Pemberontakan terhadap kebijakan work from office (WFO) kembali bergaung. Sebuah perusahaan startup ternama mengeluarkan aturan untuk WFO empat kali seminggu. Isu ini diungkap ke publik oleh akun media sosial @ecommurz, whistleblower para buruh startup. Dalam unggahan Instagram, @ecommurz menguak alasan pemberlakuan kembali WFO adalah perusahaan tersebut ingin melihat para pekerja benar-benar bekerja.
Ada yang berpendapat bahwa keputusan untuk kembali WFO itu problematik. Pertama, pekerjaan dilakukan secara online, bahkan ketika berada di kantor. Jadi, bekerja di kantor tidaklah krusial. Lalu, produktivitas tidak menurun selama work from home (WFH) berlaku dan pihak manajemen tak bisa membuktikan hal sebaliknya.
Ada yang mengungkapkan bahwa selama WFH, mereka bekerja 10-12 jam. Ia “ikhlas” karena masih bisa melihat anak di rumah walau sambil bekerja. Namun, ketika WFO kembali berlaku, ia tak bisa melakukan hal itu lagi karena waktunya habis di jalan. Apalagi, dengan tuntutan pekerjaan yang sama, level stres meningkat karena harus datang ke kantor.
Ini ironis. Perusahaan yang mengandalkan, bahkan berjualan teknologi justru kembali ke kultur kerja konvensional dengan alasan yang membuat bengong. Apalagi, sudah tiga tahun kebijakan WFH berlaku dan tidak ada kendala signifikan. Orang-orang sudah beradaptasi dan terbiasa.
Baca juga:
Pandemi menyadarkan bahwa WFO bukan hal wajib. Pernyataan ini didukung oleh temuan Pew Research Center bahwa para pekerja memandang WFO sebagai pilihan, bukan kebutuhan, pada survei yang diadakan bulan Januari 2022 dengan 5.889 pekerja sebagai respondennya.
Hasil survei menunjukkan sebanyak 61 persen responden memilih tidak pergi ke tempat kerja, sementara 38 persen lainnya WFH karena kantor mereka tutup. Angka ini berbanding terbalik ketika awal pandemi; 64 persen responden WFH karena kantor tutup dan 36 persen lainnya memang ingin WFH.
Survei itu juga menemukan bahwa WFH adalah pengalaman baru yang ternyata memberi dampak positif. Sebanyak 64 persen responden mengaku lebih mudah bagi mereka untuk menerapkan work-life balance dengan adanya kebijakan ini. Dari segi profesionalisme, 44 persen responden menyatakan lebih mudah untuk menyelesaikan pekerjaan mereka di rumah, meskipun 10 persen lainnya merasa sebaliknya.
Sementara itu, survei Pusat Penelitian Urusan Publik Associated Press-NORC pada 2022 mengungkapkan bahwa para pekerja yang sudah kembali WFO mengaku merasa lebih baik secara umum, tetapi tingkat stres meningkat. Sebanyak 41 persen responden merasa stres yang mereka alami semakin memburuk, sementara 22 persen responden mengatakan sudah membaik dan 37 persen lainnya mengatakan tidak berubah.
Apa saja yang menyebabkan mereka stres? Setengah dari responden menjawab harus menyeimbangkan tanggung jawab di rumah dan kantor, potensi terpapar Covid-19, waktu yang dihabiskan di jalan, dan kembali berinteraksi langsung dengan orang lain.
Berbicara soal waktu yang habis di jalan, salah satu warga Jakarta pernah melayangkan petisi yang meminta agar WFH kembali diberlakukan karena WFO membuat jalanan lebih macet, polusi meningkat, dan tidak produktif. Petisi yang dibuat awal tahun ini telah ditandatangani oleh lebih dari 35 ribu orang. Petisi ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, seperti Kamar Dagang Indonesia (Kadin) DKI Jakarta, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) DKI Jakarta, hingga Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sekaligus menjadi bukti penguat bahwa WFO bukan pilihan terbaik.
Baca juga:
Hybrid Working
Salah satu alternatif WFO dan WFH yang sudah pernah diterapkan adalah bekerja hibrida (hybrid working) yang mengombinasikan WFO dengan kerja remote. Sistem ini membuat pekerja lebih leluasa untuk bekerja di mana saja.
Namun, tak semua perusahaan senang dengan opsi ini. Banyak pemimpin perusahaan yang memang menargetkan untuk kembali WFO tahun ini. Laporan Work Trend Index tahun kedua dari Microsoft yang melibatkan 31 ribu responden dari 31 negara, termasuk Indonesia, menyebutkan bahwa 60 persen pemimpin perusahaan di Indonesia mengatakan perusahaan mereka berencana untuk kembali ke mode kerja dari kantor secara penuh pada 2023.
Padahal, laporan yang sama menyebutkan 66 persen pekerja di Indonesia lebih mempertimbangkan untuk beralih ke hybrid working. Hal ini didukung dengan data yang mengungkap 62 persen karyawan di Indonesia terbuka untuk menggunakan ruang imersif digital sebagai sarana meeting, lebih tinggi dibandingkan data global yang berada di angka 52 persen.
Pencetus petisi tolak WFO tadi, Riwaty Sidabutar, menegaskan bahwa tujuan dari petisi tersebut bukan hanya untuk mengembalikan WFH sepenuhnya, melainkan untuk mengkaji lagi aturan wajib kerja dari kantor 100 persen. Tujuannya agar pekerja punya keleluasaan untuk memilih lokasi kerja mereka jika memungkinkan. Kesimpulannya, pekerja Indonesia siap untuk bekerja hibrida.
Sudah waktunya semua pihak sadar bahwa WFO sekadar pilihan, bukan kebutuhan. Tanpa WFO, pekerja tetap bisa produktif. Tanpa WFO, lalu lintas lebih kondusif.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Siapa Pilih WFO?”