Mengiringi pergantian tahun, harapan dan doa dipanjatkan untuk negeri ini. Di sisi lainnya tentu tersimpul pesan kritis, mengingat banyak persoalan di negeri ini yang belum tuntas. Salah satu yang terus-menerus menjangkiti negeri ini adalah problematika hukum. Pranata hukum bak pelanduk yang terjepit di antara dua gajah sehingga nafasnya terengah-engah. Seperti itulah cerminan hukum Indonesia pada tahun 2022.
Dalam aspek hukum, unsur-unsur kepentingan elite begitu jelas terpampang di wajah negara ini sepanjang tahun 2022. Hukum diapit kekuasaan dan kepentingan. Politik pragmatis dan kepentingan elite pemodal bercokol dan menggelayuti gerbong kekuasaan sehingga hukum semakin tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dalam Catatan Politik dan Hukum Harian Kompas, Budiman Tanuredjo menyebutnya sebagai “deindustrialisasi politik”, seperti ketika putusan hakim bisa dijual di dalam kamar-kamar gelap.
Kritik begitu santer dilontarkan. Ahli dan praktisi hukum, LSM, mahasiswa, hingga masyarakat akar rumput ikut melucuti postur hukum yang dirasa semakin menjauh dari sukma keadilan. Dalam opini di koran Media Indonesia yang berjudul “Hukum untuk Penguasa dan Pengusaha”, Bivitri Susanti melukiskan bagaimana seseorang yang mempunyai jabatan (kekuasaan) dan modal besar (oligarki) bisa dengan mudah mengontrol dan mengatur hukum seenak perutnya sendiri.
Baca juga:
Demi investasi dan Pembangunan
Paradigma pembangunan infrastruktur fisik (pembangunanisme) menjadi salah satu aktor kemunduran hukum. Pemerintah seperti keranjingan investasi. Di kepala mereka laba seolah harga mati. Mereka berdalih ini demi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Padahal kita tahu investasi dan pembangunanisme hanya dirasakan oleh segelintir elite penguasa dan pemodal besar. Investasi dan pembangunanisme seolah-olah menjadi satu-satunya jalan keluar menghadapi inflasi dan resesi global. Atas dasar itulah hukum tidak boleh menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional. Pembuatan peraturan perundang-undangan akhirnya dibuat secara serampangan. Pada titik itulah hukum dan kepentingan ekonomi politik saling berbenturan.
Dalam tulisan di Harian Kompas, Zainal Arifin Mochtar menyebut “legislasi ugal-ugalan” diidentikkan melalui politik hukum yang tidak lagi berdasar pada tujuan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, jangan heran apabila karakter produk hukum yang dihasilkan justru menyergah alih-alih menyapa masyarakat. Hal ini terlihat dalam proses pembuatan produk hukum yang dibuat selama 2022, seperti UU IKN, UU P3, RKUHP, dan terbaru Perpu UU Cipta Kerja.
Legislasi UU IKN hanya membutuhkan 43 hari, di mana waktu efektifnya kurang lebih selama 20 hari. Tidak mungkin dalam waktu 20 hari sebuah produk undang-undang bisa mengakomodasi aspirasi-aspirasi masyarakat yang terdampak. Apalagi UU IKN memiliki implikasi yang sangat ekstensif. Mustahil UU IKN yang dibuat dalam waktu sangat terbatas dapat merepresentasikan kebutuhan rakyat banyak.
Konyolnya, belum genap setahun UU IKN disahkan, alih-alih meneruskan “cita-citanya”, wacana untuk merevisi UU IKN justru kian santer dibicarakan. Dari situ bisa terlihat substansi UU IKN belum menjuru ke arah prospek pembangunan jangka panjang, artinya para pembuat UU mengamini keserampangan tahapan legislasi UU tersebut. Begitulah akibatnya jika paradigma pembangunan dan investasi menjadi senjata pamungkas untuk merespons keadaan.
Demikian pula dalam konteks revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) yang setali tiga uang dengan terbitnya Perppu UU IKN. Paradigma memuluskan investasi dan pembangunanisme tampak jelas ketika UU P3 hanya merevisi bab mengenai metode “omnibus” untuk memberi karpet merah kepada UU Cipta Kerja. Bayangkan, hanya butuh 6 hari untuk merevisi UU P3, padahal putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang UU Cipta Kerja mewajibkan pemerintah dan DPR untuk membuka partisipasi publik seluas-luasnya. Apalagi putusan MK mengharuskan masyarakat punya hak untuk didengar, dipertimbangkan, dan dijelaskan.
Alih-alih memperbaiki UU Ciptaker sesuai perintah MK, negara justru menerbitkan Perppu nomor 2 tahun 2022 tentang UU Cipta Kerja. Semakin ajaib memang melihat apa yang diperintahkan MK dengan yang dikerjakan negara sangat paradoksal. Dalam siaran pers pada 30 Desember 2022, YLBHI menyebut Perppu UU cipta kerja sebagai kudeta atas konstitusi dan menunjukkan perangai otoritarianisme rezim saat ini. Terlepas dari substansi di dalamnya, penerbitan Perppu ini jelas-jelas mengingkari putusan MK tentang UU cipta kerja.
Dalam siaran pers kabinet, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Menteri Koordinator Bidang Polhukam Mahfud MD berkilah bahwa Perppu Cipta Kerja dikeluarkan karena situasi mendesak dan genting. Dalihnya, dampak perang Ukraina-Rusia dan ancaman inflasi serta stagflasi bisa menganggu perekonomian Indonesia.
Sungguh rezim ini tidak bisa lepas dari kungkungan cara berpikir investasi dan pembangunanisme. Jelas saja kritik berdatangan saat melihat pemerintah tidak mengindahkan putusan MK yang mengikat dan konstitusional. Apa daya, nestapa ini sedang menghinggapi tubuh hukum yang semakin sesak diapit dua kekuatan besar dan lacurnya sudah pasti dialami masyarakat luas.
Baca juga:
Lumpuhnya Penegakan Hukum
Aspek lain yang tidak kalah penting untuk disorot adalah penegakan hukum selama tahun 2022. Kasus yang masih hangat dan sepanjang tahun menjadi perhatian publik adalah kasus yang menimpa eks Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo. Kasusnya laksana cause celebre, dinikmati dan diperhatikan sepanjang waktu.
Komersialisasi penegakan hukum juga tampak dalam kasus seperti suap-menyuap Hakim Agung Sudrajad Dimyati dan Gazalba Saleh. Jika boleh berandai-andai, sudah cukup kasus korupsi atau suap-menyuap terjadi di ranah eksekutif dan legislatif, jangan sampai yudikatif ikut terseret.
Dalam opini berjudul “Robohnya (lagi) Mahkamah Kami” di koran Media Indonesia, Zainal Arifin Mochtar menjelaskan dua kasus di atas hanyalah fenomena gunung es. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pengawasan terhadap hakim oleh Komisi Yudisial. Kasus hakim tersebut membuat terang mata publik bahwa mencari keadilan begitu sulit bila uang tidak bersuara. Begitulah kira-kira potret perilaku koruptif penegak hukum yang sudah mengakar, dan cara mengatasinya sudah seperti mencari jarum di atas tumpukan jerami.
Mahkamah Konstitusi adalah tempat rakyat mencari kepingan-kepingan sisa keadilan. Dan harapan itu pupus ketika DPR melalui Komisi III mencopot Hakim Aswanto dan menggantikannya dengan Guntur Hamzah selaku Sekjen MK. Salah satu anggota DPR memberi penjelasan pemecatan Hakim Aswanto adalah karena ia kerap menganulir produk hukum yang dibuat DPR. Hakim dianalogikan sebagai direksi, MK sebagai perusahaannya, dan DPR sebagai owner yang sewaktu-waktu bisa memecat direksinya apabila tidak suka.
Saya sungguh terpukul mendengar ucapan anggota dewan terhormat yang menanggap hakim MK hanya sebagai alat. Di situlah titik perselingkuhan politik dan hukum. Tidak terbayangkan bagaimana bisa analogi semacam itu terbesit di pikiran wakil rakyat di parlemen.
Dalam tulisan di Harian Kompas, Herlamang P Wiratraman menyebutnya sebagai “Mahkamah Kartel”, di mana pemecatan itu adalah tengara bekerjanya politik kartel yang dapat menyebabkan penurunan demokrasi dan kebangkitan otoritarianisme. Sedangkan mantan Hakim Konstitusi, IDG Palguna, dalam opini di koran Media Indonesia yang berjudul “Diserangnya Mahkamah Kita” menyatakan bahwa kemerdekaan dari intervensi politik dan menegakkan keadilan adalah kewenangan MK sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Dan hal itu hanya bisa didapatkan ketika seorang hakim dijaga kemerdekaannya tanpa dapat ditawar-tawar, sebab tanpanya roh constitutional democratic state, yaitu rule of law, not of man hanya akan menjadi bualan menjemukan.
Peristiwa pembunuhan Brigadir J oleh Ferdy Sambo, kasus suap-menyuap hakim agung, dan pencopotan sewenang-wenang hakim konstitusi adalah potret zalim negara yang akan tercatat dalam lembaran sejarah bangsa Indonesia. Dari dua sub tema di atas, kita bisa melihat bagaimana kesewenang-wenangan bisa mencederai hukum demokrasi, dan lebih-lebih menghardik rasa keadilan masyarakat yang tidak dapat dilukiskan lewat kata-kata.
Dari kasus di atas, kita bisa belajar bahwa bangsa yang beradab perlu pemimpin yang memimpin, bukan pemimpin yang disetir oligarki, dan juga sosok perwakilan yang betul-betul memiliki integritas serta kapasitas-kapabilitas memadai.
Editor: Prihandini N
Sangat baik