Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 bukan cuma gejala otoritarian. Namun, itulah wujud otoritarian sesungguhnya; mengangkangi konstitusi, menelanjangi demokrasi, sekaligus mengacak-acak sistem hukum secara bersamaan.
Mahkamah Konstitusi sudah mengeluarkan pernyataan tegas dalam putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 bahwa UU Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat. MK juga memerintahkan pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dengan batas maksimal 2 tahun sejak putusan itu dikeluarkan pada 25 November 2021. Dalam putusan tersebut, MK bahkan telah terang-terangan melarang pemerintah untuk membuat peraturan turunan atau peraturan pelaksana yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja selama proses perbaikan.
Alih-alih mematuhi putusan MK, pemerintah malah menerbitkan Perpu Cipta Kerja. Melihat adanya indikasi penyalahgunaan kekuasaan yang menyertai penerbitannya, bukan tidak mungkin perpu ini disusun dan dibuat untuk memuluskan kepentingan kelompok tertentu. Sampai-sampai, MK yang berwenang memastikan konstitusi Indonesia tetap terjaga dan berjalan di atas relnya ditelanjangi oleh pemerintah sendiri.
Secara normatif, presiden memang berhak membentuk perpu. Hal itu dapat dirujuk dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang menerangkan bahwa, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Namun, pasal ini tidak lantas boleh dimaknai bahwa perpu bisa diterbitkan sesuka hati karena presiden berhak mengeluarkan perpu.
Jika dicermati lagi, pasal itu menyiratkan keharusan untuk tidak menihilkan norma yang melekat dalam UU, serta asas dan prinsip negara hukum dalam pembuatan dan penerbitan perpu. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa tidak ada justifikasi sepihak yang membuat pemerintah terjerumus dalam kekuasaan yang tidak terbatas (unlimited powers) atau, dalam istilah Clinton Rossiter, constitutional dictatorship.
Baca juga:
Pertanyaan yang patut diajukan selanjutnya yakni hal ihwal kegentingan macam apa yang memaksa pemerintah membuat Perpu Cipta kerja? Lalu, apa konsekuensi Perpu Cipta kerja bagi napas demokrasi dan konstitusionalisme di Indonesia? Akibat hukum apa yang bakal terjadi ketika perpu ini sah diberlakukan setelah mendapat persetujuan DPR? Terakhir, masih adakah harapan atas hukum di Indonesia di tengah kekuasaan yang parokial dan restriktif terhadap warga negaranya sendiri?
Perpu vis-à-vis Konstitusionalisme
Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009 telah menafsirkan apa yang dimaksud dengan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 sebagai legitimasi hadirnya perpu. Ada tiga syarat mengeluarkan perpu bagi pemerintah: (1) ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang; (2) undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang, tetapi tidak memadai; dan (3) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang melalui prosedur biasa yang memakan waktu lama dan belum pasti gol.
Guru besar hukum tata negara seperti Bagir Manan dan Susi Harijanti telah lebih awal mewanti-wanti bahaya adanya perpu. Mereka menilai perpu ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, perpu diperlukan untuk memitigasi sifat kemendesakan jika sewaktu-waktu negara perlu merespons kejadian yang dasar hukumnya belum dibahasakan dalam peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, perpu dapat menjadi ancaman bagi negara hukum yang merawat konstitusionalisme karena terkesan memberi keleluasaan kepada presiden untuk mempraktikkan extraordinary power atas dasar “hal ihwal kegentingan” yang dibuat-buat agar terkesan “genting”.
Kekhawatiran dua guru besar HTN itu beralasan. Pertama, pengertian “hal ihwal kegentingan yang memaksa” masih sangat longgar. Terlepas dari Putusan MK tentang makna Pasal 22 ayat (1) UUD, penentuan dasar kegunaan dan penerapan oleh presiden bersifat subyektif. Artinya, presidenlah yang berhak menilai suatu hal terklasifikasi sebagai ”ihwal kegentingan yang memaksa” tanpa menggunakan tolok ukur dan pendekatan yang pasti. Jika presiden merasa perlu dan genting, maka dia bisa mengeluarkan perpu tanpa pertimbangan yang matang. Kondisi ini rawan konflik kepentingan yang merongrong konstitusionalisme negara hukum.
Kedua, perpu yang terbit dihadapkan dengan prinsip negara hukum dan konstitusionalisme. Pada kondisi itu, perpu diistilahkan sebagai constitution amputation terhadap substansi dan prosedur demokrasi dalam menetapkan undang-undang. Perpu tidak melewati proses substansi dan prosedur demokrasi sehingga harus diuji secara politik maupun hukum untuk memastikan proporsionalitas isinya.
Perpu Cipta Kerja Mengamputasi Konstitusi
Dalam RKUHP Sah! Apa yang Tersisa dari Perjuangan Sipil?, saya menyebut rezim ini sebagai rezim yang ngotot. Sepertinya, perlu ada tambahan kata sifat untuk mendeskripsikan sikap pemerintah saat ini, yakni rezim ambisius. Rezim yang ngotot junto ambisius.
Sifat ngotot tercermin pada penghalalan (atau pelegalan?) segala cara untuk mencapai keinginan mereka. Kemudian, sifat ambisius terlihat dalam sikap pemerintah yang kerap melewati batas wajar konstitusionalisme. Dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja ini, sifat ngotot dan ambisius pemerintah meledak-ledak hingga menampakkan wajah otoritarian yang sejati.
Pada bagian konsideran Perpu Cipta Kerja Nomor 2 Tahun 2022 sama sekali tak ditemukan alasan yang masuk akal untuk menerbitkan perpu ini. Syarat-syarat “ihwal kegentingan yang memaksa” tidak tercermin dalam dasar penerbitan perpu ini. Yang ada di situ justru tak lebih dari subyektivitas presiden semata.
Banyak yang meragukan subyektivitas presiden dalam penerbitan Perpu Cipta Kerja. Subyektivitas presiden bisa jadi berasal dari kompromi dengan kartel oligarki. Sebagai hal yang sangat abstrak dan sukar dicerna, subyektivitas presiden rentan membawa malapetaka bagi konstitusi itu sendiri.
Bagaimana mungkin sebuah undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK seturut dengan perintah untuk memperbaikinya di-bypass oleh pemerintah dengan mengeluarkan Perpu Cipta Kerja? Tidakkah aksi pemerintah itu terang-terangan melucuti, menelanjangi, dan mengkhianati konstitusi?
Baca juga:
Ada satu hikmah yang bisa dipetik dari kacaunya tindakan pemerintah saat ini. Kita jadi punya gambaran jelas mengenai bentuk dan cara kerja gimmick korup pemerintah untuk mengamputasi konstitusi.
Pertama, mereka menghimpun dukungan kartel oligarki dan membentuk undang-undang yang tidak berpihak kepada rakyat, tidak partisipatif. Jika proses pembentukan dan pengesahan UU itu terkendala, mereka membersihkannya melalui MK. Jika sesudahnya masih terkendala juga, maka tukang bersih-bersih di MK digeser kedudukannya. Kemudian, jika masih terkendala lagi, mereka akan menggunakan cara yang paling ampuh dan sepihak, yakni merilis perpu beserta narasi mengada-ada bahwa negara sedang menghadapi situasi genting.
Editor: Emma Amelia