Saat kualitas tenaga pendidik di Indonesia masih rendah, Gubernur Nusa Tenggara Timur, Viktor Laiskodat, membuat kebijakan mencengangkan. Ia memberlakukan jam masuk sekolah pukul 5 pagi. Kebijakan itu makin mempertegas ketidaksingkronan penanganan pendidikan antara pemerintah pusat dan daerah.
Dari sini dapat dilihat bahwa jurang penetapan kebijakan dalam menangani persoalan pendidikan makin lebar dan berjalan sendiri-sendiri. Padahal urusan pendidikan negara bukanlah hal sepele dan dijalankan sekadarnya tanpa pertimbangan. Apalagi sudah ada sekolah di NTT yang menjalankan kebijakan tersebut. Setelah kebijakan tersebut diterbitkan pun, Kemendikbud mengaku masih berkoordinasi dengan Pemprov NTT.
Berkaca dari Negara Lain
Berkaca pada negara tetangga, Singapura justru sangat serius dalam menangani hal fundamental pendidikan, yakni terkait kualitas guru. Dalam menghasilkan guru berkualitas, negara tersebut membuat kebijakan yang terintegrasi dengan baik, matang, dan berkesinambungan. Maka tidak keliru jika Singapura menjadi negara dengan tingkat pendidikan terbaik ke-2 dunia setelah Finlandia.
Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Singapura menyebutkan, negara tersebut menerapkan kebijakan pendidikan sentralistik dengan MoE (kementerian pendidikan) sebagai pusatnya. MoE menetapkan tujuan pendidikan nasional, kurikulum, ujian nasional, pedoman pendidikan, pengembangan profesional guru, hingga rekrutmen para guru dan tenaga kependidikan.
Baca juga:
Selain itu, para ahli di bidang pendidikan berasal dari National Institute of Education (NIE), institut otonom di bawah Nanyang Technological University (NTU). NIE menjadi satu-satunya lembaga pendidikan guru di Singapura. NIE juga menjalin kerja sama yang erat dan berkelanjutan dengan MoE dan sekolah. Ketiga lembaga itulah yang menjadi penanggung jawab kualitas guru sebagai fondasi kemajuan generasi di Singapura. Pemerintah Singapura percaya hasil peserta didik berkualitas sangat ditentukan oleh tenaga pendidik yang berkualitas tinggi.
Sebelumnya, Indonesia sudah memiliki masalah mendasar, yakni kualitas tenaga pendidik yang masih rendah. Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016, pendidikan di Indonesia menempati peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang, dan kualitas guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Dari 3,9 juta guru yang ada, masih terdapat 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik, dan 52% di antaranya belum memiliki sertifikat profesi. Sementara itu, hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) 2015, rata-rata nasional hanya 44,5, berada jauh di bawah nilai standar 55.
Oleh karena itu, membuat kebijakan jam masuk sekolah pukul 5 pagi, meski dengan alasan melatih etos dan generasi yang unggul, bukanlah kebijakan yang serta-merta bisa menjadi solusi atas kondisi pendidikan di Indonesia, khususnya NTT.
Negara dengan pendidikan terbaik dunia, Finlandia sekali pun memulai jam pelajaran pukul 08.00-09.00, sementara Singapura dimulai pukul 08.30, Jepang umumnya dimulai pukul 09.00, dan Rusia pukul 08.00. Belum ditemukan negara dengan pendidikan maju di dunia menerapkan sekolah lebih cepat seperti yang diterapkan Pemprov NTT.
Apakah mencetak siswa unggulan bersumber dari masuk sekolah pukul 5 pagi? Padahal pada jam tersebut kondisi siswa maupun guru tentu masih mengantuk. Tidak ada orang yang bisa belajar dalam kondisi mengantuk. Jika akar masalah tidak diselesaikan, masuk sekolah jam berapa pun tidak akan mengubah apa-apa, selain kesia-siaan kebijakan.
Baca juga:
Belum lagi saat ini Kemendikbud baru mengganti kurikulum bernama Kurikulum Merdeka, dengan memberi pelatihan kepada para guru penggerak yang nantinya akan memberi materi ke guru lainnya di wilayahnya masing-masing. Para guru pun sedang berupaya untuk mempelajari dan menjalankan kurikulum tersebut.
Bisa dibayangkan nasib tenaga pendidik yang harus mengikuti kebijakan berganti-ganti padahal belum selesai mempelajari salah satunya. Dan mereka mengemban tanggung jawab meningkatkan kualitasnya dengan atau tanpa didukung sarana, prasarana, dan kebijakan terintegrasi.
Saya percaya seorang kepala daerah menginginkan pendidikan terbaik untuk wilayah yang dipimpinnya. Namun, dibutuhkan berbagai kajian yang melibatkan banyak pihak untuk mengeluarkan kebijakan yang tidak asal-asalan dan merugikan orang tua, siswa, dan guru. Jangan sampai kebijakan ini menjadi uji coba dan bisa semakin menurunkan kualitas pendidikan.
Seperti kata Viktor Laiskodat, tidak ada perubahan yang mudah, tentu memperbaiki hal fundamental pun demikian. Semua itu tergantung kemauan pemerintah untuk menciptakan sistem yang terintegrasi, berkesinambungan, dan melalui kajian mendalam dari banyak pihak. Bukan kebijakan tunggal atau sesuai apa yang melintas di pikiran masing-masing kepala daerah.
Dibutuhkan kemauan kuat dari berbagai pihak dan Kemendikbud sebagai tonggak pengambil kebijakan untuk melakukan reformasi pendidikan. Ego sektoral harus dilepaskan demi kemajuan pendidikan Indonesia.
Editor: Prihandini N
Setuju banget Mbak. Pada kenyataan faktor penentu keberhasilan dan kualitas pendidikan itu banyak banget. Kebijakan Gubernur Viktor ini pun seharusnya tidak semerta-merta dilakukan. Harus dengan banyak pertimbangan, dibuat proposal resminya, dirundingkan, baru setelah itu diambil keputusannya.
Sebagai seorang guru, saya juga sangat mementingkan kualitas pendidik. Karena kualitas mereka akan bersambung dan memberikan efek pada anak didik. Seperti kata pepatah “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Guru adalah sesungguhnya contoh bagi anak didiknya.
Tulisan yang lugas, mbak Amy. Salut dengan kesigapannya meramu isu hangat yang penting 👍🏽 Sangat inspiratif, mbak Amy