri mahasiswa UGM tersebut dengan pemikiran filsuf Schopenhauer yang merupakan filsuf pesimisme (seringkali juga disebut filsuf nihilisme). Yang ganjil adalah bahwa Schopenhauer justru meninggal di usia yang cukup tua, yakni 80 tahun. Dan dalam video tersebut sang konten kreator mengatakan bahwa “… hidup ini merupakan kesia-siaan, namun ia justru mati tua, atau setidaknya tidak bunuh diri.” Pertanyaan yang timbul ialah, mengapa filsuf yang menganggap bahwa hidup ini adalah kesia-siaan justru tidak pernah mencoba untuk membunuh dirinya sendiri?
Filsuf suram kelahiran tahun 1788 yang menganggap hidup ini adalah kesia-siaan dan tidak bermakna, justru tidak pernah melakukan upaya bunuh diri. Kemudian dijelaskan pada bagian video berikutnya bahwa Schopenhauer juga mengatakan: Kalau kamu tidak memberi makna pada hidup, lantas kenapa harus sulit-sulit memberikan makna pada kematian?
Hal ini membuat saya kembali terpikir dengan potongan kalimat yang saya baca tempo hari, “Yang pasti adalah mati, yang tidak pasti adalah hidup. Lantas kenapa mengkhawatirkan hal yang pasti terjadi?”—menurut saya, dua kalimat ini menyinggung topik yang sama dan membuat saya cukup berpikir panjang.
Setelah merenungkan kedua hal itu, saya langsung teringat dengan tugas kuliah saya beberapa saat lalu di mana saya mewawancarai seseorang mengenai persepsinya soal bunuh diri. Salah satu pertanyaan yang saya lontarkan ialah: “Menurut anda, apakah bunuh diri bisa jadi solusi?”. Seluruh orang yang saya wawancarai kompak menjawab bahwa bunuh diri bukanlah cara penyelesaian, bukanlah jalan yang baik. Ada satu orang yang menambahkan penjelasan bahwa bunuh diri justru berarti lari dari masalah-masalah yang ada.
Jika saya kaitkan kembali hal ini dengan pemikiran Schopenhauer, menurut interpretasi saya, maka ia kurang lebih mengajak kita untuk menghayati ini: Dibandingkan memberi makna pada kematian, kenapa kita tidak mencoba memberi makna pada kehidupan? Kematian merupakan hal yang pasti dan merupakan akhir dari hidup semua manusia, tetapi bunuh diri bukanlah cara tepat untuk menuju sesuatu yang pasti dari tiap-tiap manusia.
Hal ini bisa relevan dengan peristiwa yang terjadi di masyarakat luas. Angka kematian karena bunuh diri bukanlah masalah sepele. Kebanyakan orang memutuskan untuk bunuh diri dikarenakan tekanan yang sudah tidak bisa dibendung dan mereka cenderung menganggap bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan logis sekaligus cepat yang bisa ditempuh.
Jika kita bisa memberikan definisi atau makna pada bunuh diri sebagai “jalan keluar”, lantas mengapa kita tidak mulai mencoba untuk memberi makna pada kehidupan kita saja? Tidak harus berangkat dengan angan-angan setinggi awan, karena ekspektasi yang tidak tercapai justru malah akan menjadi beban bagi kita. Memberi makna kehidupan lewat hal-hal kecil yang biasa kita jumpai, misalnya. Memaknai kehidupan lewat sarapan yang setiap pagi dihidangkan, seporsi mie yang sering disantap, atau hal-perihal yang terlihat kecil lainnya.
Dalam pemikirannya, Schopenhauer mengatakan bahwa kehidupan digerakkan oleh semacam “Kehendak” yang bilamana kehendak tersebut tidak terpenuhi, maka akan muncul rasa kecewa atau gagal dalam hidup. Manifestasi atau Kehendak ini jugalah yang seringkali menjadi atau memberi masalah baru jika gagal untuk dipenuhi. Harapan yang tidak terwujud ini akan membawa manusia pada lubang kesedihan dan keputusasaan. Dengan demikian, adalah normal dan wajar untuk merasakan berduka, kecewa, patah semangat, kemalangan, kehampaan, dan lain sebagainya.
Dan untuk mencapai kesuksesan, menurut Schopenhauer, juga bukan merupakan kebahagiaan yang sejati. Manusia dalam hidupnya senantiasa memiliki Kehendak dan akan terus merasa haus akan hal tersebut, sehingga itulah yang bisa menyebabkan seseorang tidak menikmati hidupnya. Masyarakat pada zaman ini, memiliki terlalu banyak “target” dalam hidupnya, tentu adalah hal yang bagus, namun perlu ada pemakluman atau penerimaan kalau-kalau target tersebut tidak bisa terpenuhi. Belum lagi standar ideal yang irasional, yang tertanam di dalam masyarakat. Mengikuti standar-standar itu, tentu berpotensi memicu stres bahkan depresi dalam diri sendiri.
Hal inilah yang bisa memicu meningkatnya nilai stres dalam kemasyarakatan. Ada begitu banyak mahasiswa yang berprestasi secara akademik tapi setiap bulan mesti berkonsultasi dengan seorang psikolog atau psikiater. Hal ini disebabkan karena banyak dari kita merasa ada begitu banyak tuntutan yang ada dalam lingkungan sosial. Harus begini, harus begitu, harus sempurna.
Maka tidak heran apabila angka bunuh diri di Indonesia kian meningkat setiap tahunnya. Sungguh hal yang mengkhawatirkan. Akan tetapi, semoga dengan semakin banyaknya pembahasan mengenai isu-isu kesehatan mental, mampu meningkatkan kewaspadaan kita.
Schopenhauer dalam pendapatnya juga mengajak kita untuk sadar bahwa kita tidak menderita sendirian—ada begitu banyak manusia yang juga merasakan hal yang sama. Hal ini tidak bertujuan untuk menginvalidasi apa yang seseorang rasakan, justru merangkul tiap orang untuk terus bertahan karena ada begitu banyak yang merasakan hal yang sama. Ada begitu banyak manusia yang juga berjuang untuk kehidupannya.
Di luaran sana, setiap orang saling bergumul dengan masalahnya masing-masing. Apa yang dikatakan oleh Schopenhauer adalah oase di tengah-tengah kekalutan pikiran yang ada— membuat kita sadar bahwa kita tidak benar-benar sendirian merasakan penderitaan. Dan dibandingkan dengan mencoba memaknai kematian melalui bunuh diri, mengapa kita tidak mencoba memaknai kehidupan kita mulai sekarang?
Berangkat dari hal paling sederhana yang bisa kita pikirkan, mencoba untuk memaklumi setiap kegagalan dan ekspektasi yang tidak terpenuhi, dan menyadari kebebasan kita untuk memaknai hidup ini. Dan bagi saya, filsafat Schopenhauer memberikan saya sebuah sudut pandang baru dalam hidup. Semoga teman-teman juga merasakan hal yang sama.
*****
Editor: Moch Aldy MA
Sangat mewakili perasaan gen Z sekarang menurut saya. Banyak yg mengeluh tentang kehidupan yg absolut, yg pasti, mutlak, dan tidak ada batasnya. Terkadang saya juga memang merasa sayalah manusia yg paling sengsara di dunia ini, setelah dipikir-pikir banyak sekali orang di luar sana yg masalahnya melebihi masalah saya sendiri.Terima kasih omongomong.com telah menorehkan tulisannya yg epik ini. Sukses dan lancar selalu kak🤗
Kak, setelah kakak menyadari kalau ada banyak orang di luar sana yang masalahnya melebihi masalah kakak sendiri, apa ada perubahan pandangan atau perubahan secara umum terkait cara kakak menanggapi masalah kakak sendiri?