Diskusi mengenai pembangunan di daerah harus melibatkan perspektif pemberdayaan, penguatan, dan partisipasi masyarakat. Tanpa ketiga hal ini, pembangunan di tingkat daerah berpotensi dikooptasi dan dipolitisasi oleh kepentingan elite dan oligarki lokal. Kelompok ini terbentuk akibat absennya pemberdayaan, penguatan, dan partisipasi masyarakat dalam lingkungan politik di tingkat lokal. Mereka memanfaatkan celah ini untuk membelokkan pembangunan demi kepentingan politik dan ekonomi mereka.
Realitas inilah yang sebetulnya terjadi di tingkat daerah pasca reformasi. Lanskap politik dan ekonomi di aras lokal kurang menunjukkan keberpihakan pada kepentingan masyarakat. Sebaliknya, sebagaimana yang akan saya tunjukkan melalui tulisan ini, di Nusa Tenggara Timur, pembangunan untuk kepentingan masyarakat lokal justru kurang bergerak. Sebaliknya, pembangunan justru mereduksi kepentingan warga lokal menjadi kepentingan politik maupun ekonomi elite dan oligarki lokal.
Konflik Agraria dan Pembangunan di NTT
Pembangunan di Nusa Tenggara Timur tidaklah tanpa masalah. Dalam beberapa tahun terakhir, NTT menjadi salah satu daerah di Indonesia yang banyak dibanjiri pembangunan dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Di satu sisi, berbagai pembangunan infrastruktur di NTT telah mendorong daerah ini berkembang. Namun, di sisi lain pembangunan di sana juga memicu banyak konflik agraria.
Baca juga:
Beberapa konflik agraria di NTT misalnya konflik antara pemda dengan masyarakat adat Pubabu, Besipae, di Timor Tengah Selatan (TTS). Selain itu, konflik agraria di Sumba juga mengorbankan nyawa seorang petani yang bernama Poro Duka karena kegigihannya mempertahankan tanah dan ruang hidupnya. Di Poco Leok, Kabupaten Manggarai, terjadi konflik antara pemda dengan masyarakat karena penolakan masyarakat atas rencana eksplorasi proyek geothermal di wilayah mereka.
Sebetulnya jika diamati, beberapa contoh konflik yang melibatkan masyarakat dengan negara tidak bisa dipisahkan dari problem mendasar, yakni kuasa ekonomi politik yang bekerja mengekstrak sumber daya. Sementara di sisi lain, ada resistensi yang datang dari masyarakat, sebab kuasa ekonomi politik tersebut bisa melahirkan dampak-dampak yang merusak alam dan ruang hidup mereka.
Apalagi konflik yang diikuti dengan intimidasi bahkan kekerasan fisik, tentu ini merupakan suatu yang perlu dipertanyakan. Bagaimana mungkin pembangunan yang diinisiasi oleh negara untuk kepentingan warga justru dipaksakan melalui jalan kekerasan dan intimidasi? Jawabannya bisa bermacam-macam. Tetapi, menurut saya, konflik itu bisa dilihat dari aspek kuasa ekonomi politik yang bekerja dalam rangka mengakumulasi keuntungan, lewat apa yang oleh David Harvey sebut sebagai akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession).
Di titik inilah pembangunan yang awalnya diinisiasi untuk menopang kehidupan ekonomi di masyarakat, justru memicu konflik agraria. Penyebabnya menurut saya bukan karena pembangunan itu tidak demokratis, melainkan karena ada kuasa ekonomi politik yang bekerja, yang turut mengintervensi pembangunan dan membelokkannya untuk kepentingan para elite atau oligarki di aras lokal.
Di sinilah pembangunan itu tidak berpijak pada kepentingan warga. Padahal, pembangunan merupakan salah satu instrumen yang sangat penting dalam mendorong kegiatan ekonomi, sosial, dan kultural di ranah lokal. Masalahnya, pembangunan yang disertai dengan konflik agraria justru mengakibatkan pembangunan itu gagal menjawab problem-problem di masyarakat.
Apa yang terjadi di NTT tentu saja sedang dan akan terjadi di tempat lain di Indonesia. Masalah di aras lokal sebetulnya bukan karena warga kekurangan pembangunan, tetapi justru terletak pada kuasa ekonomi politik yang memakai jalur pembangunan sebagai ‘sapi perah’ dalam memperoleh keuntungan ekonomi maupun politik di aras lokal.
Pembangunan yang Pro Warga
Di tengah situasi pembangunan yang kian dilumuri kepentingan kuasa ekonomi politik, penting kiranya negara menyadari pembangunan yang pro warga. Pembangunan yang pro warga menitikberatkan pembangunan demi kepentingan warga. Ia tidak hanya berpihak pada warga, tetapi juga harus mampu menjawab kepentingan dan problem sosial, ekonomi, dan kultur di masyarakat.
Pengalaman pembangunan negara pada masa Orde Baru sebagaimana yang kita kenal misalnya Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), ternyata tidak membawa banyak perubahan signifikan bagi kepentingan dan keberlanjutan ekonomi, sosial, dan kultur di masyarakat. Justru kebijakan Repelita ala Soeharto memantik konflik agraria yang semakin dalam dan menghasilkan ketimpangan agraria yang makin tajam di masyarakat.
Baca juga:
Menurut saya, negara sebagai pemegang kuasa yang mampu menjalankan pembangunan harus memikirkan masa depan masyarakatnya. Di NTT, ada beberapa pembangunan yang tidak banyak menghasilkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat, seperti proyek geothermal di Mataloko, Kabupaten Ngada. Proyek tersebut justru menghasilkan dampak kerusakan pertanian masyarakat di sekitar.
Ini merupakan satu catatan yang harus dipikirkan oleh negara, bahwa pembangunan haruslah pro warga. Pembangunan yang pro warga dapat memberikan banyak perubahan ekonomi, sosial, dan kultur masyarakat. Buat saya, tanpa mendorong agenda pembangunan yang pro warga, negara justru tidak memiliki komitmen untuk menyelesaikan problem kemiskinan di masyarakat. Ia justru memperpanjang kepentingan para elite dan oligarki lokal.
Editor: Prihandini N