Entah sudah berapa kali pertanyaan tentang makna hidup ditanyakan. Apakah pertanyaan tentang makna hidup itu pernah sampai pada jawaban yang final? Rasanya tidak. Nyatanya, makna hidup sangat beragam bagi tiap-tiap orang. Tidak pernah ada satu makna yang pasti. Apa yang bermakna bagi kita belum tentu bermakna bagi orang lain.
Terkadang, demi menciptakan makna hidup, seseorang bakal menentukan beberapa syarat, misalnya gaji di atas UMR, diterima di universitas ternama, menduduki jabatan yang potensial, atau hal-hal lain yang dirasa dapat memuaskan hasrat diri. Akan tetapi, sampai sejauh manakah makna itu akan bertahan ketika segala sesuatu tak ada yang abadi selagi ia masih terikat waktu?
Baca juga:
Jika seseorang menempatkan makna pada hal-hal yang masih terikat dengan waktu, maka ia pasti akan merasakan kepedihan dan merasa kehilangan. Banyak orang yang jatuh depresi karena kehilangan orang tercinta, ada orang yang bergelimang harta, tapi ia selalu merasa kosong. Ada juga orang dengan jabatan potensial, tapi akhirnya ia jatuh sakit karena terlalu keras bekerja.
Boleh jadi kita hanya berputar-putar pada suatu hal yang kita sangka adalah makna dari hidup. Tak salah apa yang dikatakan Camus bahwa hidup ini absurd, bahwa pencarian manusia terhadap makna akan berakhir dengan kegagalan. Manusia tidak akan pernah sampai pada makna yang hakiki. Mereka akan selalu berputar terus-menerus, melompat dari satu makna ke makna yang lain.
Saya bertanya-tanya, apakah agama (dalam hal ini, agama Islam karena saya beragama islam) bisa menjawab tentang makna kehidupan? Sejauh yang saya pahami, ada surah dalam Al-Qur’an yang berbunyi, “Tidak Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Jika tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada Allah, apakah lantas ibadah menjadi makna kehidupan? Lalu, ibadah yang seperti apa? Apakah hanya sebatas salat lima waktu, puasa di bulan Ramadan, atau hal lain yang terkait pemujaan terhadap Allah? Apakah hal lain di luar ibadah lantas tidak bermakna?
Pertanyaan tersebut satu-persatu menemui titik terang. Namun, saya lebih suka menyebutnya abu-abu—mengapa? Sebab, jawabannya berasal dari pemaknaan pribadi terhadap hidup saya sendiri. Hal ini sangat mungkin tidak bisa diterima oleh sebagian orang—saya tidak memungkiri hal itu. Oleh karenanya, tulisan ini tidak berusaha mencari kebenaran atas apa yang saya sampaikan, melainkan tawaran opsi yang barangkali bisa dijadikan bahan renungan.
Pertama, kita harus bersepakat bahwa ibadah bisa dijadikan batu pijakan awal untuk memaknai kehidupan. Setelah kesepakatan tercapai, barulah kita lompat ke pertanyaan selanjutnya: ibadah yang seperti apa?
Dalam Islam ada yang disebut dengan hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal’alam. Ketiga perkara tersebut bernilai ibadah selagi dilakukan dengan cara yang benar. Benar bagaimana? Semisal salat lima waktu masuk ke kategori hablum minallah, salat akan bernilai ibadah selagi kita mengetahui dan memenuhi syarat sah salat seperti; bersuci, melaksanakan rukun-rukun salat, dst. Begitu juga pada hablum minannas, dan hablum minal’alam.
Secara ringkas, hablum minallah merupakan hubungan antara manusia dengan penciptanya (kesalehan individu). Sementara itu, hablum minannas mencakup hubungan antar sesama manusia (kesalehan sosial) dan hablum minal’alam adalah hubungan manusia dengan alam.
Sejauh ini kita tahu bahwa ibadah bisa dibagi menjadi tiga perkara. Dari tiga perkara yang disebutkan tadi, masing-masing dari mereka bisa dipecah menjadi sub-sub yang lebih kecil. Tugas kita adalah mengelompokkan apa-apa saja yang masuk dalam tiga perkara ibadah; apa yang masuk ke hablum minallah, hablum minannas, dan hablum minal’alam.
Singkatnya, hablum minallah adalah kegiatan seperti salat, wirid, puasa, naik haji, mengucap syukur atas nikmat yang didapatkan, dst. Kemudian, hablum minannas misalnya bersikap jujur saat berdagang, tidak melukai hati sesama, dst. Terakhir, hablum minal’alam adalah sebisa mungkin menjaga alam agar tetap lestari dengan menghentikan kegiatan ekonomi ekstraktif yang membabat hutan dan mengeruk gunung, tidak meracun atau menyetrum ikan, memberi makan kucing liar, dan banyak lagi lainnya.
Begitu banyak perbuatan yang bernilai ibadah. Namun, perlu juga diingat, sesuatu yang semula bernilai ibadah bisa menjadi tidak bernilai ibadah tatkala dilakukan dengan cara yang tidak tepat. Menyantuni anak yatim bernilai ibadah, tapi jika hal itu ditujukan untuk pamer, maka gugur sudah nilai ibadahnya.
Selanjutnya, mari kita beralih ke hubungan antara ibadah dengan makna hidup. Kita tidak dapat mengelak bahwa tidak ada satu makna hidup yang pasti. Yang kita tahu adalah apa pun itu akan bermakna selagi ia bernilai ibadah.
Hidup ini terasa absurd atau kosong apabila kita meletakkan makna pada hal-hal yang masih terikat dengan waktu. Lalu, apa yang tidak terikat waktu? Allah dan alam sesudah kematian yang abadi. Ketika kita meletakkan makna pada sesuatu yang abadi, kita tidak akan kehilangan makna itu.
Baca juga:
Kita letakkan makna pada kata ibadah dengan menggantungkannya kepada Allah dan keyakinan akan adanya hari pembalasan di alam sesudah kematian. Perlu diingat, Allah mencatat serta membalas semuanya. Balasan akan perilaku yang kita maksudkan untuk ibadah itu tadi yang bernilai abadi dan bakal kita tuai saat pulang ke sisi-Nya nanti.
Balasan itu berbeda tergantung sejauh mana kita melaksanakan tiga perkara ibadah tadi. Hitungan kekanak-kanakannya, jika surga dibagi menjadi tujuh, tentu tiap-tiap orang akan berada di surga yang berbeda, dengan nikmat yang berbeda, serta dengan perasaan hati yang berbeda pula. Mereka pun akan abadi merasakan balasan itu di surga.
Bahkan, bagi seorang yang mencintai Allah, nabi, rasul, serta para sahabat dengan sungguh-sungguh, bukan lagi hal-hal yang bersifat material yang mereka inginkan di surga. Namun, perjumpaan dengan kekasih merekalah yang mereka harapkan.
Kehidupan di dunia tidak menuntut kita untuk menemukan satu makna universal yang bisa diterima semua orang. Kita bisa berbeda-beda memaknai hidup sesuai dengan yang kita harapkan dan inginkan, tetapi pencapaian atau kegiatan itu tidak boleh terlepas dari tiga perkara yang membuatnya bernilai ibadah tadi.
Jika minum kopi di teras rumah sembari merokok sudah bisa membuatmu bertafakur mensyukuri hidup dan berterimakasih kepada Allah, boleh jadi kamu sudah memaknai hidupmu dan membuatnya bernilai ibadah.
Editor: Emma Amelia