Kapitalisme memanfaatkan krisis identitas seseorang untuk mengubah keinginan menjadi kebutuhan yang harus terpenuhi.
Krisis identitas dipicu oleh proses pencarian jati diri seseorang ketika ia berada di fase remaja. Namun, tidak menutup kemungkinan orang dewasa juga mengalami krisis identitas dan masih bingung menetapkan tujuan hidupnya. Krisis identitas meliputi beberapa aspek, yaitu nilai hidup, kepercayaan diri, tujuan hidup, pengalaman, dan perasaan. Ambiguitas dalam masa-masa krisis identitas dimanfaatkan oleh kapitalisme untuk menetapkan dirinya sebagai agen.
Sebagai langkah untuk berkembang dan keluar dari masa krisis identitas, biasanya seseorang melakukan analisis dan identifikasi diri dengan menjadikan seseorang di luar dirinya sebagai contoh atau panutan. Hal ini biasanya menyebabkan timbulnya perilaku konsumsi liar dan tidak berdasarkan kebutuhan fundamental manusia. Perilaku ini diikuti oleh perkembangan tren dan segala sesuatu yang berkaitan dengan figur yang disukai. Individu tersebut akan berupaya agar selalu dapat mengikuti perkembangan sang idola dan tidak merasa tersaingi di dalam kelompok sosial.
Kapitalis Membentuk Segmentasi
Seseorang yang memiliki idola dan mengaguminya secara berlebihan, biasanya akan memaksakan diri untuk mengonsumsi suatu komoditi secara berlebihan pula agar tujuan dan hasrat sementara dalam dirinya dapat terpuaskan.
Rasa puas tanpa akhir dalam diri memicu para kapitalis komersial membentuk suatu pola persebaran keinginan manusia sesuai dengan segmentasi tertentu. Segmentasi ini diperoleh melalui analisis secara umum dan arus data dari sistem komunikasi dan teknologi yang semakin berkembang. Akibatnya, para produsen mampu memancing para remaja atau orang dewasa yang sedang mengalami krisis identitas untuk mengubah keinginannya menjadi suatu kebutuhan.
Perkembangan krisis identitas ini juga diikuti dengan upaya komersialisasi suatu fenomena atau figur yang ada di masyarakat. Produsen tidak lagi menetapkan sesuatu atas dasar kebutuhan untuk menunjang siklus hidup, melainkan atas keinginan-keinginan yang tidak jarang membawa manusia pada perilaku konsumerisme. Perilaku ini menandakan bahwa tingkat kepuasan manusia hanya akan diperoleh dengan mendapatkan kesenangan secara maksimal. Pandangan utilitarianisme tersebut ikut serta menjaga pola krisis indentitas untuk terus hidup di masyarakat.
Para produsen memanfaatkan remaja yang rentan secara psikologis terhadap segala perubahan dan perkembangan zaman untuk memasarkan komoditinya secara implisit. Kebutuhan yang dibentuk berdasarkan keinginan adalah fokus yang sudah ditetapkan oleh para produsen agar sistem perekonomian terus berjalan. Mereka juga tidak memperhatikan bahwa dengan adanya suatu konsumsi berlebih, khususnya pada tingkat komoditi yang begitu banyak di pasar dan tidak dapat dibeli oleh manusia, akan menyebabkan krisis baru yang menimbulkan permasalah ekonomi secara masif.
Masyarakat dipaksa membeli suatu komoditi, sementara produsen mendapatkan nilai lebih dari hasil penjualan. Di sisi lain, mereka akan mendapatkan suatu penumpukan kapital dan alat sirkulasi yang tidak dapat dikonversi kembali menjadi alat tukar. Saat itulah terjadi kemacetan konsumsi. Ketika kemacetan itu terjadi, masyarakat justru akan enggan mengeluarkan uangnya dan hanya fokus memenuhi kebutuhan dasar demi menjaga siklus hidup. Dengan timbulnya krisis baru, manusia akan dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit yang mengganggu tujuan hidup, perasaan, dan kepercayaan dirinya. Akhirnya, krisis identitas akan terus hidup dalam masa pra-krisis, krisis dan pasca-krisis.
Krisis Identitas sebagai Nilai Tukar
Nilai tukar yang diperoleh dari adanya krisis identitas merupakan titik tolak dari sistem kapitalisme yang begitu laten.
Nilai tukar ini secara tidak langsung berperan menghasilkan uang atau keuntungan bagi para kapitalis. Nilai tukar ini terjadi melalui proses sugesti terhadap individu yang sedang berada di fase krisis identitas. Sugesti tersebut mengubah pandangan individu tersebut dalam menentukan jalan penyelesaian baru agar terlepas dari belenggu krisis identitas.
Jalan penyelesaian yang dihadirkan biasanya berupa pelepasan kesedihan dan kekecewaan lewat suatu media untuk mendapatkan kesenangan secara maksimal. Kesenangan tersebut tidak jarang harus didapatkan dengan melakukan konsumsi yang berlebihan. Manusia yang sedang mengalami krisis identitas cenderung memilih karakteristik yang sesuai dengan dirinya agar dapat mencapai definisi aktual dirinya sendiri. Namun, definisi tersebut bukan merupakan hal yang konkret, sebab tidak didasarkan pada kemampuan penggunaan nalar kritis manusia ketika berada dalam suatu permasalahan.
Baca juga:
Nilai tukar yang diperoleh para kapitalis ini menyumbang pertumbuhan yang pesat atas kegiatan perekonomian kapitalistik. Perekonomian tersebut menjadi semakin kuat dalam mempertahankan dominasinya sebagai solusi dari krisis identitas, tetapi pada saat yang sama, kapitalisme membawa manusia pada krisis selanjutnya.
Nilai tukar yang tersebut merupakan suatu upaya yang telah diciptakan oleh sistem kapitalisme agar manusia semakin gencar dalam pencarian jati diri. Eksistensi yang membentuk kebebasan juga dipengaruhi oleh suatu hegemoni kapitalisme. Pembentukan eksistensi adalah untuk melepaskan diri dari belenggu opini dan pandangan orang lain yang tidak sesuai dan merusak kapasitas diri manusia. Keterlepasan dari pandangan orang lain membuat manusia berupaya untuk menemukan karakteristik baru. Akibatnya, di dalam diri manusia, sudah terdapat peluang terciptanya nilai tukar yang dapat dimanfaatkan oleh sistem kapitalisme untuk menggerakan kapitalnya.
Kapital yang sudah terbentuk tersebut hanya tinggal menunggu momentun yang tepat atas diri individu. Ketika seseorang telah memilih figur idola, atau kecenderungan pandangan yang selaras dengan kapitalisme, maka ia akan terjebak. Dan nilai tukar yang dituntut oleh kapitalisme akan terus ia keluarkan agar kesenangan dapat terpenuhi secara maksimal.
Setelah Krisis dan Kemacetan Alat Sirkulasi
Pasca sistem kapitalisme berhasil membuat suatu stimulus agar krisis identitas semakin berkembang dan mereka mendapatkan hasil berupa nilai tukar, sistem tersebut tidak langsung mati atau berhenti. Ia akan bergerak dengan sistematis untuk menunggu krisis lanjutan yang dihasilkan oleh konsumerisme dan kegagalan manusia untuk kembali mendapatkan makna dari hidupnya.
Kegiatan perekonomian akan terganggu dengan adanya krisis. Akibatnya, para kapitalis juga merasakan dampak yang ditimbulkan dari tindakan yang mereka ambil. Namun, dampak tersebut tidak langsung dirasakan oleh para kapitalis raksasa, hal tersebut akan lebih dahulu dirasakan oleh para kapitalis menengah dan kecil. Ini dapat menyebabkan kapitalis menengah dan kecil mengalami fase kemunduran, dan produk yang ada di pasar menjadi tidak terkendali. Akhirnya nilai tukar tersebut tidak dapat bergerak secara dinamis.
Alat sirkulasi tersebut tidak dapat dikonversi kembali menjadi uang dalam waktu yang dekat. Hal ini disebabkan oleh krisis yang berkelanjutan dan ia hanya dapat dikonversi ketika krisis tersebut berada pada titik stabilnya. Dengan kondisi yang perlahan mencapai suatu kestabilan, para kapitalis mulai membentuk segmentasi baru untuk mencapai peluang dari keraguan manusia atas dirinya dan tuntutan mencari tujuan hidup melalui kesenangan maksimal. Akibatnya, tindakan-tindakan yang terjadi dalam suatu krisis identitas, yang berimplikasi pada alat sirkulasi, menyebabkan kekacauan pada sifat-sifat fungsional struktur masyarakat dan tingkat kesejahteraan sosial.
Referensi:
Marx, Karl. 1991. Kapital III. Yogyakarta: Hasta Mitra – Ultimus – Institute for Global Justice;
Marx, Karl. 1992. Capital II. Yogyakarta: Hasta Mitra – Penguin Classics and New Left Review.