sejarawan, penyair picisan

Guru di Ruang Tunggu

Muhammad Alif Ichsan

3 min read

“Mimpi-mimpi kecemasan melanda hati yang lemah

Aku telah mendengar rintihan pahitnya.”

Kutipan syair Kahlil Gibran dalam puisi prosanya yang bertajuk Penjamuan Jiwa di atas mengingatkan kita kepada yang tersurat maupun yang tersirat dari nasib guru belakangan ini. Para guru sejatinya tengah menanti hal-hal yang serba belum pasti. Benar, mereka menempati ruang tunggu, bukan hanya atas takdir dirinya sendiri tapi juga masa depan dunia pendidikan yang mereka hidupi dan dari sana pula mereka dapat melangsungkan hidup.

Masa depan memang serba tidak pasti. Kita semua juga sedang mengalami hal yang kurang lebih sama. Akan tetapi, bagi para guru perubahan itu tidak jarang berlangsung cepat dan ekstrem. Perubahan yang bak pepatah Melayu “sekali air bah, sekali tepian berubah” itu menuntut penyesuaian diri yang cepat pula di kalangan mereka. Bayangkan saja, kurikulum pendidikan yang secara top down diterapkan pemerintah kepada para guru mengakibatkan mereka tidak punya pilihan selain manut saja jika perubahan rezim diikuti dengan perubahan kurikulum.

Kecemasan adalah kata kunci, tidak hanya bagi para guru tapi juga para calon guru. Bagaimana tidak cemas, mengajar tidak hanya menyoal pengetahuan seorang guru melainkan juga penguasaannya terhadap kelas dan kondisi kejiwaan peserta didik. Mereka diharuskan melakukan banyak hal yang meliputi tiga dimensi waktu: sebelum, saat, dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

Universitas dan sekolah tinggi keguruan banyak juga secara parallel menghasilkan lulusan yang melimpah. Sementara itu, tidak sedikit dari para lulusan keguruan yang sudah ogah duluan untuk menjadi guru mengingat besaran upahnya, kecuali jika (dan hanya jika) diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Oleh karena itu, kebutuhan guru, utamanya di daerah-daerah masih saja tinggi.

Guru (Bukan) Tumbal Modernisasi

Peran guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa itu adalah persoalan intim si guru dengan hati nurani dan Tuhan. Sementara itu kewajiban pemerintah dan pemilik sekolah atau yayasan adalah tetap memastikan upah guru sebanding dengan jasa yang dibaktikan. Kenyataannya pada zaman yang serba berubah, upah adalah salah satu yang masih saja tidak berubah. Upah kecil dan pada banyak kasus tidak wajar itulah yang pada gilirannya mewajarkan sebagian penyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) tidak berkenan mengabdikan diri sebagai pahlawan tanda tanda jasa.

Francis Abraham (1991) dalam Modernisasi di Dunia Ketiga: Suatu Teori Umum Pembangunan menyentak pembacanya dengan pernyataan bahwa pengorbanan yang dahsyat dari rakyat untuk pembangunan nasional adalah suatu realitas. Pembangunan nasional yang dimaksud adalah bagian dari upaya modernisasi. Barangkali tidak salah jika dalam konteks pendidikan, guru merupakan salah satu bagian dari rakyat yang menjadi “tumbal” modernisasi. Oleh karena itu tidak mengherankan jika lirik tanpa tanda jasa dalam Hymne Guru dimaknai secara tekstual saja oleh pihak-pihak yang menolak memberikan upah yang layak bagi para guru.

Belakangan ada parodi lagu anak-anak tentang T-rex, yang pada lirik “badannya besar, tangannya kecil” diganti dengan “tugasnya besar, gajinya kecil”. Hal itu menegaskan realita yang dihadapi guru-guru kita hari ini. Ketimpangan upah antara guru honorer dan PNS adalah bagian paling nyata dari kondisi dunia pendidikan kita, di balik cerah dan megahnya proyek Merdeka Belajar dan Guru Penggerak oleh Kemendikbud RI. Logika sederhana kembali menuntun kita kepada pertanyaan, bagaimana guru sanggup menjadi penggerak jika belum merdeka atas upah yang layak?

Kita, terutama para pemangku kebijakan, harus sadar bahwa pemandangan menyedihkan masih terjadi di banyak sekali “ruang tunggu”. Tidak sedikit dari mereka tetap mepertahankan passion yang lurus dalam mengajar, kendatipun belum tentu di akhir bulan upahnya dibayar penuh. Sementara tidak jarang, yang paling beruntung pun hanya akan memperoleh amplop yang tebalnya tidak wajar.

Menjawab Eksistensi

Beberapa tahun terakhir, para guru cukup mengalami kegoncangan. Di samping kurikulum yang terus mengalami perubahan dalam rangka penyempurnaan serta membuat para guru kewalahan, Covid-19 juga ternyata tidak kalah memengaruhi. Kebijakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara daring berhasil mengganggu siklus dan persiapan pengajaran.

Covid-19 dengan KBM secara daring mestinya membawa kecemasan baru bagi para guru di “ruang tunggu”. Terlepas dari kemampuan guru dalam memiliki serta mengoperasikan perangkat belajar online seperti laptop dan handphone, yang juga menarik adalah ujian bagi posisi guru itu sendiri. Terlebih ketika kebijakan lain menyusul saat Covid-19 mulai mereda, yakni pembagian jadwal belajar: sebagian peserta mengikuti pembelajaran secara tatap muka dan sebagian lagi di rumah. Pada kondisi yang demikian itu, keberadaan dan ketiadaan guru semakin dipertanyakan urgensinya.

Selama proses belajar daring, terutama jika mendapati oknum guru yang hanya sekadar memberikan tugas, peserta didik agaknya menyadari bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dapat diambil dari selain gurunya di sekolah. Hal itu ditambah lagi dengan menjamurnya bimbingan belajar (bimbel) yang menawarkan pembelajaran dengan visual menakjubkan dan gudang materi belajar yang mumpuni dengan biaya terjangkau. Mereka dapat kapan saja belajar tanpa perlu kehadiran guru.

Kenyataan ini mengharuskan guru melakukan evaluasi dan menjawab persoalan eksistensi atas dirinya sendiri. Para guru harus meyakini bahwa pendidikan bukan hanya tentang penalaran (transfer of knowledge) melainkan juga pembangunan karakter (character building) yang dilakukan dengan memastikan nilai-nilai dari yang diajarkan sampai kepada peserta didik (transfer of value). Hal ini yang tidak dapat dilakukan oleh sekadar membaca materi-materi ajar dan berselancar di dunia maya. Akan tetapi, jika guru hanya berorientasi pada intelektualitas berbasis nilai-nilai tinggi di setiap ulangan, maka posisinya memang rentan digantikan dan ketiadaannya mafhum tidak dirindukan.

Edward dan Yusnadi (2017) dalam Filsafat Pendidikan juga menggarisbawahi betul bahwa pendidikan berarti membantu peserta didik menemukan versi terbaik dari dirinya melalui kegiatan pembelajaran yang menjamin mereka dapat mengeksplorasi potensi-potensi yang tersimpan di dalam. Hal itu sejalan dengan akar kata pendidikan dalam istilah Romawi Kuno, educare, yang bermakna “menarik keluar”. Melalui gaya mengajar yang demikianlah baru kehadiran guru menjadi sangat perlu. Dan oleh karena itu, segeralah katakan selamat tinggal pada gaya mengajar dengan dalih student-centered melalui produksi pekerjaan rumah (PR) yang bertumpuk-tumpuk dan kegiatan presentasi di hampir setiap pertemuan tanpa analisis dan evaluasi yang jelas.

***

Editor: Ghufroni An’ars

Muhammad Alif Ichsan
Muhammad Alif Ichsan sejarawan, penyair picisan

4 Replies to “Guru di Ruang Tunggu”

  1. Pemda suka “nahan” gaji guru di bank supaya bisa kepake bunganya, padahal pemerintah udah kirim lewat dau khusus bagi guru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email