Tulisan ini dibuat ketika saya berada di lantai dua puluh empat salah satu gedung ikonik di kawasan Medan Merdeka Selatan. Semua keriuhan tampak dari sini, termasuk keriuhan yang terjadi di area silang monas. Dari gedung tempat saya berada saat ini, area Monas terlihat sangat jelas. Meski tampak kecil, semua ritme kehidupan di bawah sana bisa terpantau.
Jakarta dan keriuhannya selalu menarik untuk dikulik. Tulisan ini tidak akan menceritakan rimba beton yang dikepung polusi yang tampak begitu jelas atau keriuhan manusia yang terjadi di bawah sana. Namun, kita akan mencoba menyelami realitas manusia Jakarta dari perspektif yang lebih humanis.
Memutuskan bekerja di Jakarta adalah sebuah pertaruhan masa depan dan perjuangan, tarik-menarik antara bertahan atau dikalahkan. Ada yang nekat mencoba, ada yang menyerah sebelum memulai. Namun, kenyataannya, jutaan orang mencoba peruntungannya di kota ini. Banyak yang berhasil, tidak sedikit yang kecewa dan harus berjuang lebih keras untuk menyambung hidup.
Tidak semua perantau berkesempatan untuk duduk nyaman di depan PC-nya di lantai dua puluh gedung perkantoran. Jauh lebih banyak pekerja lapangan yang berkontribusi memutar roda perekonomian di kota metropolitan ini—sopir Transjakarta, pedagang Tanah Abang, pekerja MRT fase 2, petugas kebersihan, penjaja makanan keliling, dan sederet pekerja lapangan lainnya. Ah, jangan lupakan pula manusia silver, badut keliling, dan dangdut gerobak yang hilir mudik dari satu area ke area lainnya untuk mengumpulkan koin-koin pemberian orang baik.
Baca juga:
Senja di Jakarta memiliki cerita yang berbeda. Pekerja yang duduk nyaman di gedung-gedung berpanorama spektakuler pun akan merasa tidak betah menjelang jam pulang kantor. Yang ada di dalam benak setiap pekerja adalah sesegera mungkin pulang dan merebahkan badan setelah seharian bekerja.
Bayangan kemacetan di jalan hingga berdesak-desakan di commuter line pun menjadi hantu yang setiap hari bergentayangan menjelang pulang. Kegiatan itu diulang terus di hari-hari berikutnya. Wajah-wajah lelah menjadi landscape Jakarta ketika senja. Peluh, aroma badan yang tidak lagi sedap, dan pakaian yang kusut menjadi pemandangan biasa di banyak moda transportasi publik.
Jam pulang kerja adalah waktu kesetaraan. Waktu paling humanis bagi seluruh pencari uang di Jakarta. Satu-satunya ambisi para pekerja adalah pulang sesegera mungkin, menjemput kenyamanan rumah, kostan, atau apartemen yang ditinggali. Ambisi itu tidak mengenal strata pekerjaan. Tidak peduli apakah dia pekerja kawasan Sudirman berkemeja rapi atau badut perempatan, semua ingin segera pulang. Rumah tidak hanya menjadi ruang untuk pulang, tapi simbol dari kesetaraan tujuan pekerja Ibukota.
Migrasi dan Kebutuhan
Menurut Mitchell, sebagaimana yang dikutip oleh Ida Bagus Mantra dalam buku Demografi Umum, ada dua faktor yang memengaruhi keputusan manusia dalam melakukan perpindahan—faktor pengikat (centripetal forces) dan faktor pendorong (centrifugal force).
Faktor pengikat, misalnya, adanya tanah warisan, merawat orang tua, dan budaya gotong royong yang kuat. Hal itu akhirnya membuat seseorang memutuskan untuk menetap di tanah kelahirannya. Faktor pendorong, misalnya, sempitnya lapangan pekerjaan, upah yang rendah, hingga minimnya infrastruktur penunjang sehingga membuat seseorang memutuskan meninggalkan tempat tinggalnya. Tujuan utamanya tentu saja memperbaiki kualitas hidup. Paling tidak, mereka mendapatkan sesuatu yang tidak ditemukan di tanah kelahirannya.
Berdasarkan konsep tersebut, lahirnya keputusan merantau ke Jakarta adalah buah dari sempitnya lapangan pekerjaan hingga fasilitas yang kurang memadai sehingga mendorong putra daerah untuk mencari peruntungan di metropolitan Jakarta. Akhirnya, Jakarta tidak hanya menjadi arena adu nasib para pekerja seluruh Indonesia, tetapi menjelma pula menjadi kota multikultur dan budaya terbesar di Indonesia. Keragaman itu pula yang akhirnya menciptakan iklim sosial, mentalitas kerja, dan spirit dalam berjuang berbeda dengan yang dimiliki pekerja di luar Jakarta.
Tentu, menghadapi rimba kehidupan Jakarta tidak cukup hanya dengan tekad dan keberanian. Perlu skill di atas rata-rata agar bisa survive di kota ini. Logisnya, Jakarta merupakan arena pertemuan seluruh penduduk Indonesia. Mereka memiliki kemampuan, bakat, dan inovasi yang berbeda-beda. Semakin luas kemampuannya, semakin ketat persaingannya. Tidak heran, mencari pekerjaan di Jakarta tidak lebih mudah dari melamar kerja di daerah.
Sektor kerja prestisius mengharuskan kemampuan yang prestisius pula. Jika ada seratus tenaga ahli IT yang melamar di satu perkantoran, setidaknya ada 99 orang ahli IT yang harus “kalah”. Artinya, agar diterima bekerja, kemampuan IT kita harus melebihi 99 orang tadi. Tentu saja ini mengecualikan faktor lain yang menjadi pemulus kerja seperti adanya relasi.
Terlepas dari faktor pemulus tadi, Jakarta sangat mengapresiasi portofolio kerja dan skill yang dimiliki oleh calon pekerjanya. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya lowongan kerja dari perusahaan yang meminta lampiran portofolio dan sertifikat pengalaman. Pengalaman magang dan kemampuan di atas rata-rata sangat diperhitungkan. Semua itu tentu tidak bisa didapatkan secara instan. Perlu perjuangan dan kepekaan informasi agar selalu up to date terhadap perkembangan kerja di Jakarta.
Mereka yang tidak memiliki skill untuk menembus gedung-gedung perkantoran biasanya memutuskan menjadi pekerja lapangan. Sektor ini tentunya lebih luas dan meliputi segala lini. Pekerja lapangan ini pun dibagi lagi menjadi beberapa jenis—terikat instansi dan bebas. Jenis kedua ini terpecah lagi hingga pecahan paling kecilnya—para pekerja marginal. Pekerja ini adalah kelompok masyarakat yang mengandalkan tekat, semangat, keyakinan, serta tak kenal lelah untuk menaklukan kerasnya Jakarta.
Pemetaan Kerja
Manusia kerap memetakan pekerjaan sebagai pekerjaan bersih dan pekerjaan kotor. Pekerjaan bersih adalah yang menggunakan “pikiran”; duduk sepanjang hari di depan monitor, membuat laporan, presentasi, hingga analisis bulanan untuk dilaporkan kepada atasan. Pekerja jenis ini dinilai tidak perlu mengeluarkan peluh dalam menghasilkan uang.
Pekerja bersih diyakini memiliki penghasilan yang jauh lebih tinggi dibanding pekerja lainnya. Namun, tidak selalu begitu faktanya.
Sementara itu, pekerja kotor adalah mereka yang mengedepankan tenaganya untuk meraup pundi-pundi uang. Mereka bekerja di lapangan, berpeluh-peluh, jauh dari kata rapi dan nyaman.
Terlepas dari anggapan tersebut, sejatinya semua pekerjaan sama. Setiap pekerja sedang berupaya memperbaiki kualitas hidupnya. Yang membedakan hanya cara kerjanya saja. Pemetaan ini lahir karena manusia merasa ingin selalu lebih baik dibanding lainnya. Pemolaan hierarkis merupakan karakteristik dasar yang selalu dibangun manusia dari masa ke masa. Harus ada sekelompok manusia yang berada di atas dan harus ada kelompok lainnya yang berada di bawah. Itulah tabiat dasar manusia.
Menurut Abraham Maslow, ada lima kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan fisiologis (physiological needs), rasa aman (security needs), sosial (social needs), penghargaan (esteem needs), dan aktualisasi diri (self-actualization needs). Kebutuhan fisiologis berkaitan dengan makan, minum, tidur, dan aspek-aspek fisik lainnya. Mendapat pekerjaan merupakan aspek yang menopang kebutuhan fisiologis. Sebab, penghasilan yang layak dari suatu pekerjaan dapat memenuhi seluruh kebutuhan fisik.
Setelah memenuhi kebutuhan fisik, manusia membutuhkan rasa aman, baik atas dirinya maupun orang terdekatnya. Setelah itu, barulah dia merasa perlu untuk melakukan kegiatan sosial, berinteraksi dengan tetangga, dan mengikuti acara-acara sosial. Manusia juga memerlukan penghargaan atas capaian yang mereka dapatkan dan aktualisasi diri atas kemampuan yang mereka miliki.
Dengan begitu, pekerjaan bukan lagi pemenuh kebutuhan fisiologis semata, tetapi juga kebutuhan akan aktualisasi diri dan penghargaan atas kemampuan yang dimiliki. Rasa bangga atas suatu pekerjaan menjadi bagian dari gaya hidup manusia modern.
Baca juga:
Pada dasarnya, manusia selalu berupaya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Secara alami, manusia dibekali kemampuan untuk bertahan sekaligus mengembangkan potensi diri guna menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman. Untuk itu, semua pekerjaan pada dasarnya baik selama pekerjaan itu memiliki manfaat, tidak bertentangan dengan norma sosial, dan tidak merugikan orang lain. Yang penting, kita bekerja semaksimal mungkin dan menghasilkan capaian yang optimal serta berkontribusi terhadap orang lain.
Editor: Emma Amelia