Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Pancasila, Ilmu, dan Sikap Politik

Joko Priyono

3 min read

Tulisan Taufiqurrahman berjudul “Pancasila Bukan Paradigma Ilmu” (kompas.id, 6 Juni 2023) menarik untuk ditelisik lebih mendalam. Ia berhasil mengantarkan gagasan paradigma yang dikemukakan oleh Thomas Samuel Kuhn, fisikawan kelahiran Cincinnati, Ohio, Amerika Serikat. Kuhn, selain sebagai ahli fisika juga menekuni filsafat ilmu dan sejarah. Agaknya, itulah yang membuat perjalanan intelektualnya melahirkan buku The Structure of Scientific Revolutions (1962).

Di Indonesia, buku tersebut pernah diterjemahkan Tjun Surjaman dengan judul Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, diterbitkan pertama kali oleh Rosda Karya pada tahun 1989. Di buku tersebut, Khun tidak secara rinci memberikan penjelasan dan pengertian akan paradigma. Ada 21 terminologi yang ia sajikan.

Taufiq menyertakan salah satu pengertian di tulisannya, yang berupa: ”beberapa contoh praktik ilmiah aktual yang diterima—yang contoh-contohnya mencakup hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi—yang memberikan model bagi tradisi riset ilmiah tertentu yang koheren.” Pernyataan tersebut kemudian ia jadikan analisis dalam menjelaskan Pancasila, ilmu, dan paradigma.

 Baca juga:

Gagasan Taufiq yang bagi saya penting adalah pada bagian menuju akhir tulisan: “Pancasila sebagai ideologi negara berisi sejumlah gagasan normatif dan cita-cita negara Indonesia. Kita bisa menerjemahkan gagasan dan cita-cita itu ke dalam praktik saintifik.” Dalam dua kalimat itu, ia menekankan keberadaan Pancasila sebagai ideologi. Namun, ada satu hal yang mestinya menjadi pertanyaan bersama—kemungkinan demi kemungkinan dalam kaidah ideologi itu sendiri.

Saya ingat sebuah buku penting anggitan fisikawan dan pendekar bahasa, Liek Wilardjo yang berjudul Realita dan Desiderata (1990). Buku itu memuat kumpulan tulisan Liek di sekian seminar, beberapa media cetak, hingga konferensi. Ada sebuah tulisan berjudul “Hubungan Antara Ilmu dan Ideologi” yang dijadikan makalah dalam momentum “Kegiatan Pembinaan Ketrampilan Filsafat” pada 24 Juni – 7 Juli 1988.

Antara Ilmu dan Ideologi

Di tulisan tersebut, dengan fasih, Liek Wilardjo memberi tafsir akan persamaan dan perbedaan antara ilmu dan ideologi. Bagi Liek, baik ilmu maupun ideologi memiliki kesamaan berupa tujuan yang ia tuliskan: “…berupa nilai-nilai yang ingin diwujudkannya dalam tatanan masyarakat.” Sementara itu, perbedaannya terletak pada cara pengembangannya. Ilmu itu dilalui dari proses pemecahan teka-teki dalam paradigma yang sedang berlaku.

Dengan kata lain, ilmu bergerak dalam akumulasi metodologi ilmiah yang mengisahan kebenaran bersifat sementara. Ini tentu saja senada dengan gagasan falsifikasi yang dikemukakan oleh Karl Popper. Jika ada pembuktian dengan data dan fakta yang mengoreksi sebuah teori dalam ilmu, teori itu perlu ditinjau ulang. Pemilik teori tak perlu susah payah melaporkan ke pengadilan. Sebab, itu terlalu lucu.

Sementara itu, yang terjadi di dalam ideologi berlaku pengakuan kebenaran yang bersifat mutlak. Liek menulis: “Keterbukaan ilmu terhadap kritik refutatif jelas bertentangan dengan ketabuan kritik terhadap ideologi selama ideologi itu dirangkul oleh penguasa.” Jelaslah, di sana ada sebuah fakta yang perlu digarisbawahi dalam konteks keberadaan Pancasila sebagai ideologi. Tiada lain adalah sulitnya pengedepanan sikap keterbukaan.

Sikap Politik

Pada peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional, Mohammad Hatta berkesempatan menyampaikan pidatonya. Pidato tersebut kemudian dimaktub dalam buku Pengertian Pancasila (Yayasan Idayu, 1981). Di kesempatan itu ada peristiwa menarik. Hatta tak sampai selesai membacakan pidatonya karena kelelahan, sebelum kemudian dilanjutkan oleh salah satu putrinya, Hallida Hatta yang sejak awal duduk berada di sampingnya.

Salah satu pernyataan yang disampaikan Hatta berupa, “Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja. Tidak banyak manusia Indonesia yang menanam Pancasila itu sebagai keyakinan yang berakar dalam hatinya.” Pernyataan tersebut bisa jadi adalah kemungkinan buruk yang harus diterima dalam konsensus ideologi. Keberadaannya berpeluang membentuk kesadaran yang terbatas pada sloganistik.

Dalam permenungan, saya malah ingin mengajukan keberadaan Pancasila dalam praktiknya sebagai sebuah sikap politik. Ini bisa menjembatani konsensus yang memberi keterhubungan terhadap sikap menjadi warga negara dan ilmu itu sendiri, bahwa Pancasila dengan segenap nilai, ajaran, dan prinsip itu menggema sebagai komitmen dalam menjalankan sikap dalam perubahan dan perkembangan zaman.

Pada tanggal 19 September 1951, Soekarno menyampaikan pidato berjudul “Ilmu dan Amal” dalam penganugerahan gelar Honoris Causa bidang Ilmu Hukum dari Universitas Gajah Mada. Di momentum itu, Soekarno mengajak para hadirin merenung dengan sebuah tanya akan bagaimana dengan keberadaan Pancasila namun masih ditemui perpecahan, rakyat tak berdaulat, hingga keberadaan kemiskinan dan kemelaratan.

Soekarno kemudian melanjutkan dengan pernyataan, “Tidak, salahnya ialah bahwa kita, juga dalam hal Pancasila ini, melupakan elemen perjuangan. Juga dalam hal Pancasila ini orang harus berpikir dalam istilah geestwilldaad! Bangsa Indonesia harus berjuang terus, berjuang dalam arti luas, berjuang dalam arti membangun (materiil dan moril) agar toon hidupnya yang bernama Pancasila itu benar-benar menjelma wadhag di atas segala lapangan hidupnya.”

Baca juga:

Imajinasi Soekarno terhadap Pancasila bukan sebagai sesuatu yang selesai ataupun final. Namun, melainkan dari itu, sebagai sebuah proses yang terus berjalan. Dengan begitu, di sinilah letak penting bahwa Pancasila selalu memerlukan penafsiran agar tidak stagnan. Tak terkecuali pula dalam konteks perkembangan ilmu dan pengetahuan. Dari sana kita bisa membuat keterhubungan antara ilmu dengan Pancasila.

Soekarno dan Hatta selalu menekankan keberadaan ilmu bukanlah sesuatu yang netral dan jauh dari politik. Dalam cakupan filsafat ilmu, tentu sebagai bagian dari aksiologi atau kegunannya, yang dalam tulisan Taufiq: “…sebagai pemberi orientasi dan panduan etis, bagi pengembangan ilmu.” Pancasila menjadi pembimbing atas apa yang dinamakan dengan keberpihakan ilmu, yang semestinya meletakkan pada konsensus kepentingan banyak orang, meningkatan martabat manusia, dan berpihak pada kaum tertindas.

Sayangnya, dalam skema pendidikan—utamanya yang saya amati di bidang sains kealaman—terlalu dijauhkan dalam pewacanaan politik. Seolah-olah keberjalanannya sebagai sesuatu hal yang netral. Padahal, yang demikian terkadang menjauhkan lokus keilmuan dengan realitas sosial. Ini yang saya takutkan dari praktik keberadaan Profil Pelajar Pancasila di Kurikulum Merdeka.

Alih-alih yang diinginkan untuk mengajak pelajar mencari pemaknaan keberadaan Pancasila, yang terjadi justru praktik sebagai apa yang disebut filsuf Prancis, Louis Althousser sebagai aparatus ideologi. Dalam situasi yang terjadi, kita tahu, kenyataannya dengan lambat laun itu membawa kesengajaan pada pembentukan Republik Slogan. Sesuatu hal yang sama sekali tidak diinginkan dan mencederai marwah imajinasi bernegara.

 

Editor: Prihandini N

Joko Priyono
Joko Priyono Fisikawan Partikelir. Bergiat di Lingkar Diskusi Eksakta. Penulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022) dan Bersandar pada Sains (2022).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email