“Orang mati, kok, ndak bisa dikubur? Aturannya siapa ini? Dari mana? Binatang aja bisa dikubur!” ucap Bu Asih, karakter yang dimainkan dengan sangat luar biasa oleh Christine Hakim dalam film Daun di Atas Bantal (1998).
Film lawas besutan Garin Nugroho itu menampilkan sebuah ironi yang menunjukkan betapa muramnya wajah negeri ini. Sebab, pada satu waktu, masyarakatnya telah mengeloskan aturan tak resmi tentang larangan mengubur jasad orang tanpa identitas atau yang tak terdaftar sebagai warga di salah satu kampung.
Kebiasaan ganjil itu mungkin sudah lama kita tinggalkan sejak dibuatnya protokol resmi perihal pemakaman jenazah tanpa identitas, bahkan ada tempat pemakaman umum (TPU) yang khusus dijadikan tempat pemulasaran bagi jasad-jasad tanpa nama. Namun, apa jadinya jika ada orang yang sudah meninggal, bahkan identitas dirinya jelas, tapi justru pemakamannya dipersulit negara?
Isu itu pernah diangkat M. Reza Fahriyansyah dalam film pendek berjudul Kembalilah dengan Tenang (2018) yang berkisah tentang krisis lahan pemakaman bagi masyarakat kelas bawah. Betapa ironisnya ketika seorang saudara baru saja meninggal, di tengah kedukaan, keluarga yang ditinggalkan masih harus mengalami beban moral dan ekonomi untuk membayar kaveling tanah—tempat jenazah dipusarakan. Belum lagi, langkanya tanah kuburan juga berdampak pada tingginya harga. Menumpuk jenazah pun jadi solusi yang tak terelakkan.
Contoh kasus di atas hanya segelintir dari berbagai fenomena ganjil yang sering terjadi ketika kita membicarakan peristiwa bernama kematian. Dalam film pendek berjudul Turut Berdukacita (2018), misalnya, sutradara Winner Wijaya mencoba merekam fenomena melayat yang terjadi dalam budaya masyarakat Indonesia.
Esensi melayat (takziah) yang semestinya dijadikan momentum untuk menyampaikan empati sekaligus memberikan dukungan bagi keluarga yang ditinggalkan, saat ini justru menjadi ajang basa-basi yang hampir tak ada bedanya dengan acara syukuran. Film tersebut mencoba merekam kebiasaan para pelayat yang sering mengajukan pertanyaan tak sensitif kepada keluarga mendiang—cara menyampaikan rasa iba yang lebih mirip sesi wawancara. Sebetulnya terasa miris, tetapi sekaligus ironis karena secara sadar atau tidak, kita pun sering melakukan hal yang sama saat berkunjung ke rumah duka.
Baca juga:
Saya jadi teringat sewaktu masih SMA, bapak saya pernah bercerita kalau pada zaman Nabi dahulu tidak pernah ada asap mengepul dari dapur rumah warga yang anggota keluarganya baru saja meninggal. Katanya, mereka yang sedang berduka tak perlu memasak apa pun karena para tetangga akan mengantarkan makanan secara bergantian selama beberapa hari sebagai wujud bela sungkawa.
Lalu, sewaktu saya berumur 19 tahun, ibu saya meninggal karena menderita penyakit asma. Banyak tetangga yang datang melayat, disambut dengan berbagai hidangan cuci mulut di atas meja. Saya pun bertanya kepada bapak, “Kenapa mesti repot menyiapkan makanan padahal kita yang sedang berduka?” Seolah-olah tanpa beban, bapak saya menjawab, “Sudah jadi kebiasaan kita.”
Begitu ironisnya, kita selalu mengalah pada kebiasaan, bukan pada sesuatu yang kita anggap sesuai dengan nilai yang semestinya. Maka, jangan heran apabila suatu hari tiba giliran kita meninggal dunia, yang kita wariskan hanya beban bagi orang-orang terdekat kita.
Pertama, mereka akan merogoh kocek untuk membeli sebidang tanah demi menyiapkan pusara kita. Kedua, mereka harus bersiap untuk diwawancarai perihal kapan dan kenapa kita meninggal. Ketiga, mereka juga harus siap menggelar pesta makan-makan berkedok takziah demi menjamu handai tolan yang sudah bersusah payah melayat jenazah kita.
Semuanya jelas tak melanggar nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, bukan? Sebab, memang begitulah cara normal kita merayakan orang-orang yang meninggal dunia. Ya, seperti yang pernah bapak saya bilang, ini sudah jadi kebiasaan kita.
Editor: Emma Amelia
Terima kasih untuk tulisannya, Mas Rido.
Sungguh mengena dan mewakili perasaan saya.
👍🏽👍🏽👍🏽
Terima kasih sudah baca ya.