Pada akhir 2022 lalu, Mendikbudristek Nadiem Makarim menggulirkan wacana guru penggerak punya kesempatan untuk menjadi kepala sekolah. Mungkin ini bertujuan sebagai penyemangat dan pemberian ruang implementasi. Namun, makna yang ditangkap oleh sejumlah kalangan pemerhati pendidikan justru lebih mengarah kepada keingingan ambius yang spekulatif.
Tugas kepala sekolah tidak sekadar mengutak-atik masalah pedagogi, manajerial, dan kepemimpinan. Kepala sekolah pada pokoknya mengemban tugas yang kompleks. Mulai dari merencanakan dan melaksanakan program, melakukan pengawasan, melaksanakan kepemimpinan, sampai menerapkan sistem informasi. Tidak sampai di situ, turunan atas pokok tersebut juga begitu banyak.
Selain itu, tugas pokok kepala sekolah yang jarang jadi perhatian padahal begitu penting adalah menjalin relasi dengan pihak luar. Pedagogi dalam hal ini tidak akan cukup. Dibutuhkan kemampuan dialog, diplomasi, karakter, dan jaringan. Segala atribut kemampuan tersebut hanya bisa dipenuhi melalui jam terbang. Sementara Program Guru Penggerak hanyalah kegiatan pelatihan pedagogi dan manajerial tahap sederhana dengan durasi sembilan bulan (aturan revisi enam bulan). Sekali pun guru penggerak telah lulus dan berpredikat baik, jam terbang tidak akan pernah bisa dimanipulasi.
Objek kajian dan manajerial guru penggerak adalah murid. Secara hierarki fungsinya lebih rendah, rentan, dan mudah dimobilisasi. Sementara posisi kepala sekolah setara dalam hubungan antarguru dan kelembagaan. Mobilisasi jelas tidak cukup bila sekadar merencanakan, membuat, dan mengondisikan aturan ketat seperti pengelolahan kelas.
Baca juga:
Memang salah satu tugas utama kepala sekolah adalah menggerakkan sekolah dalam fungsi kepemimpinannya. Namun, hanya karena ada kesamaan diksi “gerak”, bukan berarti bisa langsung ditarik kesimpulan linier semacam itu.
Jadi, sangat sulit menolak kesimpulan bahwa wacana guru penggerak menjadi kepala sekolah adalah keambisiusan yang spekulatif dari mendikbudristek. Lebih lanjut, menjadikan guru penggerak sebagai kepala sekolah hanya sebuah bentuk usaha afirmasi sepihak atas program bentukannya sendiri. Lebih tepatnya penyelamatan citra. Biar bisa dikira bahwa Program Guru Penggerak telah berhasil.
Kalau memang ujungnya jadi kepala sekolah, mengapa bukan kepala sekolah saja yang diwajibkan jadi guru penggerak? Apa pun jawabannya, hal itu justru akan mempertegas bahwa ada masalah dalam diri kepala sekolah hari ini sehingga perlu diganti oleh guru penggerak atau tidak layak jadi guru penggerak. Bukankah semua itu menunjukkan keafirmasian atas permasalahan besar pada tubuh kepemimpinan?
Semua Guru Harus Bergerak
Fungsi, peran, dan konsep Program Guru Penggerak itu baik. Namun, perlu diketahui bersama terlebih dahulu Program Guru Penggerak ini bukanlah barang baru. Dulu ada namanya Guru Inti dan Program Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP). Secara konsep dan praktinya, baik Guru Penggerak, Guru Inti, serta MGMP nyaris sama, hanya berbeda dalam durasi pelaksanaan dan prioritas aturan.
Tidak pernah ada yang salah dari proses belajar, berbagi, serta berkolaborasi dengan sesama guru perihal pembelajaran dan manajerial. Namun, bukankah itu semua memang sudah menjadi tanggung jawab dasar dari guru itu sendiri? Jadi, apa sebenarnya yang ditawarkan dari Program Guru Penggerak ini (selain akses jadi kepala sekolah)?
Pemerintah sepertinya tidak pernah belajar dari permasalahannya. Pemerintah cenderung sibuk membuat hal baru hanya karena ingin mendapat pengakuan dan bukti kerja. Bermodal mengganti dan menyodorkan istilah, seakan telah membuat perubahan besar seperti nubuat. Bertindak dan bergerak atas dasar evaluasi utuh jarang dilakukan.
Kalau memang Program Guru Penggerak dengan segala pendekatan, strategi, model, metode, dan tekniknya itu baik dan berdampak, mengapa tidak pernah dilakukan dan dimantapkan sejak masa pendidikan guru? Toh durasi kegiatannya juga hitungan bulan. Dengan memasukkannya ke dalam mata kuliah bukankah bisa menghemat waktu, biaya, tenaga, dan jauh lebih efektif?
Hal yang paling ditakutkan atas kebijakan ambisius ini adalah terciptanya hierarki pada tubuh guru itu sendiri. Alih-alih sebagai sarana belajar dan berbagai ilmu dengan sesama, kebijakan ini malah berubah menjadi ajang kompetesi yang diskriminatif. Niatnya kolaborasi, jadinya kompetisi.
Apa pun hasil akhir dari wacana ini, yang jelas semua guru harus bergerak. Tidak etis rasanya bila hanya mengharapkan pertumbuhan pendidikan pada satu atau sekelompok guru. Semua harus terlibat, semua harus gerak. Menjadi guru pembelajar adalah tugas pokok dan dasar. Jadi, tidak ada alasan untuk tidak mengembangkan diri.
Bukan Gerakan Autentik
Dari sini makna dan hakikat profesi harus dipahami serta dikembalikan ke dalam jalur profesionalnya. Guru sudah harus profesional sejak dini. Bahkan sejak dia lulus pendidikan guru, profesionalitas sudah harus ada dan dijalankan.
Kalau dicermati lebih jauh, Program Guru Penggerak atau sejenisnya nyatanya justru lebih mirip upaya afirmasi atas kegagalan produsen pendidik (kampus) dan lembaga pendidik dan tenaga kependidikan (LPTK) dalam menyiapkan tenaga profesional. Banyak calon guru yang setelah lulus kuliah atau pendidikan pelatihan guru (PPG) justru masih belum menguasai pedagogi keguruan. Akibatnya muncullah program tambahan serta wawasan mengenai Guru Penggerak dan sejenisnya.
Dalam mayoritas kasus, kompetensi pedagogi para guru justru dikenali dan dipelajari ketika sudah menjadi guru. Itu pun hanya karena tuntutan administrasi dari pengawas. Bahkan yang lebih ironi, pemenuhan pedagogi itu lebih sering terjadi di dalam transaksi digital (copy-paste). Bukankah itu keanehan dan kekeliruan yang luar biasa?
Mungkin dalam tolok ukur umum istilah “tidak ada kata terlambat dalam belajar” bisa berterima. Hal itu dalam konsep kerja lebih dikenal dengan nama magang atau masa training. Namun, pemahaman seperti itu dalam konsep profesi tidak boleh dipakai. Terlebih pada tolok ukur profesi guru.
Guru yang sudah terjun di sekolah sudah bukan lagi tenaga amatir yang perlu dilatih mengenai hal dasar pedagogi. Sekali pun ada pelatihan keterampilan, semua itu bukan membahas konsep dasar, melainkan tahap pengembangan lanjut sebagai evaluasi.
Baca juga:
Kemampuan basic mengenai metode, model, pendekatan, hingga strategi pembelajaran dan pengelolahan kelas sudah harus dikuasai utuh sepanjang pendidikan guru. Itu harga mutlak tanpa tawar. Kampus dan LPTK harus menjamin semua itu dengan kevalidan ukuran. Guru harus benar-benar profesional dan siap. Ini harus dipahami oleh segala sektor kelembagaan dan masyarakat.
Saat kita tidak memahami dasar kerja ini, pendidikan akan terus terjebak dalam pengulangan naif. Ini merupakan pemborosan yang berpotensi menciptakan pembengkakan biaya operasional, waktu, dan tenaga. Pada akhirnya, kasus seperti ini akan mengarah kepada tindakan “korupsi legal”. Ujung-ujungnya kualitas pendidikan secara komulatif jadi katarsisnya.
Banyak ulasan dan data menyebutkan bahwa sertifikasi guru tidak pernah linier dengan kualitas dan kinerja guru. Pemodelan cara kerja guru selalu sama. Sertifikasi hanya disikapi atas dasar kebutuhan hidup. Program Guru Penggerak rasanya juga akan berpotensi berakhir seperti itu.
Guru profesional adalah guru yang memiliki kompetensi dan keterampilan memadai dalam mengajar, serta memiliki sikap dan prinsip profesional. Hal paling penting di antara itu adalah kesadaran dalam pengembangan kompetensi dan implementasi. Guru profesional juga harus mampu bekerja sama dengan rekan sejawatnya, serta memiliki komitmen tinggi terhadap peningkatan mutu pembelajaran di sekolah.
Segala keterangan tersebut pada dasarnya adalah hal basic. Sama seperti ojol yang harus bisa mengendarai motor; tambal ban yang harus paham mekanisme karet dan roda; dokter yang harus paham metode medis dan resep; pengacara yang harus paham butir tiap pasal; arsitek yang harus paham hitung rancang bangun; dan sebagainya.
Suatu kekeliruan bila ada guru yang perlu didorong dan disogok oleh faktor luar seperti kalkulasi pangkat, jabatan, apalagi biaya hidup hanya untuk mengerjakan hal basic. Gerakan tidak autentik hanya akan berakhir pada tuntutan naif.
Di situlah profesionalisme bekerja. Nilai jual dari guru seharusnya sudah bisa ditentukan dari sana. Tidak perlu rasanya berdalil pengabdian dan sebagainya. Guru adalah sebuah profesi. Pemerintah dan masyarakat harus memahami itu.
Editor: Prihandini N
Izin cerita sikit dong, aku ngerasain hal yg sama, aku baru paham mengajar dan mendidik dg cara yg sebenarnya pd saat sudah jadi guru. Aku orang yg cukup ambisius, banyak sekali ide dalam kepala yg mau aku tuangkan di kelas, bagaimana anak belajar dg nyaman dan bermakna, namun kondisi sekolah dan keuangan pribadi tdk memungkinkan utk menyediakan media ajar yg membutuhkan biaya. Sementara gaji hanya cukup makan sekeluarga (sandwich generation). Mau ga mau, naik pangkat motivasi utamanya utk kesejahteraan ekonomi. Dan aku yakin, aku punya value yg tdk akan menciderai profesiku sbg guru.