Ketika saya mengobrol dengan teman-teman soal asas kekeluargaan, kesan buruklah yang sering kali mereka kenang. Di lingkungan kerja atau profesional, kekeluargaan justru menjadi momok bagi banyak orang di generasi saya. Kekeluargaan hanyalah omong kosong belaka.
Perjanjian kerja yang kadang tidak dipenuhi, beban kerja berlebih yang tak bisa ditawar, dan kondisi kerja yang buruk berlindung di balik kekeluargaan. Kenyataan buruk menjadi kabur. Perasaan yang timbul adalah rasa segan untuk menuntut hak-hak yang hilang. Kekeluargaan justru memasung para karyawan dan berpotensi melanggengkan eksploitasi pekerja oleh majikan.
Asas Kekeluargaan dalam Sejarah
Kelahiran asas kekeluargaan di Indonesia dibidani oleh Bung Hatta. Asas tersebut berkenaan dengan usaha untuk menyusun perekonomian bangsa Indonesia. Menyedihkannya, asas kekeluargaan menjelma semboyan kosong pada kiwari: tertulis dalam dasar negara, tetapi belum mewujud secara paripurna.
Baca juga:
Saya yakin bahwa mayoritas generasi saat ini tak paham maksud dari asas kekeluargaan. Toh, setahu saya, pengetahuan soal idealisme-idealisme pondasi negara yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa kurang mendapatkan tempat di kurikulum pendidikan. Akibatnya rumusan-rumusan tersebut banyak yang menguar begitu saja. Generasi sekarang pun linglung mengenai arah tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Timbul rasa gusar dalam hati. Saya putuskan untuk mencari lebih dalam tentang asas kekeluargaan dan coba menuliskannya. Lantas, apa yang dimaksud asas kekeluargaan oleh Bung Hatta?
Asas kekeluargaan dalam konteks perekonomian bangsa Indonesia termaktub dalam Pasal 33 Ayat 1 UUD 1945:
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Dalam pidato radionya saat peringatan Hari Koperasi pertama tahun 1951, Bung Hatta menegaskan perekonomian sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan adalah badan usaha berbentuk koperasi. Lalu, mengapa koperasi?
Koperasi adalah badan usaha yang tidak mengenal relasi majikan-buruh. Dalam koperasi, setiap anggota berkedudukan sebagai pemilik sekaligus pekerja. Pemilik adalah pekerja, pekerja adalah pemilik. Semua anggota koperasi sama-sama bertanggung jawab atas kemunduran atau kemajuan dari koperasi mereka.
Titik esensi dari koperasi ada pada demokrasi ekonomi: badan usaha yang dimiliki dan dijalankan secara bersama-sama oleh para anggotanya. Setiap anggota koperasi memiliki suara yang setara untuk menentukan arah kebijakan yang mereka jalankan. Kepemilikan suara tidak dibatasi oleh besar kecilnya kepemilikan modal. Hal tersebut jelas berbeda dengan sistem kepemilikan pada bentuk badan usaha selain koperasi.
Singkatnya, kekeluargaan adalah kesetaraan. Semua anggota koperasi kedudukannya setara: sebagai pemilik sekaligus pekerja. Tidak ada majikan yang menjadi pusat kepemilikan serta perintah absolut. Tidak ada buruh yang hanya bisa menuruti perintah tanpa punya kuasa untuk menentukan arah kebijakan tempat di mana mereka bekerja.
Meski kesetaraan menjadi prinsip yang utama, bukan berarti koperasi meniadakan hierarki dalam konteks praktiknya. Sebagaimana bentuk badan usaha yang lain, di dalam koperasi juga ada pemimpin dan yang dipimpin. Ada yang mengatur dan memberi petunjuk, ada pula yang menjalankan aturan dan petunjuk tadi.
Hierarki dalam praktik pekerjaan tetap ada supaya badan usaha berjalan dengan teratur, tetapi yang memimpin dan dipimpin sama-sama menjadi pemilik dan pekerja pada koperasi. Semisal pemimpin dirasa keliru dalam menentukan kebijakan dan akhirnya merugikan anggota koperasi lainnya, yang dipimpin punya hak suara untuk menolak kebijakan tersebut.
Koperasi mewadahi skema ‘tarik-menarik’ di antara para anggota agar laju koperasi tetap berada di jalur yang telah disepakati bersama. Tidak ada majikan dan buruh, yang ada adalah pemimpin dan yang dipimpin. Semuanya adalah pekerja yang saling bekerja sama untuk mencapai kepentingan bersama pula.
Baca juga:
Analogi Sebuah Keluarga
Menarik untuk menyelami alam pikiran Bung Hatta, mengapa beliau lebih memilih istilah kekeluargaan daripada kesetaraan atau yang lainnya. Saya akan coba menuliskan analogi sederhana— setelah membaca satu persatu pidato Bung Hatta saat peringatan Hari Koperasi (12 Juli 1951–12 Juli 1959, 12 Juli 1969, dan 12 Juli 1970):
Sebuah keluarga beranggotakan bapak, ibu, dan anak. Antara orang tua dan anak terjalin relasi berdasarkan rasa sayang, memiliki, dan tanggung jawab bersama-sama, bukan relasi majikan dengan bawahan. Tiap-tiap anggota keluarga tersebut kedudukannya setara dan sama-sama bertanggung jawab atas keselamatan keluarga mereka. Meski setara, tiap-tiap anggota keluarga tetap menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Orang tua sebagai pemimpin keluarga dan anak sebagai yang dipimpin. Namun, orang tua bukanlah majikan yang tidak mau mendengarkan pendapat tentang keselamatan keluarga dari anaknya. Di sisi lain, anak bukanlah sebagai bawahan yang hak kebebasannya dalam berpendapat serta ikut berperan dalam keluarga dipasung oleh orang tuanya.
Praktik Asas Kekeluargaan pada Masa Kini
Seorang teman saya yang bekerja di sebuah perusahaan berceritaa, sejak awal ia diterima kerja, kekeluargaan selalu digembar-gemborkan sebagai asas yang berlaku di tempat kerja.
“Anggap saja sebagai keluarga sendiri,” itulah kalimat yang hilir mudik di telinga teman saya dan para sejawatnya.
Sialnya, berdasarkan penjelasannya, saya mengambil kesimpulan bahwa tempat di mana teman saya bekerja itu tidak menjalankan apa yang dimaksud dengan asas kekeluargaan. Di tempat teman saya bekerja, seorang karyawan atau bawahan tidak diberi ruang untuk menyatakan pendapat apalagi kritik dan rasa keberatan — sekalipun itu untuk kebaikan karyawan dan keberlangsungan perusahaan.
Sebagai majikan, pemilik perusahaan adalah pusat dari segala perintah dan keputusan yang kadang tidak memedulikan kondisi dan masukan dari para buruh yang bekerja untuknya. Jika majikan memerintahkan sesuatu, buruh harus melakukannya. Jika majikan menginginkan sesuatu, buruh harus sebisa mungkin mewujudkannya. Tidak ada protes, sanggahan, kritik, saran, dan sebagainya karena itu semua berarti menentang majikan. Jika buruh dianggap menentang majikan, akibatnya bisa berujung fatal: mendapatkan peringatan atau bahkan diberhentikan dari pekerjaan.
Ada hal yang perlu saya garis bawahi. Kekeluargaan dalam bentuk yang lain tetap ada di tempat kerja itu. Misalnya, ulang tahun para karyawan yang dirayakan dan menjenguk sejawat ketika ada yang sakit atau tertimpa musibah. Hal yang demikian jelas baik. Saya akui itu dan sama sekali tidak menyangkalnya.
Namun, asas kekeluargaan dalam konteks yang digagas oleh Bung Hatta bukanlah yang demikian. Lebih jauh dari itu, asas kekeluargaan adalah sebuah sistem kepemilikan bersama dan tanggung jawab dalam menjalankan sebuah badan usaha secara bersama-bersama pula, yang dalam konteks ini berarti badan usaha koperasi.
Asas kekeluargaan hanyalah semboyan kosong belaka jika digaung-gaungkan oleh badan usaha yang masih menjalankan relasi majikan-buruh dalam tubuhnya. Asas kekeluargaan tak bisa berfungsi jika tak ada kesetaraan (demokrasi ekonomi) pada praktiknya. Relasi majikan-buruh bukanlah rumah bagi asas kekeluargaan.
“Jiwa koperasi adalah menolong diri sendiri secara bersama-sama,” Seru Bung Hatta.