“At first, I thought I was fighting to save rubber trees. Then I thought I was fighting to save the Amazon rainforest. Now, I realize I am fighting for humanity,” ucap aktivis kenamaan Brasil, Chico Mendes (1944-1988).
Sedari kecil, seorang anak diajarkan untuk menghargai sepiring nasi oleh orang tuanya. Bentuknya macam-macam, bisa berupa anjuran untuk menghabiskan bekal makan siang, menyantap nasi tanpa berceceran, dan tidak menghujat santapan yang disediakan biarpun rasanya tidak keruan.
Di kemudian hari, sang anak menyadari betapa panjangnya perjalanan sebuah hidangan sebelum dinikmati di atas meja—apalagi, bila mengusung slogan “tumpeng gizi seimbang”. Anak itu bisa jadi adalah saya, atau mungkin juga Anda.
Namun, pihak yang berjasa di balik itu semua, yakni para petani yang populasinya hampir sepertiga dari jumlah penduduk bumi, justru kian terlupakan. Mereka kehilangan kehormatannya sebagai—mengutip Soekarno—sokoguru ekonomi bangsa di negeri sendiri.
Melihat vitalnya peran dan status kaum tani, sudah sepatutnya nasibnya berbanding lurus pula. Usaha perbaikan nasib ini pun dapat ditempuh melalui berbagai jalur, salah satu “jalan tradisional”-nya yakni lewat gerakan sosial. Namun, metode ini malah berangsur surut dan dihinggapi stigma negatif: pasti berujung kegagalan.
Ironisnya, aksi turun ke jalan semakin tidak relevan secara makna karena tidak mengikuti perkembangan zaman cyber-physical system. Para pelakunya lantas dicap bebal dan dituding telah bersikap tertutup terhadap arus perubahan.
Nasib Miris di Negara Agraris
Indonesia merupakan negara agraris berkat tingginya jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani. Namun, di masa mendatang, predikat tersebut bisa saja terkikis karena kurangnya minat generasi muda untuk bekerja di sektor ini.
Pokok masalahnya dapat ditinjau dari data milik BPS yang menyatakan bahwa jumlah generasi muda yang bekerja di sektor pertanian terus menurun dalam satu dekade terakhir. Pada 2011, tak sampai 30% dan turun hingga di bawah 20% pada 2021.
Jika dihimpun, maka kelompok yang mendominasi profesi petani berada di rentang usia 45-54 tahun dengan total 9,19 juta jiwa. Kemudian, petani dari kelompok usia 55-64 tahun dan di atas 65 tahun masing-masing berjumlah 6,95 juta jiwa dan 4,19 juta jiwa.
Minimnya hasrat anak muda terhadap profesi ini bukan tanpa alasan. Salah satu faktor kuncinya adalah ketimpangan pendapatan yang timbul antara pekerja di pertanian dan sektor lain.
Menurut data BPS pada Agustus 2021, upah buruh di sektor pertanian cukup memprihatinkan. Tercatat, upah kelompok masyarakat ini hanya sebesar Rp1,97 juta per bulan. Lumayan mencekik cita-cita sila kelima.
Hingga kini, kemiskinan global masih dapat disebut sebagai fenomena pedesaan. Rakyat miskin pedesaan menyumbang tiga per empat dari seluruh penduduk miskin dunia. FAO mencatat sebanyak 2,3 miliar penduduk dunia adalah petani dan 80% tinggal di daerah pedesaan. Berkaca pada fakta tersebut, persoalan kaum tani perlu perhatian lebih dari khalayak luas.
Dari level Lokal ke Transnasional
Gerakan sosial hadir sebagai upaya yang substantif sekaligus eksesif. Dalam realitas politik global kontemporer, peleburan kajian gerakan sosial dan hubungan internasional dapat disaksikan dalam fenomena munculnya gerakan perlawanan masyarakat adat dan petani.
Meski jarang terdengar di forum politik internasional layaknya dead stock, gerakan sosial justru memiliki potensi besar untuk mengubah nasib suatu komunitas. Stereotip kehidupan kaum tani yang dekat dengan kemiskinan mendorong terbentuknya gerakan yang menuntut keadilan demi ruang hidup yang lebih sejahtera.
Sidney Tarrow secara teoretis mendefinisikan gerakan sosial sebagai tantangan kolektif (collective challenge) suatu kelompok yang mempunyai solidaritas dan tujuan yang sama dalam berinteraksi secara berkelanjutan dengan elit dan otoritas. Aksi kolektif inilah yang menjadi dasar dari pergerakan sosial yang mengalami transformasi dari level lokal ke transnasional. Proses transformatif ini pun merupakan bagian dari mekanisme dalam protes lokal, nasional, dan transnasional.
Penanaman gagasan dan teori gerakan sosial dalam kajian transnasionalisme mengubah dan menggeser kajian hubungan internasional yang semula terbatas pada pembahasan politik transnasional dari dimensi ekonomi dan kritik realisme.
Belakangan, kajian ilmiah ini membahas tentang transnasionalisme yang diwarnai oleh pengaruh kajian terhadap politik perlawanan gerakan sosial. Perkawinan antara bidang studi dan perbedaan studi menutup gap yang menjadi kritik terhadap advokasi transnasional dalam hubungan internasional secara makro. Terkadang, hal ini diabaikan dalam diskusi tentang koneksi dan interkoneksi antara pengaruh domestik dengan struktur internasional. Selain itu, perpaduan ini juga memperkaya kajian advokasi dengan mengintegrasikan isu-isu marjinal dan periferal yang selama ini kurang mendapat perhatian.
Keberhasilan Gerakan Sosial
La Via Campesina adalah satu dari sekian sampel yang dapat dikulik. Selaku aktor non negara dalam percaturan politik global, aksi gerakan ini mulanya dilakukan dengan cara berdemonstrasi menentang kebijakan institusi.
Tujuan mereka jelas, yakni untuk melindungi kaum tani dari berbagai tindakan marjinalisasi sampai pelanggaran HAM akibat kebijakan neoliberal yang tidak mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan hanya berkutat pada keuntungan semata. Gerakan yang secara harfiah berarti “jalan petani” tersebut mampu meraih kemenangannya dalam mewujudkan Declaration on The Rights of Peasants, Women and Men yang diadopsi oleh Dewan HAM PBB sebagai sebuah Resolusi pada 2018.
Tak hanya La Via Campesina, keberhasilan gerakan sosial dalam mendesak pemerintah Brasil (1977-1988) untuk membantu para penyadap karet ketika wilayah Amazon bergolak akibat aktivitas para peternak yang menebang hutan untuk lahan penggembalaan juga layak dijadikan contoh konkret. Fenomena lain yang tampak di depan mata adalah Battle of Seattle yang mampu menyatukan koalisi transnasional dan kelompok masyarakat sipil nasional dan lokal untuk melawan sasaran yang dianggap sebagai “common enemy” seperti WTO, Bank Dunia, dan IMF.
Melawan Stigma Kegagalan
Ketiga peristiwa di atas merupakan cerminan koalisi internasional yang sukses menekan lembaga internasional untuk mengambil langkah yang berdampak pada peningkatan kualitas hidup golongan miskin dan terpinggirkan. Kesuksesan itu berjalan bersamaan dengan adanya semangat perlawanan terhadap neoliberalisme, kapitalisme, ataupun perdagangan bebas (free trade) secara global. Perkembangan ini pun tak lepas dari sifat pergerakannya yang cenderung fleksibel dalam tuntutannya.
Pergulatan kaum tani kini telah bergeser ke arah nilai dan idealisme dari kaum tani itu sendiri. Hal ini bantu membingkai klaim gerakan dalam konteks global guna mencari dukungan dan simpati internasional untuk memperbaiki situasi kehidupan kaum tani.
Beragam strategi seperti kampanye global, protes, mobilisasi, dan advokasi di berbagai kesempatan itu dapat dijadikan landasan dalam memperjuangkan hak-hak kaum tani di Indonesia yang kian kritis. Sepanjang tahun 2019 saja, ada 279 letupan konflik agraria yang terekam di Indonesia, 87 di antaranya terjadi di wilayah perkebunan akibat tindakan penggusuran dan intimidasi yang dilakukan perusahaan perkebunan. Kejadian ini menimbulkan banyak korban dari pihak petani dan masyarakat adat karena tindak kekerasan dan kriminalisasi yang dilakukan pihak perusahaan beserta aparat.
Baca juga:
Ide dan cita-cita mengenai kedaulatan pangan, reforma agraria beserta isu gender, ketimpangan, dan kemiskinan yang menyertainya harus diemban bersama-sama demi melanggengkan gelar negara agraris berisi kaum tani yang bahagia dan makmur penghidupannya. Stigma kegagalan gerakan sosial harus dipatahkan.
Petuah Chico Mendes setahun sebelum kematiannya di Xapuri yang saya kutip di awal tulisan perlu direnungkan kembali. Sudah saatnya rutinitas di tengah ladang sama artinya dengan menanam perjuangan formal di forum internasional, dinakhodai Serikat Petani Indonesia (SPI), Aliansi Petani Indonesia (API), dan kawan-kawan lainnya.
Editor: Emma Amelia