Ibukota Sesak Napas
Sebagai pekerja yang sehari-hari bergulat di keriuhan ibukota, isu polusi yang kian memburuk beberapa pekan ini membuat saya risau. Desingan berita polusi yang semakin menggila bukan sekadar omong kosong atau narasi yang dibuat-buat.
Polusi begitu nyata dan benar-benar menjadi hidangan sehari-hari di Jakarta dan beberapa wilayah penyangganya seperti Bekasi, Depok, Tangerang, dan Bogor. Langit abu-abu menjadi pemandangan yang tidak bisa dibilang cantik, apalagi memesona. Kabut pekat itu menyelimuti gedung-gedung perkantoran di kawasan jantung bisnis Jakarta hingga meluas ke berbagai penjuru.
Berdasarkan berita dari laman Kompas.com pada Selasa, 15 Agustus 2023, tercatat bahwa indeks kualitas udara di Jakarta berada di angka 165 AQI US. Konsentrasi polutan tertinggi udara Jakarta di hari yang sama adalah PM 2,5. Angka konsentrasi itu 16,4 kali nilai panduan kualitas udara tahunan World Health Organization (WHO).
Masyarakat Jabodetabek diimbau untuk kembali mengenakan masker saat beraktivitas. Berbagai gangguan pernapasan juga mulai dirasakan banyak orang. Yang paling banyak adalah flu, tenggorokan sakit, hingga infeksi ringan saluran pernapasan.
Kondisi ini bukan sesuatu yang bisa dianggap angin lalu atau diabaikan begitu saja hingga nanti pulih dengan sendirinya. Sudah selayaknya hal ini menjadi perhatian bagi masyarakat, terlebih bagi pemerintah sebagai pemegang kebijakan.
Ada 10 juta penduduk yang tinggal di Jakarta. Artinya, sebanyak itu pula mobilitas manusia sehari-hari di sana. Nominal itu belum termasuk penduduk yang tinggal di sekitar Jakarta. Jika dikalkulasi, tentu angkanya jauh lebih spektakuler. Terlebih, mobilitas pekerja di Jakarta merupakan yang tertinggi di Indonesia. Hal itu tidak mengherankan mengingat selain sebagai pusat pemerintahan, Jakarta berkedudukan sebagai pusat bisnis nasional.
Hal tersebut juga berbanding lurus dengan aktivitas di luar ruangan yang dilakukan oleh penduduk Jakarta. Berbagai aktivitas tersebut dilakukan dengan ritme yang sama sehari-hari. Artinya, paparan polusi ini tentu saja terhirup oleh mereka yang menjalankan rutinitas.
Dalam jangka waktu yang lama, paparan polusi ini akan berdampak signifikan terhadap kesehatan. Pada tahap yang lebih serius, berbagai gangguan kesehatan siap menyerang kapan saja. Akibatnya, kondisi tubuh menurun dan mengurangi produktivitas dalam bekerja serta melakukan berbagai kegiatan lainnya.
Keberadaan Jakarta sebagai kota metropolitan dan pusat mobilitas manusia bukan faktor utama yang menjadikan polusi meningkat hingga mengakibatkan kualitas udara memburuk.
Pasalnya, New York sebagai pusat bisnis Amerika memiliki indeks 43 AQI US. Angka ini menunjukkan kualitas udara yang baik di sana. Roterdam sebagai pusat bisnis di Belanda memiliki nilai indeks 34 AQI US. Semakin kecil nilainya, semakin bagus kualitas udaranya. Bahkan, dibandingkan kota Mumbai, kualitas udara Jakarta jauh lebih buruk. Sebab, Mumbai memiliki nilai indeks 57 AQI US.
Akar Polusi Jakarta
Menelusuri permasalahan polusi di Jakarta sama peliknya dengan mengurai kesenjangan ekonomi di kota tersebut. Polusi yang terjadi di Jakarta tidak dapat ditinjau dari satu variabel saja. Predikat kota metropolitan tidak lantas menjadi asal-muasal polusi yang terjadi. Pasalnya, banyak kota metropolitan di belahan dunia lain yang kualitas udaranya terbilang baik dan layak hirup. Sebut saja Amsterdam, London, New York, Berlin, dan Paris.
Baik, mungkin ini tidak apple to apple karena memperbandingkan kota-kota besar di Eropa dengan Jakarta. Yang perlu kita ingat, metropolitan Tokyo memiliki indeks 37 AQI US. Artinya, kualitas udara di salah satu kota tersibuk di Asia itu baik dan layak hirup. Indeks udara di Beijing adalah 65 AQI US. Cukup signifikan perbedaannya dengan Tokyo. Meski begitu, masih jauh lebih layak dibanding Jakarta. Tidak perlu jauh-jauh, Kuala Lumpur memiliki indeks 56 AQI US. Lebih baik dari Beijing, tapi masih kalah dengan Tokyo.
Penyumbang polusi terbesar di Jakarta adalah penggunaan kendaraan bermotor. Meski beberapa dekade ini Pemprov DKI mulai banyak berbenah dengan menyediakan layanan transportasi publik yang terintegrasi ke seluruh wilayah, fakta bahwa volume kendaraan pribadi yang masih begitu besar tidak bisa dipungkiri.
Fakta yang tidak terbantahkan adalah fenomena macet harian yang selalu terjadi di jalan-jalan utama Jakarta, terutama di jam berangkat dan pulang kerja. Sebagai data pendukung, berdasarkan statistik BPS tahun 2022, volume mobil penumpang di Jakarta adalah 3.766.059. Bus sebanyak 37.180, Truk sebanyak 748.395, dan sepeda motor 17.304.447. Total seluruhnya adalah 26.370.535. Jumlah sebanyak itu tentu menyumbang emisi karbon yang tidak bisa dikatakan sedikit.
Setiap harinya jutaan kendaraan melakukan mobilitas di Jakarta. Selama mobilitas kendaraan terjadi, selama itu pula polusi terus diproduksi.
Selain polusi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor, penyumbang emisi karbon di Jakarta menurut CNN Indonesia adalah sektor industri, yang menyumbang 3.738 ton atau sekitar 1,25%, pembangkit listrik 5.252 ton atau sekitar 1,76%, perumahan 1.774 ton atau sekitar 0,59%, dan komersial 90 ton atau sekitar 0.03%.
Pembangkit listrik berbahan batu bara di Banten dituding ikut andil dalam meramaikan polusi Jakarta. Pada dasarnya, semua faktor-faktor ini menunjukan bahwa masalah polusi di Jakarta begitu kompleks dan tidak bisa ditinjau dari satu perspektif saja.
Kebijakan yang serampangan dan membabi buta bukan solusi yang jitu untuk mengurai masalah pelik ini. Diperlukan kejernihan berpikir dan kebijakan yang strategis. Di atas semua itu, hal fundamental yang tidak boleh dilupakan adalah fakta bahwa sejauh ini Jakarta belum didesain menjadi green city, atau kota yang ramah lingkungan dengan deretan pepohonan yang tidak hanya menyejukkan udara, tetapi menetralisasi polusi.
Sebagai negara beriklim tropis, sudah seharusnya kita menyadari bahwa peran pepohonan sangat sentralistik. Kita tentu harus banyak belajar pada pemerintah Hindia Belanda yang telah menyadari hal ini sejak lama. Sekali-kali, coba tengoklah potret jalan-jalan di Jakarta tempo dulu. Bandingkan dengan jalanan saat ini. Tidak sulit menemukan potret-potret lama kota Jakarta.
Pemerintah Hindia Belanda menaungi jalanan di Batavia, atau Jakarta pada waktu itu dengan pohon yang rimbun di kiri dan kanannya. Mereka juga membangun lahan terbuka seperti Koningsplein yang sekarang menjadi Lapangan Monas dan Waterloo Plein yang sekarang menjadi Lapangan Banteng. Pihak Kolonial juga mengembangkan wilayah baru dengan konsep yang ramah lingkungan. Sebut saja Weltevreden, yang saat ini menjadi wilayah paling prestisius di Jakarta dan membentang dari RSPAD Gatot Subroto hingga Museum Gajah (Musium Nasional). Kita juga bisa menengok lagi potret lama di wilayah Molenvliet yang saat ini dikenal sebagai jalan Gajah Mada dan Jalan Hayam Wuruk (kawasan Harmoni). Di sepanjang kanal Ciliwung terdapat pepohonan rindang yang menghijaukan kota.
Saat ini, tidak sulit untuk melihat kenyataan bahwa lahan hijau di Jakarta sudah semakin minim. Teknologi foto drone benar-benar membantu kita melihat Jakarta dari ketinggian. Yang terlihat adalah rerimbunan beton pencakar langit yang saling unjuk ketinggian. Memang masih ada sedikit lahan hijau, tapi tampak begitu menyerpih di antara kepungan bangunan yang saling berdempet satu sama lain.
Sedikit kawasan hijau itu dapat kita temukan di beberapa sudut seperti kawasan Monas dan hutan Kota GBK. Beberapa sisanya tersebar di taman-taman kecil di berbagai wilayah Jakarta. Masih belum bisa dikatakan layak untuk menyuplai udara bersih bagi kota tersibuk di Indonesia ini.
Polusi Butuh Solusi
Lagi-lagi, kita harus sadar bahwa permasalahan polusi adalah masalah kolektif. Tidak bisa ditinjau dari satu sudut saja. Masalah ini bukan problem personal atau pihak tertentu saja. Semua berperan dan andil dalam menciptakan polusi.
Meski begitu, pemerintah tentu diharapkan menjadi pihak yang memberikan terobosan strategis untuk mengatasi permasalahan ini. Bersama masyarakat, diharapkan pemerintah mampu memperbaiki dan membenahi problem yang sedang terjadi.
Alih-alih kebijakan strategis yang diterapkan, lagi-lagi pernyataan blunder-lah yang dicanangkan sebagai solusi. Belum lama ini, pemerintah menyebutkan bahwa solusi bagi polusi di Jakarta adalah pindah ke IKN. Alasannya adalah, beban di Jakarta sudah terlalu berat. Sektor industri dan mobilitas manusia terlalu padat di kota ini. Oleh karena itulah, diperlukan ruang baru untuk mengatasi permasalahan yang terjadi.
Pernyataan ini tidak seluruhnya keliru. Hanya saja, gagasan ini mirip dengan solusi yang ditawarkan developer perumahan saat sekelompok warga mengeluh karena lingkungannya sering kebanjiran. Sang Developer pun akhirnya menawarkan unit hunian baru bagi warga yang terdampak banjir. Ini semacam kesempatan untuk menawarkan produk baru yang dianggap lebih layak.
Padahal, langkah yang bisa diambil tidak harus selalu langsung pindah ke unit baru, tapi bisa dengan membenahi sedikit demi sedikit penyebab banjir. Tidak ada yang mengatakan itu mudah, tapi itu adalah langkah paling masuk akal dan tidak terkesan “cuci tangan” terhadap masalah yang sedang dihadapi.
Lagi pula, tidak ada yang menjamin di IKN nanti kasus serupa tidak berulang. Selama akar permasalahannya tidak dituntaskan, pindah ke IKN tidak lebih dari memindah segerombolan manusia beserta masalah-masalah yang mengikatnya.
Gagasan lain yang dicetuskan adalah menggunakan mode transportasi listrik. Kita tahu betul bahwa pemerintah mulai terkesima dengan produk transportasi yang terlihat seksi ini. Dalam beberapa tahun ke depan, tampaknya kendaraan semacam ini akan menjadi tren baru di Indonesia. Kebijakan ini juga terasa seperti soft selling dibanding solusi strategis.
Isu polusi udara Jakarta ditunggangi untuk menaikkan rating kendaraan listrik di negeri ini. Hegemoni kendaraan ramah lingkungan yang nantinya menjadi terobosan mengatasi polusi ini tampaknya meninabobokan kita. Kita lupa bahwa penggunaan kendaraan listrik yang tinggi juga akan menaikkan permintaan supply listrik. Sementara ini, listrik di Indonesia banyak dihasilkan dari pembangkit berbahan bakar batu bara. Untuk menciptakan energi yang ramah lingkungan, ternyata harus membakar batu bara yang sama sekali tidak ramah lingkungan. Apa ini bukan paradoks namanya?
Terobosan lain adalah menerapkan intervensi terhadap penggunaan kendaraan. Narasi 4 in 1 pun digaungkan. Satu mobil paling tidak ditempati 4 orang. Tujuannya tentu untuk menekan arus penggunaan kendaraan pribadi. Meski terdengar solutif, kebijakan ini tampaknya tidak mengindakan kerumitan teknis yang nantinya akan dilalui. Pihak mana yang akan memastikan setiap mobil dikendarai 4 orang?
Solusi lainnya adalah penerapan kerja hybrida yang memungkinkan para pegawai bekerja secara WFH (Work From Home). Gagasan ini tampaknya yang paling masuk akal dibanding terobosan lainnya. Tentu kita menyadari bahwa WFH merupakan solusi temporer. Selama akar masalah belum dibenahi, problem yang sama akan terus berulang dan menjadi keresahan repetitif.
Memang tidak mudah menyelesaikan problem kolektif, setidaknya satu atau dua strategi yang menyentuh akar permasalahan tentu akan berdampak positif. Selain itu, kesadaran masyarakat juga diperlukan dalam hal ini.
Pada dasarnya, pemerintah sebagai regulator tentu tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kerjasama dari masyarakat justru menjadi pilar yang dapat membantu menyelesaikan permasalahan. Kesadaran untuk menggunakan kendaraan umum perlu ditingkatkan. Senada dengan hal itu, pemerintah juga sudah selayaknya meningkatkan pelayanan transportasi publik sehingga kesadaran masyarakat tumbuh secara signifikan.
Peningkatan ini tentu bukan saja soal mempercantik armada, atau penyediaan moda transportasi baru. Tetapi harus dipastikan bahwa kendaraan itu menjangkau semua wilayah dan mudah diakses. Moda transportasi integratif juga diperlukan untuk memudahkan mobilitas masyarakat. Di samping itu, kesadaran atas lahan terbuka hijau juga perlu dipertimbangkan. Di tengah kepadatan Jakarta yang hampir tidak menyisakan ruang bebas, ini tentu menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang tidak mudah untuk diorganisir.
Terlepas dari hal itu, kebijakan ini bisa mulai diterapkan dengan memperbanyak pepohonan di jalan-jalan protokol dan menata kembali ruang terbuka hijau yang ada, sehingga lebih produktif dalam menghasilkan udara segar.
***
Editor: Ghufroni An’ars