Siapa yang tidak mengenal Tolak Angin? Tampaknya, produk jamu terstandarisasi buatan Sido Muncul ini adalah pilihan pertama kebanyakan keluarga di Indonesia ketika mengalami masuk angin. Gejala-gejala seperti demam, sakit kepala, dan pegal-pegal umumnya dapat diatasi dengan sebungkus tolak angin.
Tolak Angin pada dasarnya adalah jamu tradisional yang terbuat dari bahan herbal dan diproses menggunakan cara yang lebih modern, lalu didistribusikan dalam bentuk kemasan agar lebih praktis. Di tengah zaman yang didominasi industri farmasi Barat dengan berbagai tablet sintetisnya, apa yang membuat masyarakat Indonesia masih memercayai Tolak Angin, sebuah obat herbal yang justru berakar dari jamu tradisional?
Baca juga:
Mungkin, kita perlu menengok ke belakang dan mengingat kembali apa yang pernah terjadi pada masa kecil kita dulu. Kita kilas balik untuk mengenang bagaimana keluarga menaruh peranan penting sebagai entitas terdekat yang membentuk pola kebiasaan kita.
Aku jadi teringat dengan nenek yang merawatku sejak kecil, yang kini sudah almarhum. Dahulu, ketika aku demam, alih-alih membeli obat di apotek, nenekku justru pergi ke dapur, mengambil bawang merah, mencampurkannya dengan minyak, lalu membalurkannya ke sekujur tubuhku. Simsalabim, demamku turun setelah beberapa jam.
Nenek tidak pernah belajar ilmu pengobatan herbal di bangku akademik formal. Ia memperoleh pengetahuan ini secara turun-temurun. Pengetahuan yang nenek temukan tidak berbasis ilmiah. Namun, berdasarkan apa yang aku alami, pengobatan ala nenek sangatlah manjur untuk menyembuhkan sakit pada tubuhku.
Pendekatan yang dipakai nenek sangat berbeda jika dibandingkan dengan pola pengetahuan Barat, yang sangat mengharuskan segala sesuatunya terukur dan berpaku pada kepercayaan tunggal soal apa yang disebut “ilmiah”. Jika meminjam istilah dekolonisasi, inikah yang disebut pengetahuan personal berbasis ulayat? Kenapa kita harus menolak mentah-mentah sesuatu yang tidak terukur, tetapi secara nyata dialami oleh orang yang menggunakannya?
Pertanyaan berikutnya, perlukah kita menghidupkan kembali jamu-jamuan di masa ini? Mungkin, tablet-tablet buatan industri farmasi itu memang memberikan efek yang instan. Namun, di balik sifat instan tersebut, jangan-jangan ia justru “membunuh” kemampuan alami tubuh dalam menyembuhkan dirinya sendiri (self-healing)? Bisa saja obat-obat sintetis itu tampak memikat di luar, tetapi keropos di dalam.
Contoh sederhana dalam lingkup keseharian, penyakit sepele seperti batuk-pilek semula dapat reda hanya dengan mengonsumsi campuran kecap manis dan jeruk nipis. Sekarang, ia menjadi resisten, tidak lagi manjur diobati dengan bahan-bahan itu. Ini mungkin disebabkan oleh kebiasaan mengonsumsi tablet-tablet sintetis buatan pabrik farmasi raksasa.
Seiring berjalannya waktu, secara tidak sadar, tubuh menjadi ketergantungan dengan tablet-tablet itu. Tidakkah kita khawatir dengan efek samping yang ditimbulkan olehnya dalam jangka waktu panjang?
Tulisan ini bukan bermaksud untuk mengajak mengabaikan total obat-obatan sintetis. Sebaliknya, tulisan ini mengajak untuk merenungkan kembali kegunaan jamu dari bahan-bahan alami yang ada di dapur dengan segudang potensinya sebagai opsi pertama untuk menangani penyakit-penyakit ringan.
Mungkin, obat-obatan sintetis baru dibutuhkan pada kondisi tertentu. Misalnya, ketika penyakit sudah sangat parah dan tidak mampu diatasi lagi dengan bahan-bahan alami. Sayangnya, kenyataan yang terjadi sekarang, lebih banyak orang yang memilih bergantung pada obat-obatan sintetis sebagai opsi pertama meskipun penyakit yang diderita masih tergolong ringan.
Jika sakit kepala ringan sebenarnya dapat diatasi hanya dengan meminum rebusan jahe merah, mengapa kita harus selalu bergantung pada tablet paracetamol?
Jika sakit lambung ringan sebenarnya dapat diatasi hanya dengan mengonsumsi rebusan kunyit, mengapa kita harus selalu bergantung pada tablet aluminium hidroksida?
Jika nyeri sendi akibat tingginya kadar asam urat sebenarnya dapat diatasi hanya dengan mengonsumsi air rebusan daun salam, mengapa kita harus selalu bergantung pada tablet allopurinol?
Jika pegal-pegal akibat darah tinggi akibat hipertensi sebenarnya dapat diatasi hanya dengan mengonsumsi bawang putih secara rutin, mengapa kita harus selalu bergantung pada tablet hydrochlorothiazide?
Jika kesulitan tidur akibat gejala insomnia sebenarnya dapat diatasi hanya dengan mengonsumsi buah pala, mengapa kita harus selalu bergantung pada tablet temazepam?
Baca juga:
Sebagaimana yang dikatakan seorang physician bernama Hippocrates pada 400 SM:
“Let food be thy medicine and medicine be thy food.”
Pernyataan beliau kumaknai sebagai obat-obatan alami berupa keragaman rempah-rempah di dapur kita. Bukan hanya soal urusan perut dan rasa kenyang, ternyata makanan yang kita konsumsi setiap hari dapat sekaligus bertindak sebagai obat-obatan alami yang membentuk imunitas tubuh. Lagipula, bukankah mencegah lebih baik daripada mengobati?
Jika Tolak Angin yang berakar dari bahan alami masih mendapatkan ruang di tengah kehidupan masyarakat modern, mungkinkah bahan-bahan dapur—yang jauh lebih dekat dan terjangkau—juga dapat dihidupkan kembali dari statusnya sebagai tradisi keluarga Indonesia yang pernah hilang?
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Merawat Keluarga dengan Bumbu Dapur”