Dalam pengajaran teori ilmu Fisika, baik itu di pendidikan menengah maupun tinggi, nyaris mustahil para peserta didik mendapatkan pelajaran tentang kamus dan kebahasaan. Situasi ini dengan sendirinya menjadi salah satu masalah berarti bagi bahasa Indonesia dalam peranannya terhadap perkembangan sains kealaman.
Tajuk rencana berjudul Rujukan di Dunia yang Terus Berubah yang terbit 20 Agustus 2022 di harian Kompas menarik disimak. Tulisan itu menginformasikan peluncuran Ejaan yang Disempurnakan (EyD) Edisi Kelima pada 18 Agustus lalu. Penjelasannya menyinggung bahasa; sebagaimana dinyatakan di situ, “Bahasa sebagai alat komunikasi terus berkembang seiring perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi.” Lebih tepatnya, tajuk rencana itu bermaksud menegaskan kembali pemosisian bahasa Indonesia dalam ilmu pengetahuan.
Baca juga:
Saya pernah menyusun buku pelajaran Fisika untuk jenjang pendidikan menengah dan mengamati beberapa referensi yang digunakan dalam penyusunannya. Saya mendapati istilah “teori ekuipartisi gas” ketika menyusun materi persamaan gas ideal. Saya lantas coba mencari lema “ekuipartisi” di berbagai kamus bahasa Indonesia, mulai dari kamus bahasa Indonesia garapan W. J. S. Poerwodarminta (1952) hingga KBBI Kemendikbud versi dalam jaringan. Hasilnya? Saya tak berhasil menemukan padanan kata untuk lema “ekuipartisi”.
Justru, saya kemudian mendapat solusi ketika membuka Daftar Istilah Fisika garapan Liek Wilardjo, Herman Johannes, dan C. Johannes yang diterbitkan pertama kali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada 1979. Lema “ekuipartisi” telah dipadankan ke bahasa Indonesia sebagai “bagi adil tenaga”. Dari contoh ini, kuat dugaan saya bahwa pengajaran ilmu-ilmu Fisika belum terkoneksi menyeluruh dengan keberadaan bahasa Indonesia.
Lebih jauh, bisa jadi penggunaan istilah asing dalam pengajaran adalah salah satu akar kesulitan yang dialami oleh para pelajar dalam mendalami suatu konsep ilmiah. Istilah-istilah asing tersebut konteksnya tidak dekat dan tidak familiar di telinga para pelajar sehingga sulit dimengerti maknanya. Usaha mengadakan pengajaran ilmu kealaman menggunakan istilah yang dialihbahasakan dengan apik serta terkumpul rapi dalam kamus rujukan dapat menjadi jalan tengah untuk mengurai kesulitan itu. Selain itu, usaha ini sekaligus memperkuat keberadaan bahasa Indonesia dalam pembelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tulisan lain oleh Joko Priyono:
Sumbangsih Liek Wilardjo
Sosok Liek Wilardjo yang saya singgung sebelumnya adalah seorang ahli Fisika yang juga dikenal sebagai “pendekar bahasa”. Di usia 83 tahun (lahir di Purworejo, 24 September 1939), ia masih tekun menulis tentang beberapa tema seperti ilmu pengetahuan, filsafat, bahasa, kebudayaan, dan sosial-politik. Ia menjadi satu sosok penting yang perlu diketengahkan ketika membicarakan relasi antara ilmu pengetahuan dan bahasa Indonesia.
Peran kamus pada tiap keilmuan ia utarakan dalam tulisan Merekacipta Istilah. Tulisan Liek ini digunakan sebagai materi ajar dalam “Internship Penulisan Buku Teks” di Yogyakarta, 30 Agustus 1988. Di situ dijelaskan bahwa cara yang paling mudah untuk mengetahui istilah-istilah yang berlaku dalam bidang tertentu ialah dengan menyimak kamus istilah yang telah dianggap baku untuk bidang tersebut. Saat itu, Liek adalah tergabung dalam tim penyusun kamus Fisika dan kamus umum istilah dasar di Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Ia mengemban amanah ini mulai 1972 hingga 1998.
Selain keterlibatannya dalam penyusunan Daftar Istilah Fisika (1979), hal yang tak boleh dilupakan dari sosok Liek antara lain andilnya dalam menyusun Kamus Fisika: Fisika dan Teknologi Nuklir (1993), Kamus Fisika: Bahang dan Termodinamika (1993), Kamus Fisika: Teori Kenisbian Khusus (1994), Kamus Fisika Mekanika (1996), serta Kamus Fisika (2000). Penyusunan kamus terlalu berat jikalau dikerjakan sendiri, maka perlu kerja sama yang biasanya meibatkan ahli-ahli ilmu terkait dan bahasa dari berbagai perguruan tinggi.
Pemerintah juga berperan. Sutan Takdir Alisjahbana pernah menulis tentang pemajuan penggunaan bahasa Indonesia dalam kebudayaan, serta ilmu pengetahuan dan teknologi di majalah Ilmu dan Budaya No. 9 yang terbit Juni 1992. Ia menulis, “Dengan demikian didirikanlah Komisi Bahasa Indonesia yang tugasnya mengadakan bermacam-macam pertemuan dengan ahli-ahli untuk menciptakan istilah-istilah ilmu seperti Botani, Zoologi, Kimia, Ilmu Bumi, Hukum, Ekonomi, dan seterusnya dan di sisi itu menyusun tata bahasa Indonesia yang baru.”
Pernyataan itu menggiring penafsiran beberapa langkah ke depan untuk memikirkan pengembangan bahasa ke arah ilmu pengetahuan. Penggunaan istilah dari proses yang dilalui menjadi bekal penting dalam penyusunan buku-buku teks pelajaran yang kemudian disajikan para pelajar sebagai generasi masa depan ilmu pengetahuan. Pada abad ke-21, tentu kita memiliki anggapan bahwa pembangunan sumber daya manusia berwawasan ilmu pengetahuan dan teknologi itu penting dan perlu.
Penjelasan serupa juga pernah disampaikan oleh Andi Hakim Nasoetion dalam Konsorsium Ilmu-Ilmu Sosial dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 2-3 Maret 1972. Di makalahnya, Penggunaan Bahasa dalam Ilmu Pengetahuan, ia menuliskan, “Perkembangan ilmu pengetahuan diperlukan sebagai usaha menyesuaikan penemuan-penemuan baru dari lingkungan lain ke lingkungan tertentu. Selain itu, keadaan khas di dalam lingkungan yang baru akan menimbulkan masalah yang memerlukan penelitian.”
Baca juga:
Tuntutan akan penemuan yang berangkat dari langkah demi langkah aktivitas penelitian membuat pemutakhiran bahasa Indonesia menjadi penting. Ketika membicarakan keterkaitan antara ilmu pengetahuan dan teknologi dengan bahasa, orang perlu mengingat kamus. Kamus selalu menanti untuk dikembangkan dan digunakan seiring dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam dunia ilmu pengetahuan.
Editor: Emma Amelia