Gus Dur dan Pancasila: Refleksi Agama dan Nasionalisme

Cahyono Anantatoer

2 min read

Dalam kapasitasnya sebagai pemikir, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur memiliki begitu banyak gagasan dalam menyikapi persoalan bangsa. Ia terkenal sebagai sosok yang apa adanya. Ketika menanggapi persoalan, Gus Dur mudah saja menjawab pertanyaan-pertanyaan rumit dengan sederhana, tetapi penuh makna. Termasuk persoalan agama dan nasionalisme yang tak kunjung berhenti diperdebatkan.

Sosok Gus Dur telah melahirkan sejumlah karya berupa kumpulan tulisan di berbagai media maupun kertas kerja seminar yang pernah diikutinya. Sejak tahun 1970-an, Gus Dur telah aktif menulis, baik berupa makalah serius maupun kolom menyegarkan. Tulisannya muncul di media terkemuka seperti Prisma, Tempo, Editor, Kompas, dan lain-lain.

Gagasannya meliputi masalah agama, sosial, dan kebudayaan yang luas, termasuk juga idenya tentang pibumisasi Islam yang mengundang polemik berkepanjangan pada tahun 1980-an. Gus Dur, sebagai pemikir muslim terkemuka, telah banyak mengemukakan pentingnya pembaruan ajaran agama. Ajaran Islam, pertama-tama tidak diletakkan semata-mata sebagai ketentuan normatif, tetapi diposisikan dalam kerangka kesejarahannya sehingga dapat beradaptasi sesuai tuntutan zaman.

Agama dan Modernitas

Menurut Gus Dur, agenda tersebut paling tidak dilandasi dua hal. Pertama, cita-cita Islam bila dipahami secara tepat dapat membangun masyarakat adil dan sejahtera. Kedua, pada masa modern, potensi Islam akan terealisasi secara maksimal jika pemikiran keislaman diberi ruang untuk merespons secara kreatif tantangan-tantangan modernitas.

Dalam upaya dialog kreatif antara agama dan modernitas, Gus Dur menggunakan istilah dinamisme. Dalam hal ini, yang berperan bukan hanya kualitas energetik yang hidup, melainkan juga kemampuan merespons dan mengakomodasi persoalan-persoalan masyarakat.

Begitu juga dalam hal memaknai nasionalisme kebangsaan. Gus Dur meyakini nasionalisme Indonesia secara sederhana. Nasionalisme akan tertanam jika elemen yang ada di masyarakat mengakui bahwa Indonesia harus menjadi negara Pancasila, bukan negara agama. Meski begitu, keduanya harus tetap sejalan dan tidak boleh saling berpunggungan. Di satu sisi, ia ingin agar Pancasila didukung oleh ormas-ormas yang ada. Di sisi lain, Gus Dur merumuskan bagaimana penerimaan asas tunggal Pancasila tak melanggar perasaan agama.

Demokrasi dan Kebebasan Beragama

Demokrasi menempatkan rakyat sebagai kedaulatan tertinggi dalam politik. Berjalannya demokrasi didasari pemenuhan hak politik sesuai kehendak dan kemauan rakyat. Nurcholis Madjid memandang demokrasi sebagai way of life. Peter L. Berger (The Sacred Canopy) menyebut agama sebagai usaha yang berani untuk menjadikan kesemestaan ini sebagai sesuatu yang secara kemanusiaan berarti.

Baca juga:

Dalam memaknai nasionalisme dalam tataran pemenuhan hak asasi manusia, diperlukan dua dimensi yang kuat, yaitu dari sisi sosiologis maupun konstitusional. Teks Pancasila sebagai teks historis yang sakral, tidak serta merta dapat dijadikan barang yang dikultuskan.

Pancasila layaknya kitab suci bangsa, mengandung konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini berkaitan dengan bagaimana nasionalisme dan hak asasi manusia dimaknai dalam konteks Indonesia. Gus Dur melihat konstitusi memberikan jaminan kesetaraan bagi warga negara, tanpa mempertentangkan penghayatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.  Pancasila sebagai konstitusi tertinggi, penting untuk dijadikan dasar pendekatan ini.

Dalam berdemokrasi, Gus Dur terkesan hanya bisa berdemokrasi dalam wacana, bukan dalam perilaku politik. Gus Dur adalah demokrat wacana. Sejak tahun 1970- an, ia telah melontarkan gagasan-gagasan segar dalam segala hal: politik, ekonomi, hukum, budaya, sastra, olahraga, dan agama. Ide-idenya memperlihatkan sosok Gus Dur sebagai seorang demokrat yang egaliter dan inklusif. Hal itu tidak terlihat dari tulisan-tulisannya saja, tapi juga dari berbagai forum diskusi dan aktivitas sosial-politiknya, seperti pembentukan asosiasi-asosiasi volunter yang melibatkan banyak pihak dari berbagai agama dan golongan.

Melihat gagasan Gus Dur ini, kita akan dihadapkan pada persoalan yang kerap terjadi di lapangan, seperti persoalan kelompok minoritas di Indonesia, dan sejauh mana demokrasi dapat mengakomodasi kelompok minoritas, baik secara konstitusi dalam hal perlindungannya, maupun secara sosial dalam konteks kesadaran atas keberagaman.

Sosiologis dan Historis

Menurut pandangan Gus Dur, menjaga prinsip pluralisme tidak hanya dalam aspek norma-norma keagamaan, tetapi juga dari tinjauan sosiologis. Argumen ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa di Indonesia, toleransi dan kerukunan hidup beragama berjalan cukup baik. Islam yang masuk ke Indonesia bercorak sangat akomodatif terhadap budaya lokal, termasuk kepercayaan-kepercayaan sehingga mengakibatkan akulturasi budaya yang kompleks. Bagi Gus Dur, di antara tarikan integratif dan dorongan konflik, dapat dicari keseimbangan elastis yang mewakili kepentingan berbagai unsur dan sektor masyarakat. (L. Mandi Tandi Pare, 2020).

Dalam perspektif historis, menurut Gus Dur, kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara memberikan tempat bukan hanya kepada agama yang berbeda, tetapi juga kepada aliran kepercayaan. Hak hidup agama yang secara formal tidak diakui oleh pemerintah, tetap dihargai dan tidak dilarang. Fakta-fakta historis tentang hubungan antara agama dan negara itu seharusnya dijadikan patokan dalam menentukan sikap beragama bangsa Indonesia, terutama umat Islam sebagai mayoritas. Suatu agama tak mungkin membangun tradisi baru yang secara keseluruhan terpisah dari akar-akar kesejarahannya. Agama harus ditempatkan dalam konteks historis.

Gus Dur memiliki konsep membangun kehidupan dalam dialog untuk memecahkan masalah sosial yang konkrit secara bersama-sama. Misalnya soal lingkungan hidup, politik dan keadilan sosial, serta demokrasi. Mengutip Knitter dalam bukunya One Earth Many Religions, ia mengatakan bahwa dalam mengusulkan sebuah model untuk suatu dialog atau teologi agama-agama, ia mendesak agar umat beragama saling mengerti dan berbicara atas dasar komitmen bersama terhadap kesejahteraan umat manusia maupun lingkungan.

 

Editor: Prihandini N

Cahyono Anantatoer

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email