Membaca artikel Raymizard Alifian yang berjudul Chen Kuan Hsing dan Keterasingan Asia tentang westernisasi keilmuan tentang Asia dan negara-negara lain di sekitarnya membuat saya teringat dengan semangat dekolonisasi di berbagai bidang keilmuan selain Sosiologi, Antropologi, dan Politik. Di ranah keilmuan filsafat, muncul kajian tentang Filsafat Nusantara yang sangat getol mendalami filsafat yang berakar dari rumpun-rumpun kebudayaan yang ada di Indonesia. Begitu juga di ranah keilmuan Psikologi, muncul Psikologi Indigenous yang berusaha lepas dari ketergantungan menggunakan alat ukur psikologi Barat dalam mengukur aspek-aspek psikologi manusia di Asia.
Sebagai akademisi asli dari Indonesia yang menuntut ilmu dan melakukan riset-riset di Indonesia, pastilah saya menyambut baik semangat epistemik ini. Sebuah gelombang paradigma pengetahuan yang muncul dari negara-negara Timur (Asia dan sekitarnya) ini akan memperkaya khasanah keilmuan dengan munculnya perspektif Asia dari orang Asia sendiri, bukan dari kacamata Barat. Atau, dengan semangat yang lebih optimis lagi, dengan meneliti “diri sendiri” diharapkan akan mendapatkan hasil penelitian yang lebih jelas, lebih apa adanya, dan, yang terpenting, tanpa ada tendensi politik untuk menguasai atau neokolonialisme epistemik.
Baca juga:
Kemunculan Psikologi Indigenous juga memberikan angin segar dari hegemoni paradigma psikologi Barat yang sering kali bias dalam memahami perilaku masyarakat Asia. Hal itu wajar karena teori-teori psikologi Barat dibangun dari riset-riset perilaku dan budaya masyarakat Barat yang tentunya mempunyai banyak sekali perbedaan dengan kebudayaan dan perilaku masyarakat Asia. Oleh sebab itu, Psikologi Indigenous muncul dengan membangun alat ukur psikologi yang lebih ramah dengan masyarakat atau partisipan di suatu daerah yang menjadi tempat penelitian itu dilakukan.
Dalam ranah psikologi perkembangan, misalnya, kita masih belum mempunyai milestone atau grafik alat ukur perkembangan anak secara mandiri. Grafik milestone yang ada di kartu menuju sehat (KMS) atau kartu kembang anak (KKA) masih diimpor dari barat. Untuk menyusun standar perkembangan itu, ternyata membutuhkan banyak sekali penelitian untuk meneliti aspek-aspek fisik, psikologis, motorik, bahasa, dan kognitif pada tiap bulan usia anak.
Tentunya, ini membutuhkan banyak tenaga ahli yang kompeten dan berdedikasi karena perlu penelitian dalam kurun waktu relatif lama dan berpindah dari satu daerah ke daerah lain. Biaya riset yang dibutuhkan juga tidak sedikit sehingga membutuhkan komitmen yang tinggi dari pemerintah dan filantropis mana pun demi berkembangnya tradisi riset di Indonesia.
Sokongan Dana Riset
Kalau kita melihat karya-karya akademisi Barat tentang Indonesia yang sangat fenomenal dan komprehensif, selain kualitas dan ketekunan penelitinya, mereka tak lepas dari sokongan dana dari pemerintah negara masing-masing. Clifford Geertz mendapatkan biaya dari Universitas Harvard untuk meneliti di Jawa dan menghasilkan karya monumental The Religion of Java. Selanjutnya, Thomas Stamford Raffles menyusun buku komprehensif, History of Java, ketika ia memegang tampuk pemerintahan Inggris di Pulau Jawa. Begitu juga Christian Snouck Hurgronje saat menjadi Penasihat Urusan Pribumi di Hindia Belanda, ia menghasilkan karya fenomenal De Atjeher.
Dana yang melimpah di bidang penelitian sangat memungkinkan peneliti Barat melakukan penelitian di tempat-tempat terjauh dengan jangka waktu yang panjang. Dengan terbebas dari masalah finansial, peneliti menjadi lebih berkonsentrasi dalam meneliti. Data penelitian yang didapatkannya pun juga semakin banyak dan komprehensif.
Sementara di Indonesia, dana masih menjadi halangan peneliti kita dalam melakukan riset hingga kini. Dana yang diterima peneliti sering kali terbatas sehingga peneliti tidak bisa menjalankan penelitian dengan waktu yang lama karena memperhitungkan kebutuhan logistik untuk meneliti. Jarak penelitian pun juga terbatas, menyesuaikan dengan dana yang diterimanya.
Lalu kita berpikir, dari mana saja sumber dana pemerintah kolonial kalau tidak dari mengeksploitasi sumber daya alam dan manusia di negara-negara jajahannya? Memang tidak bisa dimungkiri, hasil dari sistem monopoli perdagangan rempah, kopi, dan juga tanam paksa berhasil menambah kas negara-negara penjajah.
Di era kemerdekaan, eksploitasi itu sudah usai. Namun, bukan berarti aliran dana negara-negara terjajah berhenti. Strategi negara Barat untuk tetap mendapatkan untung adalah dengan melakukan glorifikasi budaya. Salah satu aspek budaya yang berhasil ditanamkan pada negara-negara bekas jajahan adalah bahasa.
Ekonomi Bahasa
Kemampuan bahasa Inggris adalah hal yang sangat bermanfaat bagi masyarakat modern—dan tidak ada yang salah dengan itu. Namun, kita patut kritis dengan posisi bahasa yang digunakan baik di lingkup akademik maupun di masyarakat umum.
Sering kali, kita menganggap bahasa Inggris adalah bahasa yang paling banyak digunakan oleh seluruh orang di dunia sehingga sangat penting untuk dipelajari. Pertanyaannya, mengapa harus bahasa Inggris? Jika alasannya adalah banyaknya penutur bahasa di dunia, maka pengguna bahasa Inggris dan Mandarin jumlahnya tidak terlalu beda jauh. Bahasa Inggris mempunyai 1,13 miliar penutur, sedangkan Mandarin mempunyai 1,17 miliar penutur. Bahkan, pada tahun 2019 kemarin, bahasa Mandarin menempati urutan pertama sebagai bahasa dengan penutur terbanyak di dunia mengalahkan jumlah penutur bahasa Inggris.
Alasan lainnya adalah bahasa Inggris sebagai bahasa internasional yang menghubungkan manusia di seluruh dunia sehingga bahasa Inggris harus dipelajari secara formal di sekolah. Jika kita menggunakan bahasa resmi PBB sebagai standar, di samping bahasa Inggris masih ada bahasa Prancis, Spanyol, Rusia, Mandarin, dan Arab yang digunakan sebagai bahasa penghubung. PBB pun tidak menganggap bahasa satu lebih unggul daripada bahasa lainnya. Kelima bahasa itu secara sah digunakan dalam rapat-rapat PBB. Lalu, mengapa di sekolah kita tidak bisa secara demokratis memilih belajar bahasa Prancis atau Rusia? Atau, jika ingin lebih bernuansa Asia, kenapa kita tidak bisa memilih belajar bahasa Arab atau Mandarin?
Selanjutnya, bahasa Inggris juga dianggap bahasa Ilmiah. Entah sejak kapan istilah ini digunakan dan apa dasar dari penilaian bahwa bahasa Inggris lebih ilmiah daripada bahasa lainnya. Dengan pengakuan seperti itu, bahkan di kalangan akademisi indigenous dan pegiat dekolonialisasi sekalipun, bahasa Inggris seolah mempunyai nilai kesakralan tersendiri di rimba akademik. Bahasa Inggris berhasil menancapkan monopoli bahasa di ranah ilmiah.
Implikasi dari monopoli bahasa itu tentunya akan menambah pundi-pundi kekayaan negara Inggris atau Amerika Serikat sebagai pemegang standar kebahasaan Inggris yang absah. Kampus-kampus besar di Indonesia sangat umum memberikan standar nilai TOEFL tertentu sebagai syarat wajib bagi mahasiswa yang akan mengambil studi lanjutan. Syarat itu akan membuat calon mahasiswa yang merasa kemampuan bahasa Inggrisnya kurang mesti berusaha mengejar ketertinggalannya dengan mengikuti les bahasa Inggris.
Kondisi itulah yang membuat lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris menjamur. Tentunya, kursus seperti ini tidaklah murah. Namun, karena desakan kebutuhan dan tuntutan akademik, kursus-kursus itu tetap ramai pesertanya. Belum lagi, tes TOEFL yang berbiaya tidak murah, banyak pula peminatnya karena itu adalah syarat administrasi mutlak untuk mendaftar kuliah. Dari dua faktor itu (lembaga kursus dan lembaga tes TOEFL) memberi kucuran dana kepada dua negara pemilik bahasa tersebut.
Dampak budaya lainnya yang berkaitan dengan ekonomi adalah semakin mudahnya negara Barat menjual produk-produk seni budaya mereka seperti film, musik, novel, dan seni pertunjukan lainnya. Kalau kita diberi kuis untuk menyebutkan sepuluh penyanyi berbahasa Inggris, saya kira tak akan kesulitan untuk menjawabnya dengan cepat. Akan tetapi, beda ceritanya kalau kita disuruh menyebutkan tiga penyanyi Rusia, tak banyak dari kita yang bisa menjawabnya. Dengan begitu, sudah jelas konsumsi budaya kita mengarah ke mana—sebuah perputaran roda ekonomi yang sangat menguntungkan bagi Barat. Kita akan lebih tertarik terhadap produk dengan bahasa yang paling kita kenal dan akrabi.
Tulisan lain oleh Kukuh Basuki:
Dekonstruksi Bahasa
Kembali ke masalah dekolonisasi dan psikologi indigenous, saya kira dekonstruksi strata bahasa ini lebih penting ketimbang menyingkirkan hasil-hasil penelitian kaum orientalis. Kita harus berani memberontak dalam hal bahasa. Kita tidak perlu terikat dengan doktrin bahasa Inggris sebagai satu-satunya bahasa internasional, bahasa ilmiah, atau bahasa yang diistimewakan.
Kita harus peka terhadap strata sosial peninggalan kolonial yang dibentuk dari penggunaan bahasa. Masyarakat yang bisa bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya dianggap mempunyai strata sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat yang hanya bisa bahasa Indonesia—bahkan, masyarakat yang hanya bisa bahasa daerah akan dianggap sebagai masyarakat kelas rendah. Saya kira, semangat dekonstruksi strata bahasa ini sebagai langkah dekolonialisasi yang sangat strategis sehingga sangat urgen dan mendesak untuk dilakukan.
Bukankah jika yang kita teliti adalah masyarakat di daerah-daerah di Indonesia akan lebih penting mengalihbahasakan laporan penelitian kita ke bahasa daerah daripada ke bahasa Inggris? Bukankah masyarakat daerah atau masyarakat adat (yang banyak di antaranya tidak bisa berbahasa Indonesia) juga layak dan berhak menikmati hasil penelitian ilmiah kita? Hal inilah yang malah sering terlewatkan dari peneliti-peneliti kita, baik itu dari bidang psikologi indigenous, pegiat dekolonisasi, ataupun filsafat nusantara yang masih terfokus dalam penyingkiran buku-buku Barat, tapi masih menyimpan rasa bangga saat menyelipkan istilah-istilah asing berbahasa Inggris dalam pembicaraannya karena terlihat cerdas dan menarik.
Editor: Emma Amelia