Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM, Pegiat Rumah Baca Komunitas

Semua Salah Cuaca?

Iman Permadi

3 min read

Dari desa-desa dan kota-kota di Jawa, Bali dan Nusa Tenggara Barat sampai Kalimantan dan Sulawesi, Indonesia hari-hari ini sedang dilanda banjir. Di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, setidaknya empat orang meninggal dan puluhan lainnya luka-luka serta ratusan rumah hanyut. Di Sulawesi, dari Luwu, Soppeng sampai Makassar, ribuan keluarga kelihangan rumah dan harus mengungsi. Di banyak daerah lainnya di Indonesia kejadiannya tidak banyak berbeda

Cara mencuci tangan yang cukup efektif bagi pemangku kebijakan ketika bencana alam terjadi ialah dengan menyalahkan cuaca ekstrem sebagai biang keladinya. Sekilas, orang-orang akan menyimpulkan bahwa bencana alam lahir dari ruang hampa—terjadi begitu saja dengan sendirinya. Tentu saja itu tidak benar.

Dua kasus banjir, tidak bermaksud menafikkan kasus yang juga terjadi di daerah lain, dan argumen para sarjana yang akan dipaparkan dalam tulisan ini perlu menjadi refleksi sebagai upaya melihat lebih jauh apakah sebenarnya bencana alam yang kita alami akhir-akhir ini terjadi secara natural? Tulisan ini tidak bermaksud serampangan mencari siapa pihak yang paling layak untuk disalahkan, tetapi lebih untuk melihat dimensi yang sengaja atau tidak di(sembunyi)kan oleh pihak-pihak tertentu demi membersihkan dirinya dari tuduhan-tuduhan buruk dari publik.

Baca Editorial: Jokowi Govt Justifies Forest Destruction for Development, But What Development?

Sebelum Banjir

Dalam esai Yogi Setia Permana yang berjudul “Kemunduran Demokrasi dan Bencana di Indonesia: Suatu Kajian Awal” pada buku “Demokrasi tanpa Demos” (2021) mengungkapkan alur tentang mengapa di suatu daerah bisa tergenang banjir. Menurutnya, banjir sendiri merupakan bencana yang tercipta dari dua ruang yaitu ruang udara dan ruang daratan. Tingginya curah hujan yang jatuh ke daratan dengan tata ruang yang berantakan adalah katalisator yang memicu terjadinya banjir.

Singkatnya, kita bisa maknai bahwa kerentanan akan banjir nampak erat mempunyai berhubungan dengan perencanaan dan tata ruang yang buruk. Buruknya hal tersebut berkelindan dengan buruknya kualitas tata kelola pemerintahan dan akuntabilitas publik. Ditambah, korupsi dan kuatnya relasi oligarki membuat alokasi tata ruang menjadi berantakan karena tidak lagi sebagai agenda publik untuk kesejahteraan bersama namun lebih berdasarkan keuntungan ekonomi bagi kelompok tertentu.

Baca juga Pembangunan vs Deforestasi: Bu Menteri Tahu Apa?

Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Sulawesi, banjir dan longsor di Luwu Utara yang menyebabkan banyak korban jiwa pada 19 Juli 2020, memakan sekitar 38 korban meninggal dunia, dan 46 lainnya hilang. Beberapa faktor yang dituduh oleh beberapa pihak menjadi penyebab bencana ini ialah, seperti alih fungsi hutan dan lahan, dan curah hujan tinggi. Salah satunya, hasil analisis sementara Direktorat Jenderal Pengendalian DAS dan Hutan Lindung KLHK, ada dua faktor penyebab bencana tersebut: alam dan manusia. Faktor manusia, ada pembukaan lahan di hulu DAS Balease dan penggunaan lahan massif berupa perkebunan sawit.

Pusat Penginderaan Jarak Jauh Lapan menjelaskan, hasil analisis tutupan lahan di DAS Balease, Rongkong dan Amang Sang An dengan citra landsat 2010-2020 menunjukkan ada penurunan hutan primer sekitar 29.000 hektar. Juga terjadi peningkatan pertanian lahan basah sekitar 10.595 hektar dan lahan perkebunan sekitar 2.261 hektar (Mongabay 2020). Pada kasus ini, apa yang disebut oleh Permana sebagai katalisator diwakilkan oleh indikasi buruknya manajemen pengelolaan lahan di hutan sekitar area banjir. Jika pada akhirnya yang terjadi adalah anomali cuaca, curah hujan tinggi atau cuaca ekstrem, pertanyaannya, kemunculannya sebagai sebab atau akibat?

Di tempat lain, banjir dan longsor yang juga menggenang di  Kota Malang, Jawa Timur, pada 18 Januari lalu, mengekspansi ke 20 lokasi dan lima titik longsor di lima kecamatan di kota tersebut. Menurut laporan BMKG, tertulis permintaaan bahwa semua pihak perlu mewaspadai potensi cuaca ekstrem yang cenderung meningkat dalam periode puncak musim hujan. Sementara Walhi Jawa Timur menilai, banjir di Malang terjadi karena beberapa faktor, antara lain, curah hujan tinggi, dan resapan air berkurang karena alih fungsi lahan besar-besaran selama 15 tahun terakhir. Penyebab lain terjadinya bencana itu yang bermula dari konversi ataupun degradasi di seluruh wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), baik di kawasan hutan lindung, hutan produksi yang dikelola perusahaan, ataupun lahan masyarakat.

Baca juga Mandalika Mendunia, Untuk Siapa?

Sebuah Victim Blaming

Pada titik ini, bencana kualitas Demokrasi yang buruk adalah bencana bagi alam. Vandana Shiva (1991) juga turut mengafirmasi klaim tersebut yang dimuat dalam bukunya yang berjudul The violence of the green revolution: Third World agriculture, ecology, and politics.

Shiva mengungkapkan bahwa ada dua bencana demokrasi besar yang tidak pernah terjadi sebelumnya di kalangan masyarakat Asia. Pertama, bencana ekologi yang berangkat dari kebijakan-kebijakan yang destruktif, misalnya, perijinan yang melegitimasi deforestasi, perampasan tanah warga Negara (termasuk Masyarakat Adat) atas nama Negara, privatisasi dan pencemaran air, dan kerusakan sumber daya genetik; seperti pangan dan agrikultur. Kedua, rusaknya ruang hidup dan ekosistem tersebut berkelindan dengan krisis budaya dan etnik, serta erosi pada struktur-struktur sosial. Bagaimanapun, kedua bencana tersebut tidak terjadi dengan sendirinya: hal itu merupakan hasil akhir produk kebijakan yang hanya berpihak kepada akumulasi ekonomi kapital.

Lebih jauh, Zainal Abidin Bagir dalam artikelnya yang berjudul The Importance of Religion and Ecology in Indonesia (2015) menguraikan bahwa sistem desentralisasi kekuasaan tak kunjung memberi akses keadilan dan kesejahteraan ekologis kepada masyarakat lokal dan termasuk juga eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh aktor-aktor lokal. Akhirnya, dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia telah berhasil mempertahankan konsistensinya sebagai salah satu negara penghasil gas emisi rumah kaca terburuk di dunia, umumnya disebabkan oleh deforestasi. Kenyataan ini sekaligus menegaskan kedaruratan keadilan ekologi dalam segala tindak-tanduk demokrasi yang ada di Indonesia.

Adanya intervensi yang dilakukan oleh manusia yang mempunyai akses penentu kebijakan, merubah bentang-bentang alam secara massif dan eksploitatif. Disharmoni alam mempercepat dan memperparah terjadinya bencana eko-sosial. Cukup masuk akal jika mengatakan bahwa bencana alam adalah hal yang politis. Pada titik ini, kualitas demokrasi bisa diukur dari kualitas kelestarian lingkungan di suatu daerah.

Tentu, sangat berlebihan dan naïf jika setiap terjadi bencana banjir di suatu daerah kerapkali mengalamatkan segala tuduhan kepada curah hujan ekstrem. Namun, jika ia juga punya hak untuk membela dirinya sendiri, dan jik pada akhirnya ia tidak terbukti bersalah, kepada siapa ia harus mengadu? Dan keadilan seperti apa yang akan didapatkan? Tentu, untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu mengubah skenario drama yang telah ‘dirancang’ oleh pihak tertentu.[]

Lanjut baca Suara Bumi dalam Perikemanusiaan

Iman Permadi
Iman Permadi Mahasiswa Center for Religious and Cross-Cultural Studies UGM, Pegiat Rumah Baca Komunitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email