Organ vital manusia adalah otak. Oleh karena itu, pikiran manusia harus diisi hal-hal positif. Namun, tidak semua manusia bisa sepenuhnya memberi makan pikiran dengan hal-hal positif. Itulah kenapa kejahatan lahir bersamaan dengan eksistensi manusia. Keduanya tidak bisa dipisahkan.
Di sinilah kita sekarang, di dunia dengan banyak aturan. Aturan ada untuk memberi batasan-batasan pada perilaku manusia dengan harapan meminimalisir kejahatan dan menciptakan kehidupan yang aman-nyaman. Bersamaan dengan terciptanya aturan-aturan itu, hukuman ada untuk menghukum perilaku-perilaku kejahatan.
Baca juga:
Kejahatan Berangkat dari Ketidakpedulian
Saking vitalnya, otak bisa mengendalikan perilaku manusia, termasuk insting melakukan kejahatan. Oleh karena itu, menganggap remeh suatu kejahatan sama dengan mendukung kejahatan itu sendiri. Jika kita memercayai bahwa suatu tindak kejahatan seperti mencontek, mencuri mangga tetangga, dan menyembunyikan sandal orang jumatan adalah hal remeh, kita akan memiliki kecenderungan melakukan hal serupa di kesempatan lain.
Pikiran yang diisi oleh hal-hal positif akan mengarahkan perilaku kita pada hal-hal yang juga positif. Begitupun sebaliknya, jika pikiran diisi oleh hal-hal negatif, perilaku kita cenderung mengarah pada hal-hal negatif. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan Sigmund Freud tentang pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.
Singkatnya, pikiran sadar merupakan keadaan ketika pikiran kita dalam keadaan prima. Pikiran sadar menerima informasi dan bekerja dengan kesadaran penuh. Ia mampu berpikir analitis dan kritis.
Sementara itu, pikiran bawah sadar merupakan pikiran yang mengendalikan sebagian besar perilaku kita. Pikiran bawah sadar menyimpan segudang informasi di luar pikiran sadar, serta menjadi sumber emosi yang memengaruhi dorongan atau insting perilaku manusia.
Ketika berkendara ke tempat baru, misalnya, pikiran sadar kita bekerja penuh karena fokus menghafal dan memastikan tidak salah jalan. Namun, setelah berkali-kali berkendara ke tempat tersebut, kita bisa melakukannya sambil multitasking hingga tanpa sadar sudah sampai di tempat tujuan. Itu artinya rute jalanan yang biasa kita lewati sudah masuk ke pikiran bawah sadar dan mengendalikan gerak serta perilaku kita.
Maka dari itu, kebiasaan menganggap remeh perilaku kejahatan “kecil” di sekitar kita sama artinya dengan menanamkan bibit-bibit kriminal di pikiran bawah sadar. Kebiasaan ini akan membentuk pola pikir untuk membenarkan tindak kejahatan yang biasa disebut criminal thinking. Insting ini kemudian mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan serupa atau bahkan lebih parah.
Menghukum Perilaku Kejahatan
Menurut Sigmund Freud, manusia dikendalikan oleh dorongan bawah sadarnya atau insting. Hal inilah yang menjadikan penjara ditetapkan sebagai metode hukuman bagi perilaku kejahatan.
Terlepas dari itu, saya yakin di luar sana masih ada orang yang berpikir bahwa hukuman penjara kurang adil bagi pelaku kejahatan. Saya yakin di luar sana masih ada orang yang berpikir, kenapa harus penjara? Kenapa bukan hukuman yang lebih menyiksa? Kenapa bukan hukuman yang bisa lebih memberikan rasa sakit?
Tindak kekerasan seksual menyakiti korban baik fisik maupun psikis, belum lagi bisa meninggalkan trauma dan distigma buruk oleh sebagian masyarakat. Rasanya, hukuman penjara itu tidak sepadan dengan luka yang diterima oleh korban sepanjang hidupnya.
Tujuan menghukum adalah mencegah kejahatan. Kenapa harus penjara? Karena penjara menerapkan hukum bukan pada tubuh yang dapat merasakan sakit, melainkan pada subjek yuridis, yang menurut Michel Foucault dalam Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern, yaitu subjek yang dikenai oleh hukum dan harus melaksanakannya.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa insting kejahatan dipengaruhi oleh faktor kognitif pelaku kejahatan. Itu artinya, kesalahan terletak pada jiwa bukan tubuh pelaku. Maka, yang jadi penting dalam pelaksanaan hukuman bukanlah keinginan untuk menghukum, melainkan mengoreksi.
Menghukum dengan menyasar tubuh pelaku agaknya kurang efektif untuk mencegah kejahatan. Oleh karena itu, diperlukan hukuman yang dapat mengoreksi, dalam artian mengubah kecenderungan jahatnya. Hukuman yang menyiksa seperti dilakukan orang-orang sekitar abad ke-17 dan abad ke-18 cenderung menyasar tubuh, bukan jiwa.
Pemenjaraan dan Penyiksaan
Zaman dahulu, siksaan sebagai hukuman badan diatur dan harus memenuhi setidaknya tiga kriteria sebagaimana disebutkan dalam buku Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern. Pertama, siksaan harus menghasilkan rasa sakit tertentu. Kedua, hukuman paling berat jatuh pada hukuman mati yang didahului upacara penyiksaan. Sebaliknya, hukuman paling ringan adalah hukuman yang memberikan siksaan paling rendah seperti hukuman mati yang dilakukan tanpa upacara penyiksaan. Ketiga, hukuman harus memberi sebanyak mungkin rasa sakit pada tubuh sebelum pelaku kejahatan mati. Siksaan yang dilakukan sampai pelaku mati adalah seni memelihara rasa sakit dalam hidup.
Alih-alih menegakkan keadilan, nyatanya hukuman dengan prosedur penyiksaan menjadi jalan ninja bagi para pemangku kekuasaan untuk menyiasati kepentingannya. Apa lagi kalau bukan demi harta dan tahta?
Sebagai bagian dari upacara, masyarakat diwajibkan untuk menyaksikan penyiksaan tersebut. Aturan ini didasarkan atas kepentingan pribadi sang penguasa. Setiap perbuatan pelanggaran atau pembangkangan pada otoritas pegang kuasa akan dihukum dengan berat. Mempertontonkan upacara penyiksaan terhadap pembangkang itu tidak lain bertujuan untuk menanamkan rasa takut dan patuh kepada masyarakat.
Pada abad ke-18 hingga ke-19, terjadi pergeseran sistem hukuman yang menjadi tanda bahwa kemanusiaan mulai diperhatikan. Sistem hukuman dengan prosedur penyiksaan itu tidak lagi berlaku. Penyiksaan itu beralih ke mekanisme pemenjaraan untuk menghukum jiwa-jiwa yang jahat.
Di balik jeruji besi, kemerdekaan hidup dirampas. Hukuman penjara menghilangkan sebagian besar hak para pelaku kejahatan untuk hidup sebagai manusia, misalnya hak keamanan, hak berinteraksi secara bebas, hak pendidikan dan pekerjaan, serta hak kebutuhan biologis. Pembatasan ini menekan psikis si pelaku. Dalam kurun waktu tertentu, mereka dihukum sekaligus dibina dengan pekerjaan-pekerjaan yang telah ditetapkan sebagai rutinitas mereka untuk mengubah kecenderungan jahatnya itu menjadi manusia yang susila.
Menurut Michel Foucault, pemenjaraan memiliki mekanisme pemaksaan untuk melatih dan menundukkan ketaatan individu melalui latihan pada pembiasaan aturan dan otoritas yang dilakukan secara kontinu. Perlu digarisbawahi bahwa serangkaian mekanisme pemenjaraan tidak memperbudak, tapi mendisiplinkan. Disiplin ini lebih ditujukan untuk pengembangan dan penguasaan individu terhadap tubuhnya sendiri.
Baca juga:
Setiap perilaku kejahatan tidak boleh dipandang remeh. Jiwa-jiwa jahat harus membayar kerugian yang ia timbulkan. Penjara adalah kesempatan bagi jiwa-jiwa itu untuk merenungi kesalahan, belajar menguasai tubuh, dan membebaskan jiwanya dari insting jahat. Idealnya, hukum harus menyasar perilaku bukan pelaku. Jika hukum itu fokus pada pelaku, hukum hanya akan jadi permainan seperti yang sudah-sudah.
Editor: Emma Amelia