Institusi pendidikan hukum telah banyak berdiri. Apabila diasumsikan, banyaknya institusi pendidikan hukum tampaknya sejalan dengan banyaknya permasalahan hukum yang bermunculan di negeri ini. Semakin banyak orang-orang hukum yang terpelajar ternyata juga selaras dengan banyaknya persoalan hukum beserta kondisinya yang kian menyedihkan.
Sehari-hari, kita disuguhi fenomena pelanggaran hukum yang seolah telah jadi pemandangan yang biasa terjadi di negeri Wakanda–begitu julukan akrab bagi republik ini–akibat rusaknya tatanan sistem hukumnya. Masyarakat yang lelah dengan suguhan kabar yang membahas bobroknya sistem hukum melontarkan slogan-slogan kritik terhadap berjalannya sistem hukum, misalnya hukum tumpul ke atas tajam ke bawah, hukum berpihak pada yang berduit dan berkuasa, hingga aksi perlawanan bertagar #reformasidikorupsi. Sebaliknya, penguasa terlalu menikmati duduk di atas kursi yang terbuat dari kerusakan sistem hukum.
Baca juga:
Lantas, apa tepatnya hubungan banyaknya permasalahan hukum dengan banyaknya institusi pendidikan hukum? Sebelumnya, perlu dimengerti baik bahwa institusi pendidikan hukum adalah institusi yang menelurkan banyak sarjana hukum yang kelak akan menjadi para pekerja hukum. Kerusakan sistem hukum adalah bukti nyata atas adanya anggapan bahwa institusi pendidikan hukum telah melahirkan para penjahat hukum.
Anggapan tersebut memang belum tentu berlaku secara general, tetapi dalam fragmen tertentu anggapan tersebut bisa dianggap benar. Institusi pendidikan tinggi hukum yang telah mencetak lulusan sarjana hukum pun tampak tidak berdaya dengan yuris-yuris yang telah ditelurkan. Kampus-kampus dengan pendidikan yang hebat pun juga tidak terlalu banyak berkontribusi memperbaiki bobroknya sistem hukum. Saya menduga sistem hukum kita sudah sedemikian bobroknya sampai-sampai tidak ada yang tahu harus membenahinya dari segi mana terlebih dahulu.
Saya tak habis pikir, apakah institusi pendidikan hukum tidak turut merasa berdosa dengan karakter lulusan yang justru ikut menyumbang kerusakan sistem hukum saat ini? Institusi pendidikan hukum mempunyai tanggung jawab moral terhadap perilaku para yuris yang menjadikan hukum kita kerap bermasalah. Yuris-yuris yang duduk di kursi kekuasaan dan banyak yang menjadi pejabat publik saat ini telah gagal menciptakan hukum yang berintegritas. Justru, mereka malah menjadikan hukum terus menghamba kepada jaringan kekuasaan yang oligarkis.
Rusaknya sistem hukum saat ini memunculkan pertanyaan: bagaimana bentuk pertanggungjawaban institusi pendidikan hukum yang telah gagal menciptakan yuris yang memperbaiki hukum saat ini? Kemudian, harus dimulai dari mana perbaikan bobroknya sistem hukum? Saking kronisnya permasalahan sistem hukum saat ini, sulit untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut.
Memperbaiki tatanan hukum di negeri ini butuh cara-cara yang ekstra. Membicarakan sistem hukum yang bobrok berarti juga membicarakan penguasa yang berkarakter oligarkis. Penguasa saat ini terlalu mabuk kekuasaan; terlihat dari penggunaan cara-cara yang munafik dan licik dalam membentuk undang-undang.
Pembentukan beberapa undang-undang menuai banyak penolakan dari masyarakat. Ironisnya, penolakan itu hanya dianggap sebagai embusan angin kecil yang tak bisa didengar penguasa. Mereka terlalu menikmati neraka kekuasaan sampai-sampai lupa bahwa mereka hidup di atas jerit-rintih rakyat jelata.
Rasanya mual sekali mendengar ucapan penguasa soal “setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum” atau “undang-undang dibentuk untuk memberikan kesejahteraan bagi masyarakat.” Bunyi-bunyi sumbang semacam itu membuat telinga pekak dan berdengung menyakitkan. Para penguasa terlalu gampang membicarakan nasib rakyat, tetapi mereka sangat sulit memperjuangkan nasib rakyat yang membutuhkan pertolongan negara.
Saya kian yakin, hukum di negeri ini hanya melindungi kepentingan mereka yang berkuasa dan berduit. Hukum begitu mudah dimainkan layaknya boneka yang gampang dikendalikan oleh pemiliknya. Demokrasi banyak dimainkan oleh mereka yang berkuasa. Rakyat dibungkam supaya tidak bebas menyuarakan pendapat. Hasilnya tak lain dari undang-undang pro oligarki yang dibentuk dengan cara ugal-ugalan.
Tidak ada sisa rasa malu pada diri penguasa yang sangat menghamba pada uang dan kekuasaan, serta hanya menjadikan rakyat sebagai lumbung suara ketika pemilu. Hukum yang kita punya tidak berdaya membendung tindakan itu dan tidak memiliki taji untuk menindaknya.
Hukum telah dikotori dengan politik yang berbau busuk; menandakan bahwa ada kekalahan hukum yang sedemikian rupa. Tak ayal, mudah sekali menjumpai masyarakat yang beranggapan bahwa hukum adalah sistem feodal-transaksional kepentingan.
Aparat dan institusi penegak hukum yang semestinya memperjuangkan kepentingan masyarakat sama saja dengan penguasa yang suka mempermainkan hukum. Aparat penegak hukum jugalah yang merusak sistem dan melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap hukum karena ulah mereka memperjuangkan kepentingan sendiri sekaligus menghamba pada kekuasaan.
Masalah-masalah dalam hukum kita sudah sebegitu mengakar. Dari segi prosedural, personalia, institusi penegak hukum, hingga cara masyarakat dalam memahami dan menerapkan norma hukum semuanya bermasalah. Kerap kali, hukum dikesampingkan karena berbenturan dengan kepentingan diri dan kelompok.
Berbagai upaya perbaikan yang selama ini diperjuangkan oleh banyak pihak yang prihatin dengan kondisi hukum juga tidak tampak membawa hasil perubahan yang signifikan dan memuaskan. Apa sebab? Setiap dorongan perubahan terhadap sistem hukum hanya dilakukan secara parsial, setengah-setengah.
Kegagalan menjadi negara hukum yang bermartabat adalah problem utama. Kita lantas mengamini bahwa hukum sulit untuk mencapai tujuan hukum sesuai khittah-nya, yakni keadilan. Seakan-akan, keadilan itu sendiri telah jadi terlalu semu untuk diwujudkan.
Masyarakat seolah-olah berada dalam keadaan sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah dihadapkan pada sistem hukumnya bobrok, masih harus was-was dihantui kebohongan, intimidasi, dan ancaman akan dikebiri hak-haknya oleh penguasa dengan mengatasnamakan kepentingan hukum.
Baca juga:
Kenaifan dalam berhukum menjadikan kita—masyarakat—hanya perasan kekuasaan semata. Kita gampang diiming-imingi dengan penawaran program pemerintah yang dirasa menguntungkan. Akan tetapi, lagi-lagi, itu adalah cara semu dalam mempermainkan hukum.
Untuk melawan kekuasaan dan hukum yang kerap dimainkan secara serampangan, masyarakat harus terbiasa melakukan perlawanan. Masyarakat tidak boleh diam menjadi objek permainan hukum, melainkan harus terus melawan untuk menjadikan hukum tetap di jalur yang berpihak kepada masyarakat.
Sudah cukup hak-hak masyarakat diinjak-injak. Selama kita memiliki hasrat untuk memperjuangkan hukum yang berkeadilan, selama itu pula kita harus terbiasa melakukan perlawanan supaya tidak tenggelam di tengah lautan kekuasaan yang telah tercemar.
Editor: Emma Amelia
One Reply to “Menggali Akar Bobroknya Hukum di Indonesia”