Penemuan Galileo Galilei yang menyangkal doktrin gereja dan keyakinan mayoritas penduduk Eropa saat itu menjadikannya harus dipersekusi. Ia dipaksa mengakui bahwa pembuktiannya atas heliosentrisme Kopernikan tidak pernah nyata dan geosentrisme merupakan kebenaran yang tidak bisa disangkal karena selaras dengan doktrin Kristen.
Boleh jadi, Galileo menerima semua itu di hadapan otoritas agama. Namun, hatinya sedikit pun tidak goyah. Buktinya, hari ini kita tahu bahwa Galileo benar dan gereja harus minta maaf atas perbuatan sewenang-wenangnya itu.
Baca juga:
Tragedi Galileo itu dianggap sebagai permulaan permusuhan sains-agama. Namun, menurut beberapa cendekiawan muslim, pertentangan tersebut hanya berlaku di Barat, khususnya dengan gereja. Dalam Islam, hal demikian tidak pernah terjadi. Bahkan, fakta historis menunjukkan bahwa geliat sains di kalangan muslim melahirkan ilmuwan-ilmuwan bersejarah yang temuan-temuannya menginspirasi Barat sampai detik ini seperti Al-Khawarizmi di bidang Matematika dan Ibnu Sina di bidang Kedokteran.
Tidak cuma itu, fakta-fakta sains justru menjadi validator uraian-uraian Al-Quran tentang proses alamiah. Misalnya, temuan-temuan sains yang sesuai dengan surah Al-Mu’minun ayat 12-13 soal penciptaan manusia dalam rahim ibu, Al-Baqarah ayat 233 soal keunggulan air susu ibu sebagai asupan bayi, serta Ar-Rahman ayat 19-20 soal lautan mempunyai jenis, kadar garam, dan temperatur yang berbeda-beda.
Di samping kesesuaian, terdapat pula konfrontasi Islam dengan sains pada ayat-ayat lain. Satu yang paling kentara adalah teori evolusi dan penciptaan alam semesta. Islam mengatakan bahwa manusia bermula dari Adam, sedangkan menurut teori evolusi, tidak demikian. Islam mengatakan bahwa alam semesta diciptakan selama enam masa, sedangkan secara kosmologis, pembentukan alam semesta memerlukan ratusan juta tahun.
Alhasil, konfrontasi antara Islam dan sains pada akhirnya tetap terjadi. Sifat sains adalah relatif. Artinya, penjelasan tertentu soal alam, suatu saat bisa digantikan oleh penjelasan lain yang lebih andal. Al-Quran dan hadis tidak seperti itu; apa yang dijabarkan di dalamnya tentang apa pun pasti benar. Keduanya tidak akan berevolusi sebagaimana sains.
Titik pertentangan lainnya adalah sains menyingkap fenomena dengan asumsi naturalisme, yakni dunia bergerak atas hukum sebab-akibat (kausalitas) alamiah. Ini sangat bertentangan dengan keyakinan Islam yang menolak kausalitas alamiah. Sebab, dalam Islam, Tuhan adalah penyebab dan penggerak segalanya, sedangkan kausalitas alamiah menyingkirkan peran Tuhan.
Mudahnya, bagi seorang saintis, air dalam ceret dapat mendidih apabila didiamkan di atas api. Sementara itu, bagi muslim, api tidak akan sanggup mendidihkan air. Fenomena air mendidih hanyalah bagian dari kelumrahan yang terjadi bersamaan dan berulang. Di mata muslim, fenomena ini adalah bentuk korelasi, bukan kausalitas.
Meyakini adanya kausalitas alamiah sama saja memberikan kuasa kepada selain Allah. Hal ini bertentangan dengan keimanan. Namun, menampik naturalisme untuk memahami dunia justru akan berbuah kerugian besar, yakni peradaban yang terbelakang. Kondisi dunia saat ini adalah bukti bahwa naturalisme metodis berperan penting dalam kemajuan riset-riset ilmiah di Eropa dan negara-negara maju lainnya.
Orang-orang di Barat meyakini bahwa dunia alamiah memiliki sistem-sistem alamiah yang menggerakkannya dan manusia dapat menemukan sistem-sistem itu. Alhasil, mereka optimis melakukan riset dan berinovasi. Nyaris semua kecanggihan teknologi dan pengetahuan adalah buatan mereka, sementara umat Islam tidak lebih dari konsumen mutlak.
Naturalisme mungkin memang sesat, tetapi segala kenyamanan hidup yang berasal dari instrumen praktis yang kita gunakan adalah hasil dari kesesatan itu. Keimanan yang anti naturalisme hanya menghasilkan keterbelakangan. Keimanan seperti ini membuat umat Islam malas.
Kemalasan itu mungkin lahir dari anggapan bahwa dengan berdoa segalanya bisa beres. Kepasrahan kepada Sang Maha Sebab dan Maha Pengontrol akan menyelesaikan urusan. Tidak peduli apa kata dokter, asalkan berdoa sungguh-sungguh, Allah akan mengabulkan dan segala penyakit tumpas. Dokter tidak bisa memberikan pengaruh apa pun, hanya Allah yang mampu.
Keimanan seperti itu punya dampak sosial negatif. Misalnya, ketika pandemi Covid-19 sedang gawat-gawatnya, kegiatan yang berkerumun sangat rentan menjadi pusat penularan virus. Namun, orang-orang nekat berkerumun melakukan doa bersama, berkeliling desa sambil membaca Burdah. Tak sedikit orang yang menganggap pemerintah sebagai musuh karena mewajibkan prokes di mana-mana. Vaksin dianggap sebagai genosida umat Islam. Model keimanan yang anti-naturalisme seperti ini punya kecenderungan memusuhi sikap ilmiah.
Keimanan anti-naturalisme tersebut membuat kita mulai paham bahwa suatu keyakinan punya pengaruh sosial yang besar. Bahkan, pengaruh ini kadang kala bersifat destruktif. Demi kehidupan masa depan umat yang lebih baik, persoalan anti-naturalisme ini perlu dicarikan jalan keluarnya.
Nidhal Guessoum, seorang guru besar fisika dan astronomi di American University of Sharaj, Uni Emirat Arab, punya tawaran solusi untuk memoderasi keimanan yang anti-naturalis. Dalam bukunya yang berjudul The Young Muslim Guide to Modern Science, ia mengatakan bahwa naturalisme metodologis bisa dijabarkan dengan lebih positif. Dalam rangka memahami ide Guessoum, kita perlu menyingkirkan purbasangka bahwa naturalisme metodis membawa agenda materialisme yang merupakan asas dari keyakinan ateistis.
Guessoum menjelaskan bahwa naturalisme positif ini memandang Tuhan sebagai pemelihara alam melalui hukum-hukum alam yang menjamin keteraturan di jagat raya dan bertindak secara langsung melalui sebab-sebab sekunder. Dalam hal ini, Tuhanlah yang menjadi sebab primer. Saya menyebut gagasan Guessoum ini sebagai iman yang naturalis.
Model keimanan naturalis seperti ini tidaklah sesat, bahkan Nabi sendiri mempraktikkannya. Nabi pernah menegur orang yang mengumpulkan ternak sakit dengan ternak yang sehat. Orang itu berdalih bahwa segala penyakit datangnya dari Tuhan, maka ternak dipisah atau tidak akan sama saja. Nabi mengatakan kepada orang itu bahwa manusia diperintahkan untuk selalu berusaha dulu.
Nabi mempraktikkan iman yang naturalis. Di satu sisi, ia percaya adanya sebab-sebab sekunder, yakni memisah hewan yang berpenyakit agar tidak menular. Di sisi lain, Nabi percaya adanya sebab primer dengan menasihati orang agar pasrah karena tahu segalanya terjadi atas kehendak Tuhan.
Baca juga:
Kita tidak perlu khawatir mengamini iman yang naturalis ini. Seandainya tidak ada afirmasi implisit dari kisah Nabi tadi, iman yang naturalis pun tetap layak diterima sebagai bagian dari dinamika pengetahuan di bidang ilmu kalam. Iman naturalis boleh diperlakukan selayaknya keimanan di masa Nabi yang kemudian berkembang berupa-rupa menjadi jabariyah, qodariyah, asyariyah, syiah, dan seterusnya.
Editor: Emma Amelia