Rekrutmen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) guru menyisakan banyak persoalan. Mulai dari jumlah kuota, karut-marut pelaksanaan, pengategorian prioritas, sampai pemodelan seleksi, semuanya mendapat catatan merah.
Program PPPK hadir sebagai bentuk inovasi rekrutmen tenaga profesional. Selain itu, PPPK juga jadi momentum rekrutmen tenaga baru dalam jumlah besar. Pasalnya, pada 2019 lalu, banyak pegawai memasuki usia pensiun. Itu sudah jadi konsep baku yang sering dilakukan untuk peremajaan kepegawaian.
Selain itu, inovasi rekrutmen PPPK digadang-gadang menjawab permasalahan menahun tenaga honorer, kualitas guru, dan pendidikan. Para guru mendapat ruang lebih luas untuk peningkatan karir dan kesejahteraan. Panjangnya batasan umur (20-59 tahun) membuat mereka bisa mendaftar kapan pun selama memenuhi syarat. Yang paling menarik, penyesuaian status kepegawaian PPPK yang langsung setara dengan ASN beserta tunjangannya. Pembedanya ada pada perjanjian kontrak kerja; ASN pegawai tetap, PPPK pegawai kontrak.
Secara orientasi tujuan dan kalkulasi teknis, PPPK terlihat tidak bermasalah. Namun, bagaimana jadinya apabila program yang tujuannya memberi akses luas kepada tenaga profesional justru lebih berpotensi diisi oleh orang-orang inkompeten?
Baca juga:
Sudah jadi rahasia umum bahwa kualitas guru kita punya catatan merah besar. Tanpa bermaksud membuat penghakiman sepihak; segala atribut data, ulasan, kritik, masukan, dan riset terkait pendidikan maupun keguruan menjelaskan dan memaparkan hal itu. Banyak tenaga guru yang masih tergolong inkompeten sekalipun sudah sertifikasi. Proses sertifikasi tidak mengarah pada profesionalisme, melainkan hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan.
Dengan begitu, rekrutmen PPPK guru ini justru berpotensi menjadi ajang penggemukan anggaran yang minim dampak. Sebab, kita lupa bahwa sumber permasalahannya memang bukan pada jumlah dan ketersediaan, melainkan kompetensi tenaga pendidik untuk mengisi jabatan profesional itu sendiri.
Kemungkinan rekrutmen PPPK menjadi pintu masuk yang mudah, lebar, dan luas bagi para tenaga inkompeten sulit dihindari. Inovasi rekrutmen akan menjadi ajang perampokan jabatan di balik embel-embel pengabdian. Kita bisa sama-sama menyimaknya pada pemodelan seleksi dan syarat dari rekrutmen PPPK yang tidak mengindikasikan prosedur dan atribut pengujian kredibel layaknya instansi yang butuh tenaga profesional.
Keganjilan pemodelan seleksi dan syarat rekrutmen PPPK paling tampak pada pengadaan jalur afirmasi. Jalur ini berisi golongan guru yang sudah sertifikasi. Golongan tersebut mendapatkan hak istimewa berupa penambahan poin cuma-cuma pada kalkulasi akhir penilaian. Prosedur itu membuat guru bersertifikasi lebih berpeluang lolos. Padahal, seperti yang telah saya jelaskan di atas, banyak data menunjukkan sertifikasi guru tidak linier dengan kualitasnya.
Proses dan konsep seleksi PPPK juga perlu disorot tajam. Ada 4 materi ujian PPPK, yakni kompetensi teknis (sesuai mata pelajaran), manajerial, sosio-kultural, dan wawancara (dijawab secara tertulis). Dari semua itu, jenis ujiannya sama-sama pilihan ganda. Soal paling dominan pun justru ada di kompetensi teknis. Secara materi, soal kompetensi teknis ini tidak beda jauh dengan soal ujian nasional. Bagi saya, ini metode yang salah kaprah. Mencari tenaga profesional guru masa ditentukan dengan model pilihan ganda? Apakah memang hanya sampai situ level kompetensi tenaga guru kita?
Belum lagi masalah kuota. Peserta ujian yang tidak dapat tempat di seleksi 2021, otomatis jadi prioritas pertama di seleksi 2022. Tentu ini juga dapat dibilang langkah kurang adil. Bisa saja di seleksi 2021 peserta memang lolos ambang batas, tapi dia bukan yang terbaik. Akibatnya, ia tidak dapat tempat. Secara teknis, harusnya mereka ikut seleksi ujian kembali untuk difilter ulang dengan peserta baru, bukan otomatis menunggu penempatan di seleksi berikutnya. Pemodelan prioritas ini jelas mendiskriminasi pelamar baru.
Repetisi Paradigma Pendidikan Nasional
Rasanya, pemerintah lagi-lagi gagal memberi solusi baru. Pendekatan kuantitatif masih menjadi paradigma dalam mengelola pendidikan nasional. Kalkulasi angka, anggaran, dan kuota seperti sudah menjadi corak orientasi kebijakan pendidikan nasional.
Saat Orde Baru, Indonesia butuh banyak guru sebagai persiapan dan modal pembangunan. Rekrutmen besar-besaran dilakukan sehingga tidak begitu sulit untuk jadi guru waktu itu. Bermodal ijazah SMA pun bisa asal mau dibayar murah. Selain itu, guru berkarakter pengkritik tidak mendapat tempat. Sebab, syarat khas rekrutmen Orde Baru adalah bersih diri dan bersih lingkungan dari pengaruh PKI.
Saat itu, Indonesia otomatis diisi oleh para guru yang dapat dibilang minim kompetensi, tidak sejahtera, sekaligus berkarakter dogmatis. Dampak luar biasa Orde Baru adalah lahirnya generasi tunduk dan duplikat. Tidak bisa dimungkiri, itu terwariskan sampai sekarang.
Tahun 2007-an, dengan harapan memberi kesejahteraan pada guru dan peningkatan kualitas, pemerintah membuka program sertifikasi kependidikan besar-besaran. Anggaran pendidikan meningkat mencapai ratusan triliun. Program tersebut mulanya juga digadang-gadang mampu meningkatkan kualitas guru dan berdampak pada pendidikan.
Bahkan, di awal program sertifikasi, para guru cukup melengkapi administrasi portofolio untuk dapat tunjangan serdik. Segala pengurusan NUPTK dan sebagainya begitu dipermudah. Sayangnya, harapan mulia itu kembali gagal dicapai. Kurangnya SDM mumpuni dan LPTK berkualitas menjadi penyebab banyak guru bersertifikasi (sejahtera), tapi tidak berkompetensi baik.
Kini, di 2020, wacana kesejahteraan dan kualitas pendidikan kembali coba diberi solusi. Skema PPPK dihadirkan dengan harapan bisa merekrut banyak guru sekaligus memberi kesejahteraan. Akan tetapi, orientasi kebijakannya tidak berubah; tetap berparadigma kuantitas. Implementasinya masih sama seperti Orde Baru dan awal pasca Reformasi. Pemerintah kembali gagal membuat suatu sistem seleksi dan kontrol yang berkualitas, mumpuni, dan kredibel.
Tulisan lain oleh Alfian Bahri:
Pada akhirnya, semua kebijakan pemerintah dalam pendidikan menjadikan marwah profesi keguruan benar-benar dipertaruhkan. Jangan sampai anggaran pendidikan yang mencapai ratusan triliun terkuras habis, tetapi tidak menghasilkan dan berdampak apa-apa.
Kita sudah harus berpikir tentang keseriusan seleksi rekrutmen tenaga guru. Bagaimanapun, guru adalah tenaga profesional sehingga sudah seharusnya dibuatkan aturan yang mengikat, tegas, kredibel, jelas, dan profesional.
Kebijakan berorientasi kualitas adalah barang wajib, tidak bisa ditawar-tawar. Para pemangku kebijakan harus bisa mengimplementasikannya secara tegas, bersih, dan profesional. Bila terus-terusan terjebak pencitraan, pencapaian angka, dan kalkulasi teknis semata, sangat sulit rasanya berharap pendidikan Indonesia akan membaik.
Editor: Emma Amelia
Kebijakan rekrutmen adalah seperangkat aturan dan prosedur yang digunakan oleh perusahaan untuk merekrut, memilih, dan menempatkan karyawan baru. Kebijakan rekrutmen bertujuan untuk memastikan bahwa perusahaan dapat memilih karyawan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan organisasi.
(Kebijakan Rekrutmen)