Selama belasan tahun menyelami kehidupan ibu kota, belum pernah saya terkena ISPA lebih parah daripada yang saya alami sebulan lalu. Sekitar awal Agustus 2023, tubuh saya sudah mulai merasa tercekik ketika saya menghirup udara. Kemudian berlanjut terasa semakin parah pada minggu kedua dan ketiga di bulan yang sama.
Sejak awal saya sudah menduga tentang penyebab diri saya terkena ISPA. Udara kotor langsung terbesit dalam pikiran saya. Namun, faktanya lebih parah daripada dugaan saya. Tanggal 13 Agustus lalu, IQAir mengumumkan bahwa Jakarta adalah kota yang paling berpolusi di dunia. Meskipun begitu, aktivitas ulang-alik warga Jakarta dan sekitarnya tetap ramai, seolah kabar dominasi polusi udara menjadi berita biasa.
Rasa penasaran tentang akar penyebab polusi udara di Jakarta menyelimuti saya. Akhirnya saya paham mengapa kebanyakan orang mewajarkan terjadinya polusi di Jakarta, sekalipun mereka telah mengetahui penyebabnya. Sikap dan reaksi orang yang ingin tahu penyebab polusi hampir tidak dapat dibedakan dengan orang yang skeptis. Selain karena sama-sama terpaksa harus tetap menghadapi aktivitas, mereka yang memiliki informasi tentang ancaman polusi udara juga tidak bisa berbuat banyak.
Baca juga:
Terdapat beberapa faktor penyebab Jakarta menjadi kota paling berpolusi. Faktornya tentu berbeda-beda. Ada faktor yang terjadi karena aktivitas manusia, seperti asap kendaraan berbahan bakar fosil, pembuangan limbah industri, dan pembakaran PLTU. Ada pula faktor iklim dan cuaca yang berkontribusi melestarikan buruknya kualitas udara, misalnya kemarau panjang yang membuat tiadanya hujan.
Para pengambil kebijakan sepertinya tidak ingin berserah diri begitu saja dengan siklus alam yang sedang terjadi. Jika aktivitas manusia sudah mengakar dan sulit untuk diminimalisasi, mampukah alam direkayasa? Jika di sebuah daerah sedang mengalami polusi yang buruk dan membutuhkan guyuran hujan sebagai salah satu solusi untuk meredakannya, apa yang dapat dilakukan?
Lembaga Ilmiah dan Hujan Buatan
Sebagai lembaga saintifik yang dapat membuat kebijakan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengambil langkah terkait polusi udara yang terjadi. Pada 15 Agustus lalu, Koordinator Laboratorium Pengelolaan TMC BRIN, Budi Harsoyo, menyatakan BRIN bisa saja menciptakan hujan buatan untuk mengurangi intensitas polusi udara. Syaratnya adalah terdapat potensi awan. Masalahnya, membuat hujan buatan pada saat itu sulit dilakukan karena tidak ada awan potensi hujan.
Setelah menunggu lebih dari sepekan lamanya, BRIN yang dibantu Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhirnya dapat menguji coba teknologi modifikasi cuaca (TMC) untuk membuat hujan. Awan nimbus di langit Jakarta yang dipantau oleh BMKG terus bertambah.
Mulai tanggal 24 hingga 26 Agustus dilaksanakan penyemaian NaCl (natrium klorida) di awan-awan yang memiliki potensi hujan. Natrium klorida (garam) berfungsi sebagai inti kondensasi yang dapat merangsang pembentukan tetesan air pada awan nimbus. Sehingga awan hujan yang ada di langit Jakarta tidak menjadi “awan lewat” begitu saja dan turun rintik-rintik air di tempat lain. Penyemaian NaCl dapat mempercepat turunnya hujan dari awan nimbus yang melintasi langit ibu kota.
Sore menjelang malam hari, 27 Agustus 2023, hujan membasahi gugusan bangunan Kota Jakarta. Suasana menjadi lebih sejuk ketimbang biasanya. Tidak ada kilat dan guntur. Hanya ada rintik-rintik air dari arah langit. Seketika itu saya langsung sadar, hujan yang hadir di lingkungan saya bukanlah alami pemberian alam, tapi dengan campur tangan manusia.
Meskipun hujan yang terjadi kemarin belum menghilangkan polusi udara sepenuhnya, setidaknya lingkungan menjadi terasa segar kembali. Keesokan harinya saya merasakan udara yang lebih baik daripada sebelum turunnya hujan hasil modifikasi cuaca itu. Udara yang tercemar tampaknya sudah berkurang.
Saya rasa TMC dapat menjadi solusi jangka pendek untuk mengatasi polusi udara. Bagaimanapun prosesnya, entah alami atau buatan, turunnya hujan mampu menjadi penawar racun udara. Selain itu, hujan juga meningkatkan kualitas udara di lingkungan yang dibasahinya.
Berdasarkan pengalaman saya, suasana yang berbeda jelas terasa antara sebelum dan sesudah hujan, termasuk pengaruhnya terhadap sistem pernapasan dalam tubuh saya yang dirasa kian membaik. Iptek telah membuat hidup saya menjadi lebih baik dan memecahkan permasalahan yang ada di lingkungan sekitar saya.
Intervensi atas Alam sebagai Implikasi Penggunaan Sains
Secara pragmatis, sains dan teknologi sudah banyak membantu kehidupan manusia. Di era modern ini, sains tidak hanya menawarkan eksplanasi terhadap realitas, tapi juga berusaha mengubah realitas. Caranya adalah dengan memahami terlebih dahulu gambaran kenyataan dengan metode dan sikap ilmiah. Dan sains tetap memberikan penjelasan untuk menggambarkan kenyataan. Namun tidak hanya itu, sains digunakan sebagai ‘hamba teknologi’ untuk membantu kehidupan manusia.
Seketika saya langsung terbayang dengan pandangan instrumentalisme dalam filsafat sains. Pandangan ini menekankan kegunaan praktis dari ide maupun pengetahuan sebagai instrumen untuk menyelesaikan masalah. Teori dan hukum yang menjadi dasar penjelasan saintifik sebaiknya juga dinilai atas kemampuannya untuk memprediksi fenomena alam.
Baca juga:
Dalam diskursus filsafat sains, pandangan ini tergolong ke dalam anti-realisme. Instrumentalisme dikenal menolak realisme ilmiah yang ingin mengungkapkan kebenaran metafisik atas realitas melalui sains. Dengan mengabaikan entitas yang tidak terobservasi (unobservable), instrumentalisme lebih condong kepada tindakan praktis yang menjadi dasar dalam menentukan makna dan kebenaran.
Namun bagi saya, instrumentalisme dan realisme saintifik tidak harus diposisikan pada status perdebatan yang selevel: antara anti-realisme dengan realisme per se. Setidaknya, filsafat sains menelaah posisi praktisi sains. Sebaliknya, kedua paradigma ini bisa berjalan secara bertahap dan beriringan. Realisme dapat diposisikan sebagai pencapaian epistemik untuk mengungkap kebenaran atas kenyataan, baik entitas yang teramati maupun yang luput dari observasi. Sementara instrumentalisme mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang ada di kenyataan menggunakan batu pijakan realisme.
Dengan pandangan yang padu ini, pengamatan atas suatu fenomena alam dipupuk oleh komitmen terhadap kenyataan yang objektif. Setelahnya, permasalahan demi permasalahan didekati secara ilmiah—dalam bentuk realisme saintifik—untuk dicarikan penyebab dan solusi masalahnya.
Dalam praktik yang biasa dilakukan oleh lembaga ilmiah maupun masyarakat akademik secara luas, posisi realisme dan instrumentalisme terlaksana secara padu. Pada kasus polusi udara, lembaga-lembaga ilmiah dan bahkan pemerintah sekalipun sudah mencari cara untuk mengatasi permasalahan yang sedang terjadi.
Mereka menaruh komitmen terhadap penjelasan ilmiah tentang faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya polusi udara—seperti musim kemarau yang berkepanjangan dan tiadanya hujan di Jakarta. Kemudian mereka segera mencari solusi untuk mengatasi masalah dari faktor-faktor yang ada. Teknologi modifikasi cuaca, yang tentu saja berasal dari riset saintifik, menjadi alat untuk mengatasi polusi udara. Ini adalah sedikit contoh dari penggabungan realisme saintifik dan pandangan instrumentalisme dalam praktik keilmuan yang dilakukan lembaga ilmiah.
Hasilnya, peradaban manusia yang berdasarkan paradigma ilmiah dapat menaklukkan dan merancang alam sesuai dengan rencananya. Terbukti dengan penggunaan TMC untuk kepentingan manusia. Padahal dahulunya alam—termasuk iklim dan cuaca—dipandang sebagai sesuatu yang dominan atas manusia. Oleh karenanya manusia seolah mustahil untuk melawan alam jika bukan melalui kekuatan dewa, Tuhan, dan entitas transenden lainnya.
Upaya Tradisional untuk Mengubah Cuaca
Keinginan untuk dapat memodifikasi cuaca ternyata tidak hanya dilakukan oleh lembaga ilmiah yang memiliki paradigma saintifik. Manusia terdahulu telah memiliki sistem pengetahuan tentang fenomena cuaca dalam weather lore (pengetahuan cuaca tradisional) dan folk physics (fisika rakyat)-nya tersendiri. Berbekal pemahaman intuitif terhadap alam, mereka dapat menyusun kesimpulan tertentu atas fenomena yang terjadi dalam realitas. Bersandar dengan suatu keyakinan, mereka membayangkan jika alam dapat bersahabat kepada mereka.
Homo sapiens bukan lagi binatang trivial yang pasrah begitu saja terhadap alam. Sejak masa pemburu-pengumpul, mereka telah memiliki kepercayaan religius tertentu. Hal ini dibuktikan dengan penemuan lukisan-lukisan di dinding gua dan arca Venus yang menggambarkan keadaan spiritual mereka untuk memuja sesuatu yang diyakini. Mereka terus berevolusi hingga sistem kepercayaan Abrahamik menganggap bahwa manusia adalah pemimpin di muka bumi dan makhluk dengan derajat tertinggi di antara makhluk-makhluk Tuhan lain.
Sejak saat itu, mereka merasa berbeda dari semua makhluk hidup lainnya, seperti hewan dan tumbuhan. Lebih dari itu, mereka merasa mampu menaklukkan alam. Tentunya dengan perasaan yakin bahwa mereka dibantu oleh ‘entitas’ tertentu yang lebih kuat dari mereka, sehingga mereka diizinkan menaklukkan alam. Seringnya, mereka tidak tahu bagaimana caranya menguasai alam, tapi mereka menyerahkannya kepada ‘Yang Maha Kuasa’, yang teraktualisasi dalam suatu ritual maupun pemujaan.
Untuk berusaha memodifikasi cuaca misalnya, mereka melakukan praktik magis pawang hujan seperti yang dilakukan Mbak Rara, yang pernah viral sebagai pawang hujan di pagelaran MotoGP Mandalika. Dahulu nenek moyang penghuni Nusantara pernah menggunakan nekara sebagai alat peminta hujan. Ritus keagamaan yang dijumpai sehari-hari juga memiliki kasus konkret yang serupa. Contohnya pengucapan mantra persembahan dari Weda yang dibacakan oleh resi di dalam agama Hindu, dan salat Istisqa untuk memohon datangnya hujan menurut keyakinan Islam.
Apakah ritual-ritual yang telah disebutkan di atas (dan sejenisnya) dapat mengintervensi dan memodifikasi alam—dalam konteks ini adalah cuaca—secara langsung? Saya rasa jawabannya bergantung pada keyakinan masing-masing. Yang jelas, menurut saya mereka tidak mengintervensi, memodifikasi, apalagi menaklukkan alam secara langsung. Mereka menyerahkannya kepada kekuatan yang diyakini ada, jadi bergantung dengan entitas lain. Itu pun berdasarkan insting, intuisi, dan iman. Bukan dengan pengetahuan mereka sendiri untuk mengetahui apa yang terjadi dan bagaimana mengubahnya.
Kasus ini berbeda dengan praktik saintifik berlandaskan tanggung jawab pengetahuan. Meski praktik ritual yang berlandaskan keyakinan religius tertentu belum tentu valid dalam pengertian ilmiah dewasa ini, keyakinan itu memberikan sumbangsih di kemudian hari untuk membuat manusia yakin bahwa mereka mampu menjelaskan dan menaklukkan alam. Manusia akhirnya meninggalkan ketergantungan terhadap keyakinan religius untuk menaklukkan dan merekayasa alam demi kemaslahatan yang dicita-citakan.
Editor: Prihandini N