Sungguh ironi, di negara yang menganut prinsip negara hukum, yang mana hukum seharusnya menjadi panglima perjuangan, dalam praksisnya justru mengalami involusi, bukan inovasi. Variabel hukum dan pemberantasan korupsi masih menjadi isu yang terus-menerus menyita perhatian publik. Survei terakhir yang dikeluarkan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) mempertegas postur penegakkan hukum yang kian involutif.
Penegakan hukum atas peristiwa keji di Kanjuruan baru-baru ini terus disorot. Sedangkan pemeriksaan terhadap mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, beberapa waktu lalu merupakan fokus publik dalam menilai kinerja lembaga anti rasuah.
Penjelasan oleh LSI menyebutkan, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kondisi penegakan hukum terpotret buruk, yakni dengan respons buruk (29,2%), sedang (26,8%), dan sangat baik (3,3%). Potret kondisi pemberantasan korupsi yang dinilai oleh masyarakat juga kian mengalami kemunduran, dengan prosentase penilaian: buruk (27,7%), sangat buruk (18,0%), dan sangat baik (3,6%), (Lembaga Survei Indonesia, 2022). Hasil survei tersebut sangatlah mencerminkan bagaimana kondisi negeri hari-hari ini yang terus menerus dilanda permasalahan.
Kinerja Merosot dan Banyaknya Kasus
Potret penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di atas merupakan mikroskopis bangsa ini, dalam arti kinerja institusi negara tidak optimal. Rentetan kasus pelanggaran oleh Polri menunjukkan bahwa tugas pokok dan fungsi tidak diterjemahkan dalam praktik sehari-hari. Lembaga-lembaga seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Kejaksaan, KPK, dan Polri seharusnya sadar diri akan keresahan-keresahan yang selama ini menghantui mereka.
Baca juga:
Kasus Hakim Konstitusi Aswanto beberapa waktu lalu menunjukkan ketidakberdayaan mereka di depan patronase politik. Sebagai lembaga “the guardian of the constitution”, nyali lembaga-lembaga tersebut bak pelanduk terjepit di antara dua gajah.
Belum lagi putusan-putusan Mahkamah yang dirasa tidak cukup adil. Salah satunya putusan Judicial Review Uji Formil UU Cipta Kerja yang menggambarkan putusan “setengah hati”, dan akhirnya menjadi “bola panas” yang bergelinding di ruang publik.
Operasi tangkap tangan terhadap Hakim Agung Sudrajad Dimyati merupakan fenomena puncak gunung es. Jujur saja, masih banyak kasus seperti itu di lingkungan peradilan. Mungkin tinggal menunggu bom waktu sampai satu-persatu kasusnya mencuat. Perilaku koruptif oleh aktor hukum juga kerap kali menghiasi panorama penegakan hukum. Sudah menjadi rahasia umum bahwa oknum kejaksaan, kepolisian, pengacara, dan hakim melakukan tawar-menawar posisi di luar panggung hukum yang sahih.
Badan peradilan hukum, atau lebih tepatnya kekuasaan kehakiman yang berjalan bersamaan dengan institusi kejaksaan, mengalami degradasi moral berkelanjutan. Dua institusi tersebut tidak mendapat kepercayaan masyarakat secara paripurna. Defisit kepercayaan itu menandakan tidak bekerjanya suatu lembaga seperti yang diharapkan.
Masyarakat menganggap tidak ada gunanya melakukan upaya hukum ketika nilai equality before the law nihil. Salah satu contohnya adalah kasus pemidanaan Jaksa Pinangki. Kasus ini adalah cerminan bagaimana sistem hukum Indonesia bekerja secara tidak profesional dan maksimal, ditambahkan lagi dengan keborokan yang secara telanjang diperlihatkan di mata publik.
Kecaman Masyarakat dan Ultimatum Berbenah Diri
Lembaga yang belakangan ini menjadi sorotan publik adalah Polri dan KPK. Ada semacam ultimatum bahwa sudah saatnya dua institusi tersebut berbenah diri. Bayangkan saja, tidak sampai tiga bulan, lagi dan lagi lembaga kepolisian berulah dengan perbuatan tercela.
Kecaman, makian, dan rasa kesal berkecamuk bersama-sama menghakimi dua lembaga ini. Kondisi itu diperparah dengan tingkat penegakan hukum yang tidak kunjung membaik sejak era reformasi. Kasus hukum terbaru di institusi Polri menyeret Perwira Tinggi Polri, Irjen Teddy Minahasa Putra, yang baru diangkat sebagai Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur menggantikan Kapolda sebelumnya. Irjen Teddy terjerat kasus jual beli narkoba. Pada waktu yang bersamaan, beberapa waktu silam Presiden Joko Widodo melakukan arahan kepada seluruh pejabat Polri di Istana Negara perihal transformasi kelembagaan Polri.
Baca juga:
Sebanyak 400 ribu lebih anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sedang mengalami situasi sulit. Perbuatan nonetis menjerat oknum Polri bertubi-tubi, mulai dari kasus Irjen Ferdy Sambo, tragedi kanjuruhan, dan terbaru kasus jual beli narkoba yang diduga melibatkan Irjen Teddy Minahasa. Situasi berat ini adalah ujian kelembagaan Polri yang sedang dinakhodai Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Terbaru, survei Indikator Politik oleh Burhanuddin Muhtadi memperlihatkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Polri melemah akibat kasus pembunuhan oleh Irjen Ferdy Sambo terhadap Brigadir Yosua Hutabarat. Institusi yang dipimpin oleh Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu menempati posisi buncit dengan 54,2 persen (cukup/sangat percaya).
Tidak hanya berhenti di situ, 10 Oktober lalu CNN Indonesia merilis semacam naskah dokumentasi tentang jejak brutalisme polisi dalam menangani massa sepanjang tahun 2019-2022. Ada delapan peristiwa yang dicatat, yakni kerusuhan di Bawaslu 22 Mei 2019 (10 orang tewas ditembak), aksi “Reformasi Dikorupsi” menolak RUU KPK dan RKUHP September 2019 (5 orang meninggal), demo tolak Omnibus Law pada Agustus 2020 (187 orang ditangkap dan kekerasaan terhadap 28 jurnalis), penembakan Laskar FPI 7 Desember 2020 (6 orang tewas di Tol Cikampek KM 50), demo kunjungan Presiden Jokowi pada 13 September 2021 (10 mahasiswa UNS ditangkap), Demo Roma Agreement pada 30 September 2021 di kantor Kedubes AS, Jakarta (17 aktivis Papua ditangkap), demo tolak Daerah Otonom Baru pada Maret-Juni 2022 (2 demonstran di Yahukimo tewas ditembak), dan terakhir peristiwa kemanusiaan di kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 (131 meninggal termasuk 33 anak-anak).
KPK yang terus mengalami “degradasi moral” sejak revisi UU juga berada di titik nadir. Kasus-kasus pelanggaran etik yang dilakukan oleh pimpinan lembaga menjadi kontroversi. Ketidakberesan itu kemudian semakin menjadi-jadi ketika lembaga pengawas KPK tidak menjustifikasi perilaku tercela pimpinan komisi secara tegas. Eksistensi lembaga anti rasuah yang sudah tidak lagi eksis di mata khalayak umum ini perlu dipertanyakan.
Nama KPK sudah tercoreng dalam benak masyarakat akibat berbagai perilaku yang tak elok. Survei dari Lembaga Survei Indonesia menunjukkan, kepercayaan terhadap KPK sebesar 26% (kurang percaya) dan 48% (cukup percaya). Bila dibandingkan dengan survei sebelumnya, angka ini sangat timpang. Sebelumnya mayoritas masyarakat sangat percaya, kemudian menjadi kurang percaya. Catatan tersebut menimbulkan pertanyaan baru, apakah lembaga penegak hukum telah mencapai titik klimaksnya dan keadilan hukum kini hanya omong kosong?
Baca juga:
Konteks itulah yang harus dijawab secara tegas oleh lembaga penegak hukum. Hukum tidak bergerak di ruang yang hampa. Perlu ada upaya pembenahan secara radikal dan profesional apabila ingin menjadikan hukum sebagai panglima perjuangan.
Reformasi lembaga penegak hukum sebagai semangat perubahan seperti berada di titik nadir. Ketidakpercayaan, amarah, perasaan jengkel, dan sikap apatis masyarakat jangan sampai membuat institusi penegak hukum menjadi lembaga yang hidup segan mati tak mau. Etos kerja harus terus ditumbuhkan untuk meneruskan perjuangan reformasi lembaga penegak hukum.