Rabu Legi, Mongso Karo, Wuku Tambir, lembaga penjaga konstitusi itu lahir. Tercatat sebagai lembaga yudikatif di dunia yang pertama dilahirkan pada abad ke-21, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang merupakan anak kandung Reformasi mengemban titah mengisi keadilan.
Baru lahir, si anak langsung kedapatan tugas menguji undang-undang yang serampangan terhadap UUD 1945. Ide Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) untuk menambah kewenangan pada Mahkamah Agung Indonesia tersebut selalu terbentur dan gugur oleh suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan segala rupa bentuk penajisan kehidupan politik pada orde sebelumnya.
Acara slametan digelar pada 13 Agustus 2023 kemarin untuk merayakan Mahkamah Konstitusi RI yang kini genap berusia dua puluh tahun mengawal konstitusi. Sebelum merayakan harlahnya, MK berpuasa untuk menjaga marwah di tengah menguatnya distrust publik terhadapnya. Pasalnya, publik menilai MK mengalami penurunan kinerja etik.
Melalui amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022, MK merawat dirinya dari salah satu gejala autocratic legalism, yakni independensi peradilan yang dirusak. Bersamaan dengan itu, MK meruwat alam demokrasi yang semakin mundur.
Autocratic Legalism pada Tahun Becik Diusik
Pada tahun becik ketitik ala ketara, rakyat dengan cekat dan tanggap akan menuju gardu apabila titir raja pati atau titir 2.2.2 pencurian menghingar dari kentongan. Tidak perlu check dan recheck karena pada masa orde tersebut masyarakat sama-sama tahu bahwa penguasa berkuasa dengan bedil dan tank.
Berbeda dengan situasi Orde Baru yang otoriter dan melegalkan kekerasan demi pembangunan, pada situasi pasca Reformasi, Orde Paling Baru membentuk satu pamali yang tak boleh dilanggar dalam sistem politik kita. Pamali itu berbunyi jangan menggunakan kekerasan dalam kehidupan politik kita. Sebab, sekalinya watak kekerasan itu ditancapkan dalam kebijakan politik kita, disusupkan dalam pasal berbagai produk legislasi dan amar putusan pengadilan, maka upaya pemberadaban reformasi kita gugur, serta arena politik dan lapangan hukum menjadi semata-mata rumah jagal hewan.
Di Orde Paling Baru ketika otoritarianisme nampak tumbang, membunyikan kentongan dengan titir 00000000000 “gobyok” sebagai early warning regresi demokrasi tentu bisa dapat damprat. Lantas, benarkah kekerasan atas nama pembangunanisme khas rezim otoriter sirna dan tidak mungkin dihidupkan lagi di alam Reformasi?
Berdasarkan kajian para cendekia, lantaran pelegalan kekerasan secara fisik demi pembangunanisme di era baru ini ditentang habis-habisan, pembangunanisme mencari model baru menggunakan kekerasan dalam agenda pembangunannya. Orde Paling Baru melatenkan kekerasan dalam berbagai kebijakan politik dan putusan hukum. Tak hanya di negeri cincin api, di negeri lain pun muncul tren operasi wajah otoriter menjadi neo-otoriter seperti di Cina, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura.
Secara ringkas, neo-otoritarianisme adalah suatu sistem yang memiliki karakteristik-karakteristik seperti: (1) ekonomi adalah kapitalis yang deliberasi atau meliberalisasikan; (2) negara memiliki kepemilikan luas atas alat-alat produksi dan terus berpartisipasi dalam ekonomi kapitalis melalui perusahaan-perusahaan yang berorientasi laba yang terdesentralisasi; (3) institusi masyarakat sipil dan ranah publik diatur secara ketat atau dikontrol oleh negara, yaitu otoritarianisme; (4) elit penguasa mempertahankan jaringan ahli teknokratis, pengusaha publik, dan kapitalis lokal; dan (5) elit penguasa mempertahankan hegemoni dengan memobilisasi persetujuan ideologi yang memiliki perbedaan peradaban dan pembedaan yang berakar pada identitas kelompoknya.
Tren neo-otoritarianisme di negara lain tersebut juga menjadi sorotan akademisi negeri cincin api. Dalam konteks Indonesia, neo-otoritarianisme tercermin dari HAM yang hanya dilihat berdasarkan kepentingannya untuk ada dan tak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan ramah investasi. Dalam hal penyusunan Omnibus Law yang dikritik publik, misalnya, potret HAM berparadigma pasar sungguh kentara. HAM bukan ditiadakan, melainkan dibatasi, diseleksi, dan dibonsai sejauh tak menabrak prioritas ekonomi.
Neo-otoritarianisme bukan hanya menekankan HAM yang harus ramah terhadap pasar, melainkan juga dilakukannya serangkaian serangan yang terencana oleh penguasa terhadap institusi-institusi yang tugasnya mengawasi kekuasaan. Setelah semua batasan konstitusional dilonggarkan, penguasa akan dengan mudah menggunakan instrumen hukum sehingga tindakannya yang sebenarnya sudah melanggar prinsip negara hukum seakan-akan benar. Model menggunakan perangkat hukum untuk melegitimasi tindakan-tindakan yang tidak demokratis inilah yang dalam kajian politik dan hukum tata negara disebut autocratic legalism.
Dua agenda itulah yang digetolkan oligarki pasca Reformasi, termasuk di dalamnya mengusik MK melalui serangkaian aswantonisasi dan revisi UU MK yang tidak memiliki urgensi dan justru berpotensi mengganggu independensi MK sebagai penjaga konstitusi.
Antara Putusan Gembelengan dan Putusan Berkeadilan
Publik masih belum lupa atas ugal-ugalannya pembentukan hingga pengesahan UU Cipta Kerja. MK tentu tidak lupa juga atas Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memutus UU Cipta Kerja tersebut inkonstitusional bersyarat. Sebagaimana isi amar Putusan MK atas UU Cipta Kerja angka 3 yang menyebutkan:
Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan.
Dalam memutus berbagai permohonan uji materi undang-undang terhadap UUD 1945, MK tentu memiliki kewenangan dan independensinya untuk memodifikasi amar. Pada putusan atas permohonan uji materi UU Cipta Kerja ini, MK memiliki pertimbangan bahwa tiga ketentuan amar (dikabulkan, ditolak, atau tidak Dapat Diterima) tidak cukup mengakomodir keadilan bagi para pemohon. Analisis lain dari Dr. Fajar Laksono Suroso menyoroti putusan MK yang menyatakan inkonstitusionalitas tersebut berdampak besar terhadap pola relasi pembentuk UU dengan MK. Di sejumlah negara, putusan MK yang membatalkan UU kerap memicu ketegangan atau konflik antarlembaga.
Namun, bukanya memenuhi putusan MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja dengan proses partisipasi penuh, pemerintah jutru tidak menghormati putusan tersebut dengan menerbitkan Perppu 2/2023 tanpa urgensi kedaruratan. Tak lama setelahnya, DPR menetapkan Perppu tersebut sebagai UU 6/2023 tentang Cipta Kerja. Alhasil, niat baik MK untuk mendorong pembentuk UU dalam mengurangi problem inkonstitusionalitas dalam proses legislasi tak dianggap berarti. Meskipun modifikasi amar tersebut merupakan langkah kreatif MK, dampaknya yang tidak terlalu berarti dengan diakalinya putusan tersebut menyulut peningkatan distrust publik terhadap MK.
Kenyataan semacam itu menjadi catatan agar MK dalam memodifikasi amar seyogyanya tak hanya mempertimbangkan potensi konflik antar lembaga, tetapi juga mencari pertimbangan lain yang menambah dukungan publik guna membantu mengawal konstitusi dari regresi demokrasi dan gejala autocratic legalism.
Pertimbangan lain yang pantas dilakukan MK dalam menjatuhkan amar adalah pelibatan perspektif gender impact assessment. Dengan mempertimbangkan gender impact assessment, kita dapat menganalisis seberapa jauh undang-undang, kebijakan, atau program, bahkan juga putusan lembaga peradilan seperti MK berdampak positif atau negatif terhadap kesetaraan gender. Misalnya, dalam klaster ketenagakerjaan UU Cipta Kerja yang diputus MK, kita dapat mengamati sejauh mana inklusifitasnya terhadap gender.
Kritik atas toleransi PKWT dan fleksibilitas jam kerja pun masih bergulir terhadap UU 6/2023. Dengan fleksibilitas jam kerja, pekerjaan bertumbuh sekaligus menambah kerentanan pekerja itu sendiri. Upah murah dari sistem kerja fleksibel dan penambahan batasan waktu lembur akan membuat pekerja mencari tambahan penghasilan memenuhi kebutuhan hidup yang mengurangi jam istirahat pekerja sehingga berisiko menambah kasus kecelakaan kerja. Dalam UU 6/2023, tidak ada satupun frasa yang mendorong penguatan hak maternitas dan paternity leave yang sebelumnya diatur dalam UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Alih-alih mendorong pemajuan iklim kerja yang baik dan inklusif gender, UU 6/2023 bahkan tak memuat frasa tentang ketentuan cuti haid dan cuti melahirkan.
Baca juga:
MK sebagai Wakil Nyunggi Wakul
Enggan meruncingkan distrust publik mendekati tahun politik, MK menjatuhkan amar Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 yang menolak secara keseluruhan permohonan uji materi sistem proporsional terbuka. Dalam perspektif gender impact assessment, putusan tersebut terasa lebih menggembirakan bila dibandingkan Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang MK tetapkan sebelumnya.
Meskipun secara pemenuhan kuota keterwakilan perempuan maupun kelompok etnis minoritas lebih mudah dibanding dengan sistem proporsional terbuka, menetapkan sistem proporsional tertutup dengan kondisi negeri yang parpol dan DPR menjadi lembaga publik yang paling tidak dipercaya tentulah besar risikonya. Alih-alih kucing, justru anjing gila yang didapat dalam karung. Alih-alih kuota perempuan terpenuhi oleh perempuan berkualitas yang mampu menghasilkan legislasi yang mendorong inklusivitas gender, justru yang didapat sekadar formalitas 30% kuota diisi oleh perempuan tukang nge-game, perempuan yang tak punya visi memperjuangkan kesetaraan gender, dan, amit-amitnya, mereka yang menjadi penghasil peraturan perundang-undangan yang berwatak patriarkis layaknya UU Cipta Kerja.
Menjajaki usia ke-20 tahun, MK musti menambah peranannya. Bukan hanya sebagai wakil yang menjaga konstitusi, tetapi juga wakil yang nyunggi wakul harapan rakyat, kaum mustadafin, lebih-lebih wakil yang memukul titir doro muluk. MK harus bisa mengajak rakyat berkumpul tanpa khawatir akan ancaman neo-otoritarianisme.
Editor: Emma Amelia