Melihat kejujuran dari mata anak-anak. Mari berteman bersamaku di instagram @fatwaamalia_r

Filsafat untuk Anak

Fatwa Amalia

4 min read

“Ustadzah,  Allah kan tahu kalau manusia akan berbuat dosa, tapi kenapa Allah masih menciptakan manusia?”

“Us, kenapa warna biru untuk laki-laki dan pink untuk perempuan?”

“Us, mengapa mencuri itu dilarang?”

“Us, Indonesia itu mayoritas muslim tapi kenapa tidak bisa seperti Jepang yang bebas sampah? Padahal dalam Islam kita wajib menjaga lingkungan kan?”

Kutipan di atas saya tulis berdasarkan pertanyaan anak-anak. Mereka adalah filsuf kecil yang selalu mempertanyakan banyak hal, bahkan yang jelas bagi orang dewasa. Anak-anak memiliki semacam intuisi filosofis yang muncul secara alami. Itu sebabnya berfilsafat penting bagi anak-anak. Beberapa penelitian yang dikutip oleh Maughn Gregory menunjukkan bahwa pemahaman dan pemikiran tentang filsafat sejak dini meningkatkan kemampuan berbahasa (linguistik), kemampuan menghadapi kegagalan dan emosi (psikologis), kemampuan berhubungan dengan orang lain (sosial), juga mampu berpikir terbuka (ilmiah) sehingga lebih tangguh dalam mengelola informasi. Dengan keempat keterampilan tersebut, anak dapat mengungkapkan perasaan dan pikirannya kepada orang lain dengan lancar.

Program Filsafat untuk Anak

Di Jerman, program “Filsafat untuk Anak” sudah ada sejak tahun 1960-an. Setelah dipelajari, ada beberapa cara untuk melakukan program ini: fasilitator merumuskan pertanyaan yang akan ditanyakan bersama anak, kemudian mengajak anak untuk menjawab pertanyaan tersebut. Mereka bersama-sama melihat beberapa kemungkinan jawaban secara terbuka dan mencoba memperdalam pertanyaan yang memiliki jawaban.

Baca juga:

Dalam program ini, anak-anak dipantik dengan semangat kesetaraan dan keterbukaan. Guru bukan subjek yang mendominasi. Hubungan antara guru dan siswa di dalam kelas harus seimbang. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih rendah. Keduanya adalah kawan berpikir dalam menemukan jawaban atas pertanyaan yang ada.

Selain kesetaraan antara guru dan siswa, diperlukan juga transparansi. Setiap pertanyaan itu valid. Setiap jawaban dilihat sebagai peluang. Tidak ada kebenaran yang mutlak. Semuanya adalah proses yang mengarah pada hasil yang nantinya bisa dipertanyakan. Pikiran bisa muncul dalam dialog dengan orang lain. Model ini tidak hanya memengaruhi bagian intelektual anak, tetapi juga sikapnya terhadap kehidupan, yang juga mengedepankan kesetaraan dan keterbukaan.

Lantas, peran seperti apa yang bisa kita mainkan sebagai orang dewasa dalam proses berpikir ini? Kita bisa menjadi fasilitator untuk setiap pertanyaan dan diskusi. Menjadi cangkir kosong untuk menerima banyak hal dari luar dirinya, dan menerima diri bahwa kita tidak tahu segalanya. Melihat diri sendiri sebagai seseorang yang membersamai anak-anak menemukan perspektif baru tentang pertanyaan lama. Kita juga bisa menjadi “model” dengan memberikan contoh dalam mengajukan pertanyaan yang baik, menunjukkan cara memberi jawaban terbuka yang memicu pertanyaan berikutnya, mengajarkan bagaimana merumuskan cara pandang baru terhadap masalah lama, memberikan kritik dan saran tanpa merendahkan atau menghina.

Ketika anak merasa bahwa pertanyaannya penting dan dianggap serius, budaya berpikir dan keinginan untuk bertanya lebih banyak dapat dikembangkan. Filsafat penting untuk membuat anak berpikir dan tidak langsung menerima dogma hitam putih, atau langsung bereaksi dengan asumsi yang tergesa-gesa. Pemikiran filosofis melatih anak untuk berpikir secara cermat, cermat dan kritis. Program Filsafat untuk anak juga dapat menciptakan pemahaman antarbudaya, agama, dan kelas sosial. Dalam proses diskusi, pemahaman keagamaan juga dilengkapi dengan akal sehat dan empati terhadap kelompok lain. Program ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mengatasi fundamentalisme dan fanatisme yang merupakan akar dari segala bentuk terorisme.

Proses diskusi filosofis dapat mempertajam rasa ingin tahu dan meningkatkan kemampuan menggali pemahaman melalui musyawarah terbuka. Hasilnya adalah keterbukaan dan kepercayaan diri di dunia yang semakin kompleks. Dengan kedua keterampilan tersebut, anak didorong untuk belajar berpikir dan mengambil keputusan sendiri berdasarkan peristiwa-peristiwa dalam kehidupannya. Dia tidak diperbudak oleh pemikiran dogmatis atau relativisme.

Filsafat sebagai Prinsip Mendidik Anak

Filsafat tidak hanya dapat menjadi bahan untuk mendidik anak, tetapi juga dapat menjadi prinsip dasar baru dalam mendidik anak. Anak-anak diharapkan dapat mengembangkan pemikiran kritis dan kesadaran diri reflektif sejak usia dini. Dia juga terbuka untuk dunia dan membuat keputusan penting dalam hidupnya dengan cara yang paling masuk akal. Semua keterampilan tersebut sangat penting bagi untuk hidup dan berkembang dalam masyarakat yang majemuk dan demokratis.

Dalam masyarakat multikultural seperti Indonesia, pandangan hidup yang berbeda berkembang. Semuanya terhubung. Pikiran terbuka adalah salah satu nilai terpenting dalam hidup. Situasi ini membuat hidup semakin rumit. Orang tidak bisa lagi hanya mengatakan bahwa pandangan hidup mereka lebih baik dan lebih benar daripada pandangan hidup orang lain. Dialog yang dilandasi keterbukaan adalah sesuatu yang harus terus dipertahankan.

Untuk melihat kemungkinan penerapan program filsafat bagi anak-anak di Indonesia, setidaknya kita harus terlebih dahulu memahami kondisi pendidikan di Indonesia saat ini. Sejauh yang saya lihat, dunia pendidikan di Indonesia saat ini dibebani oleh dua dogmatisme. Dogmatisme adalah pandangan yang mengambil suatu nilai tertentu sebagai nilai mutlak yang tidak dapat dipertanyakan lagi. Mereka yang tidak menganut nilai-nilai tersebut harus dihukum.

Bentuk dogmatisme yang pertama adalah dogmatisme nilai-nilai akademik. Kurikulum Merdeka hadir dengan dasar yang cukup baik, namun fakta di lapangan masih banyak pendidik yang meraba atau justru masih menjalankan cara lama dan memahami Kurikulum Merdeka dari luarnya saja, akibatnya pendidik dan orang tua masih menganggap nilai akademik adalah hal yang sangat penting melebihi kemampuan apa pun. Memang tidak mudah mengubah hal tersebut, tapi saya punya harapan besar.

Baca juga:

Kemudian, dogmatisme kedua adalah dogmatisme agama. Ajaran agama tertentu diperlakukan dalam berbagai mata pelajaran sebagai kebenaran mutlak yang tidak dapat dipertanyakan. Semua pertanyaan dan sikap kritis dianggap sebagai musuh agama, dan karenanya harus disingkirkan. Anak-anak dipaksa untuk menghafal semua yang ada di buku dan apa yang dikatakan guru dan kemudian harus memuntahkannya lagi dalam ujian. Pikiran kritis dan kreatif akhirnya tidak berkembang, tetapi mati dalam proses pendidikan. Dogmatisme nilai akademik dan dogmatisme agama ini begitu meluas dan mengakar di dunia pendidikan Indonesia.

Kedua bentuk dogmatisme ini menghasilkan orang-orang patuh yang tidak terbiasa berpikir mandiri dan kritis. Tak heran jika mereka mudah terpengaruh oleh budaya terorisme yang mengaburkan agama. Dogmatisme ini juga memperbanyak generasi konsumen pasif yang ingin membeli sesuatu tetapi tidak pernah berpikir untuk menciptakan sesuatu yang baru, hanya mengikuti apa yang ada di luar sana tanpa pernah mempertanyakan apa yang mereka dengar dan lihat.

Filsafat Melawan Dogma

Musuh dari budaya dogmatis dan konformis semacam itu adalah filsafat, dan filsafat yang tidak berpegang teguh pada pembenaran doktrin tertentu. Tujuan dari program “Filsafat untuk Anak” adalah mendekatkan filsafat kepada anak-anak sekolah dasar. Program ini dilaksanakan di beberapa negara Eropa, tetapi menurut saya program ini juga cocok digunakan di Indonesia, terutama untuk melawan segala dogmatisme dan konformitas yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Program “Filsafat untuk Anak” bertujuan untuk mendekatkan filsafat kepada anak-anak sekolah dasar. Program ini dilaksanakan di beberapa negara Eropa, tapi menurut saya program ini juga cocok digunakan di Indonesia, terutama untuk melawan segala dogmatisme dan konformitas yang kini sudah mengakar jauh dan dalam di kehidupan masyarakat Indonesia.

Filsafat, bila diterapkan dalam semangat revolusionernya, dapat mengajarkan kecakapan hidup yang sangat penting bagi manusia. Filsafat dapat menjadi alat untuk memecahkan berbagai masalah kehidupan pribadi dan sosial. Ini harus diajarkan kepada orang-orang sejak usia muda agar mereka terbiasa menyelesaikan berbagai masalah yang mereka hadapi dengan benar.

Filsafat juga merupakan alat untuk mengimplementasikan pendidikan nilai di Indonesia. Pendidikan nilai dalam filsafat adalah upaya mentransendensikan baik buruknya nilai-nilai agama atau tradisi. Melampaui berarti mempertanyakan dan mempertanyakan secara kritis nilai-nilai yang ada. Melalui pertanyaan dan pemikiran kritis, dogmatisme nilai dapat diatasi, baik berupa dogmatisme nilai akademik maupun dogmatisme agama.

Dalam masyarakat demokratis, setiap keputusan didasarkan pada dialog dan konsensus. Filsafat mengajarkan manusia untuk berpikir, berkomunikasi, berdebat, dan memahami. Program filsafat untuk anak-anak mengembangkan keterampilan ini sejak usia dini sehingga dapat menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Masyarakat juga harus mampu menganalisis informasi tersebut secara kritis dan rasional.

Banyak manusia kerap sulit membedakan informasi asli dari gosip atau fitnah. Filsafat dapat membantu manusia untuk melihat secara kritis segala informasi yang tersedia sehingga tidak menjadi korban gosip atau fitnah ketika mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Pendidikan filsafat untuk anak dapat mengembangkan pemikiran kritis sejak dini, sehingga tidak hanya ikut arus kerumunan yang menyebabkan misinformasi, dan Indonesia membutuhkannya  hari ini.

 

Editor: Prihandini N

Fatwa Amalia
Fatwa Amalia Melihat kejujuran dari mata anak-anak. Mari berteman bersamaku di instagram @fatwaamalia_r

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email