Mahasiswa Fakultas Hukum UII

Petaka Pragmatisme Hukum

Rifki alfian Wicaksono

2 min read

Praktis; terdengar mudah dan seolah tak ada dampak yang mengiringinya. Praktis kerap dimaknai sebagai kondisi ketika kebutuhan diri sendiri terpenuhi, tetapi abai terhadap nasib orang lain yang dihukum karena ketidaktahuan dan berusaha mencari perlindungan. Sepintas, praktis secara manfaat terasa benar, tetapi apakah yang praktis akan tetap baik apabila diterapkan secara terus-menerus tanpa melihat latar dan keadaan?

Baca juga: Legislasi di Negeri Jenaka

Praktis adalah buah dari pragmatisme berpikir. Pragmatisme merupakan cabang filsafat yang berfokus pada pencarian kebenaran yang berdaya guna bagi kehidupan secara nyata sehingga terkesan menolak mentah-mentah hal-hal di luar itu. Menurut dua filsuf pragmatis terkenal, Charles Sander Pierce dan William James, pragmatisme hanya menganggap benar suatu teori bila teori tersebut mampu menghasilkan luaran yang berguna bagi teori itu sendiri maupun kehidupan manusia.

Cara berpikir pragmatis berusaha mencari kebenaran yang relatif. Cara berpikir ini mengesankan bahwa segala obyek dalam kehidupan akan mudah dicapai dengan melihat bagaimana perolehan dan peruntukan manfaat dari obyek tersebut. Pada konteks tertentu, pemikiran pragmatis akan cenderung subyektif dan sempit. Penerapan pragmatisme pun kerap terkesan tricky atau janggal karena mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan yang lebih holistik.

Baca juga: Arogansi Negara pada Rakyatnya

Penerapan cara berpikir pragmatis terlihat jelas di bidang hukum. Penerapan hukum secara legal-formalistik berbuah anggapan bahwa hukum yang adil telah tercapai dengan diterapkannya undang-undang. Permasalahan keadilan seolah selesai ketika sebuah undang-undang telah disahkan dan mulai diberlakukan.

Ironisnya, pragmatisme hukum yang kebablasan membuat hukum seakan tidak berkeadilan dan hanya berkutat pada kemanfaatan saja. Bahkan, kemanfaatan tersebut sesungguhnya tidak menjangkau masyarakat luas. Kesannya, tujuan hukum hanyalah kepastian, tanpa mencerminkan keadilan dan kemanfaatan hukum secara luas. Padahal, menurut Gustav Radbruch, tujuan hukum ada tiga, yaitu keadilan hukum, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum. Ketiga tujuan tersebut harus dijalankan secara proporsional. Namun, jika ketiganya sulit untuk dicapai, maka penegakan keadilan hukumlah yang harus diprioritaskan, bukan kepastian.

Pragmatisme hukum telah menimbulkan kemunduran bagi para penegaknya yang memilih jalan praktis dalam menegakkan hukum. Secara cupet, undang-undang dianggap sebagai satu-satunya simbol hukum yang selalu mencerminkan keadilan. Negara melalui para penegak hukum begitu mudah menerapkan undang-undang tanpa mempertimbangkan kebutuhan, kepentingan, dan rasa keadilan masyarakat umum. Alhasil, ada banyak kasus hukum yang menggelikan, tidak masuk akal, bahkan zalim.

Kasus Nenek Minah

Pada tahun 2009, Nenek Minah menemukan tiga buah kakao milik PT RSA ketika sedang memanen kedelai di tanah garapannya. Ia kemudian mengambil buah kakao tersebut untuk dibibitkan. Setelah beberapa waktu, perbuatannya diketahui oleh mandor perkebunan PT RSA. Merasa bersalah, Nenek Minah akhirnya mengembalikan buah kakao dan meminta maaf kepada mandor tersebut.

Namun, masalah belum selesai sampai di situ. Seminggu kemudian, Nenek Minah mendapat surat panggilan dari polisi setempat. Ia dimejahijaukan dan diadili dengan vonis 1 bulan 15 hari kurungan dengan masa percobaan 3 bulan hanya karena “mencuri” tiga buah kakao untuk ditanam sendiri.

Kasus Baiq Nuril

Seorang guru bernama Baiq Nuril dilecehkan secara verbal oleh kepala sekolah tempatnya bekerja ketika mereka berbincang via telepon. Baiq Nuril berinisiatif merekam percakapan telepon tersebut untuk dijadikan bukti bahwa kepala sekolahnya telah melakukan pelecehan seksual.

Baiq Nuril menceritakan peristiwa itu kepada rekannya dengan menyertakan rekaman percakapan telepon sebagai bukti. Ia berharap rekannya dapat membantu. Rekaman tersebut justru tersebar hingga ke tangan kepala sekolah yang melakukan pelecehan. Pelaku pelecehan lantas melaporkan Baiq Nuril ke polisi karena merekam dan menyebarkan percakapan telepon mereka. Baiq Nuril yang menjadi korban pelecehan justru dinyatakan bersalah. Ia divonis enam bulan penjara dan denda lima ratus juta rupiah subsider kurungan tiga bulan.

Baca juga:

Praktik hukum pada kasus Nenek Minah dan Baiq Nuril menunjukkan absennya rasa keadilan para aparat penegak hukum. Dua kasus ini sekaligus membuktikan betapa fatal penerapan undang-undang tanpa ada pertimbangan lainnya. Sekalipun dirumuskan dengan berdasarkan nilai, asas, prinsip, dan teori hukum, penggunaan undang-undang secara saklek dan cupet justru berujung tidak adil, bahkan mencemooh hukum itu sendiri.

Pragmatisme hukum menjadikan keadilan bukan prioritas. Pada praktik hukum yang pragmatis, undang-undang sebagai sumber hukum justru dipisahkan dari elemen-elemen pembentuknya di dalam masyarakat. Alhasil, penegakan hukum seolah buta terhadap nilai yang hidup di masyarakat dan tidak berhati nurani. Hal ini sungguh ironis; di negara yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, aparat penegak hukumnya hanya menegakkan keadilan yang berdasarkan undang-undang saja, tetapi tidak menegakkan keadilan berdasarkan tuntunan Tuhan.

 

Editor: Emma Amelia

Rifki alfian Wicaksono
Rifki alfian Wicaksono Mahasiswa Fakultas Hukum UII

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email