Penyair Paruh Waktu

Luka dan Perempuan

Sarah Noer

6 min read

Hari masih muda, dan saya sengaja untuk kembali mengasingkan diri dan mendatangi sebuah pemakaman yang masih gulita. Di sana saya duduk, meratapi nasib dari masing-masing yang terbaring di bawah peraduan mereka. Ke mana mereka pergi? Apa yang mereka rasakan setelah mereka mati? Bahagiakah mereka? Atau malah menderita? Entahlah. Tapi muara dari pertanyaan itu sebetulnya berujung pada pertanyaan, “Adakah surga kelak menjadi tempat untuk perempuan semacam saya? Tetapi, saya curiga, kalau tempat yang katanya menyeramkan semacam neraka pun, rasanya enggan menerima saya.”

Saya pun terkenang masa belia. Di mana saya dibesarkan oleh keluarga yang telah rusak. Hal itu membuat saya kecil harus terlunta-lunta. Dari jalan ke jalan, saya harus berpindah dari rumah keluarga saya yang satu, ke keluarga lainnya.

Begitu juga pada sore itu, waktu di mana paman saya yang kebetulan seorang guru ngaji, justru menjamah tubuh kecil saya. Saya yang lugu terpaksa mengenal trauma melalui belaian tangannya yang menjamah payudara muda milik saya. Ia katakan kepada saya, “Jangan melawan! Nanti Tuhan akan murka.” Begitu, katanya. Konon, bersumber dari kepercayaan yang kami punya, orang muda harus patuh terhadap orang tua. Lebih-lebih kepada lelaki, dan sialnya saya memang perempuan. Sungguh mau dilihat dari sisi mana pun, saya memang kalah telak.

Semasa remaja, saya berusaha untuk tumbuh seperti perempuan pada umumnya. Bibi saya memaksa saya untuk mengenakan hijab. Katanya, kalau saya berlindung di balik kain itu, kelak saya akan terhindar dari segala marabahaya tatapan mata pria. Sedang di waktu magrib setelah kami mendirikan salat seperti waktu-waktu biasanya, paman saya tetap menjamah kemaluan saya. Lengkap ketika saya masih di atas sajadah, lengkap ketika saya masih mengenakan mukena. Dan Bibi saya tetap bungkam sepanjang ia mampu membuka mulutnya.

Beranjak dewasa saya telah menemukan jalan yang saya yakini tepat: jalan kebebasan. Jalan menuju kehormatan, yang rasanya, perlu segala keberanian untuk sekadar mempertaruhkannya. Berangkat dari sana, saya tumbuh menjadi perempuan hebat. Ya, saya anggap begitu, karena toh, telah banyak yang saya terobos atas kepentingan martabat dan citra hidup saya sebagai seorang perempuan. Meskipun tuduhan yang menganggap saya sebagai pemberontak, penyeleweng, dan tidak paham aturan kerap mereka katakan kepada saya. Apa boleh saya katakan? Toh pemikiran mereka benar-benar di luar kendali saya. Saya anggap mereka bodoh, dan kelelakian telah mengambil bagian dari padanya.

Tetapi hari itu, di suatu jalanan yang dipenuhi pendemo, saya bertemu dengan seorang aktivis muda yang tengah menjabarkan berbagai aspirasinya. Ia menggebu-gebu, serta tak lupa menyertakan firman Tuhan di sela-sela orasinya. Mula-mula saya tertawa mendengar ucapannya. Betapa naif dan dungunya menyebarkan sebuah keyakinan yang—saya anggap—delusional. Tapi saya mencoba mengerti, barangkali hidup baginya telah mengajarkan hal lain di luar dari apa yang telah menikam kepercayaan saya. Saya pun memilih mafhum, dan menghormati pilihannya meski hanya saya ucapkan di dalam relung hati saya. Sampai di akhir orasinya, saya masih menaruh pandangan padanya. Kemudian di waktu selanjutnya, ia telah memberi ruang pada pendemo-pendemo lain yang gagasannya tak jauh berbeda dengan apa yang diserukan olehnya. Ya, titpikal mahasiswa dari kampus yang senang membawa bendera agama.

Meskipun saya tidaklah tercatat pada risalah administratif kampus mana pun, saya tetap hadir untuk memperhatikan suasana. Di samping karena saya memang gemar mengikuti isu-isu yang sedang diperjuangkan, saya sangat senang berada di tengah-tengah suasana mencekam dan penuh tekanan. Bisa ditebak, akhir dari unjuk rasa ini pun sama dengan unjuk rasa biasanya: kerusuhan.

Saya yang menyelinap di dalam barisan mahasiswa kampus lain pun kocar-kacir tak tentu tujuan. Tatkala gas air mata itu dilesatkan, saya berlari. Beberapa mahasiswa telah tertangkap oleh aparat dan dibawa entah ke mana. Sisanya mereka terlibat baku hantam, dan lainnya turut berlarian saling berpencar.

Di tikungan, saya melihat pemuda itu tengah berlari sembari sesekali menengok ke belakang. Lebih tepatnya, ia tengah melihat ke arah saya. Tanpa perhitungan yang meleset, ia pun lantas kembali berlari ke belakang dan menarik tangan saya. Dengan napas terengah-engah, saya pun mengikuti langkah kakinya yang panjang. Kami pun terpisah dari rombongan lain yang sudah lari tunggang-langgang. Setelah dirasa cukup aman, dia mengajak saya untuk masuk ke pemukiman warga. Di sana, ia pun membawa saya pada rumah kecil yang di dalamnya banyak terpasang bendera organisasi berwarna hijau dan hitam di dinding-dindingnya.

Ya, singkat cerita kami menjadi dekat. Saya tidak akan menceritakan bagaimana detailnya. Toh, ini bukan cerita tentang seorang perempuan yang jatuh cinta. Bukan pula cerita tentang seorang perempuan yang sedang mengenang kepergian pujaan hatinya. Atau semacamnya. Yang akan saya tekankan adalah perasaan marah yang mendalam. Persis seperti siang itu, saya yang telah lama meninggalkan penutup kepala penanda perempuan beragama itu dipaksa untuk kembali mengenakannya. Pedahal saya ingat hari itu, hari di mana ia mengatakan cinta kepada saya. Telah saya katakan padanya bahwa konsep tentang mencintai dan dicintai tidaklah cocok bagi saya. Saya bilang, cinta adalah perasaan naif, nisbi dan dangkal. Saya enggan melibatkan diri pada hal-hal memuakkan semacam itu.

Hari itu ia tidak kehilangan cara. Ia bilang, perempuan serba rasional seperti saya hanya perlu ia lembutkan hatinya. Saya masih menolak. Rasa-rasanya, toh tidak juga. Prinsip saya jelas ketika itu, saya memang tidak berniat ingin berbagi nasib dengan siapa-siapa. Jangan tanyakan soal menikah, itu tidak masuk ke dalam rencana hidup saya. Jadi buat apa saya menerimanya? Ia terus menjabarkan kepada saya mengenai segala kebaikan di dalam cinta. Akhirnya, saya menyerah juga. Namun, ada satu persyaratan yang harus ia patuhi dan terima. Bahwa jangan pernah libatkan saya dengan peraturan moral dan agama, juga jangan berani sekali-kalinya ia menyentuh saya, sebab saya memiliki trauma. Ia mafhum. Lagi pula katanya, menyentuh perempuan adalah haram hukumnya. Dan ia bilang, akan ada waktu di mana ia akan membawa saya ke jalan kebaikan, itulah kenapa ia bertekad ingin menjadikan saya pasangannya. Entahlah, entah seperti apa jalan yang ia maksud itu. Akan tetapi jika yang ia maksudkan adalah jalan penuh kepatuhan kepada bermacam moralitas dan etika agama, maka itu bukanlah jalan yang baik, melainkan jalan yang rusak. Jalan penuh ketakutan dan pengorbanan yang tidak sepadan. Untuk apa?

Tapi belum-belum saya lontarkan ketidakterimaan itu,  ia mengatakan bahwa ia tidak akan memaksa. Dan ia berjanji, kalau ia hanya akan pelan-pelan memberi pemahaman, sisanya terserah saya. Baik, saya sepakat, dan akhirnya kami resmi menjadi sepasang pasangan.

Lima bulan sudah kami menjalin hubungan. Selama itu pula, tidak ada yang mengganggu saya. Sampai tibalah sore itu, sore di mana ia meminta saya untuk datang ke kontrakannya. Siang itu ia katakan kalau ia sedang tidak enak badan, maka berbekal sebungkus bubur dan buah-buahan, saya pun mendatangi kontrakannya. Mula-mula, semua biasa saja, sampai tibalah waktu di mana ia menarik tangan saya dan ia mencium bibir saya habis-habisan. Saya gemetar. Tubuh saya tegang. Alih-alih menampar, saya hanya bisa mematung dan ketakutan. Bukan berhenti, dia justru menggerayangi tubuh saya. Dengan bajingan, ia buka kancing baju saya. Saya murka. Dan saya tetap tidak mampu melakukan apa-apa. Sampai setelah baju saya terbuka sepenuhnya, saya pun berhasil menampar wajahnya. Setelah dirasa keberanian saya terkumpul, saya pun pergi meninggalkannya.

Keesokan paginya ia memohon ampun kepada saya. Ia bilang kalau iblis telah berhasil menguasai dirinya. Omong kosong. Mengapa manusia yang menjadikan agama sebagai pelindung mereka kerap menaruh seluruh salah kepada iblis ketika mereka berbuat hal tolol dan semaunya? Maka hari itu pun permintaan maafnya tidak saya terima.

Sampai waktu-waktu selanjutnya ia tetap memohon ampun kepada saya. Melihat kegigihannya, saya pun akhirnya luluh juga. Tapi setelah kejadian itu, ia kerap menyalahkan saya secara tersirat. Ia katakan, bahwa segala kekhilafannya bersumber dari saya yang tidak menutup aurat. Dia bilang, tubuh perempuan yang tidak menutup aurat akan cenderung ditempeli oleh iblis penggoda. Oh, tentu saja ceramah bodoh semacam itu tidak lekas-lekas saya terima.

Bahlulnya, saya masih pula berusaha untuk memahami sudut pandangnya. Di luar dari kebiasaan, saya pun berupaya untuk menahan diri atas segala kedangkalan yang mulai tercermin di kesehariannya dalam memandang saya. Walaupun pada akhirnya saya pernah merasa jengah juga. Di beberapa kesempatan, saya mulai berupaya untuk meluputkan ia dalam segala aktivitas saya. Setelah 5 bulan selalu menemaninya berkumpul bersama teman-teman aktivisnya, saya pun akhirnya memutuskan untuk mengurangi waktu saya dengannya. Toh lagi pula, saya kerap merasa risi. Ketika ia membawa saya ke lingkungan organisasinya, saya kerap mendapatkan sikap diskriminatif. Mulai dari tatapan sinis dari teman-teman perempuannya yang mengenakan pakaian tertutup, sampai sindiran, serta candaan berbau seksis dari teman-teman prianya yang kerap mereka lontarkan kepada saya. Kurang ajarnya, dia hanya diam saja.

Tapi tiga hari setelah kejadian itu, ia kembali menjemput saya. Ia bawakan saya bunga, dan segala permintaan maaf darinya. Ia kembali mengajak saya untuk bertemu dengan teman-temannya. Kali ini mereka akan menghadiri sebuah majelis yang digelar di masjid kampusnya. Berbekal bunga, ia pun meminta saya untuk turut hadir bersamanya. Tentu saja dengan mengenakan pakaian serba terbungkus dan penutup rambut di kepala.

Hari itu, ia menjadi salah satu yang mengisi materi di majelis itu. Lucunya, ia membawa-bawa persoalan mengenai perempuan akhir zaman yang kerap mengundang hawa nafsu kaum Adam. Ucapannya banyak diamini oleh hadirin yang datang di sana. Menjabarkan konsep tentang Tuhan yang menyayangi tubuh perempuan.

Ada hal-hal yang menjemukkan mengenai ceramahnya pada siang itu. Ia terus-terusan menyindir bahwa perempuan yang enggan menutup aurat sudah pasti di tempatkan di dalam neraka paling jahanam. Sungguh celakalah perempuan yang telah berhasil membangunkan syahwat lawan jenis yang ada di sekitarnya.

Berbekal rasa ketidakterimaan saya itu, saya pun menemui salah satu teman pria saya. Ia adalah seorang seniman jalanan. Setelah lama tidak bisa bertemu denganya, akhirnya hari ini saya dapat mengajaknya berbincang. Berdasar dari sumber ketertarikannya pada dunia feminisme, maka sedikit banyak pemahamannya telah mempengaruhi saya. Maka jujur saja, setelah banyak berbincang dengannya dalam waktu yang lama, kepercayaan diri saya yang semula runtuh akibat diperkosa oleh kebangsatan patriarkal pun kembali meraksasa.

Begitupun pada hari itu, saya akhirnya banyak menceritakan tentang kegiatan saya selama beberapa bulan belakangan. Lengkap dengan keputusan saya untuk menjalin sebuah hubungan dengan seorang aktivis muda, juga segala perlakuan menjijikannya kepada saya beberapa waktu belakangan. Juga mengenai sebuah ceramah di majelis kampus yang ia bawakan. Ia muhibah. Di matanya ada duka yang mendalam. Ia lantas menepuk-nepuk bahu saya. Belum-belum saya mengucapkan terima kasih atas simpati dan perhatiannya, bahu saya justru dicengkram dan ditarik dari belakang. Betapa terkejutnya saya saat mendapati pacar saya sudah menatap dengan tatapan murka. Ia tarik tangan saya kencang. Melihat perlakuan itu, teman saya sempat terlibat perang mulut dengannya. Tetapi, karena pacar saya menggap bahwa ia memiliki kuasa atas saya, ia pun ngotot untuk tetap membawa saya. Saya pun berupaya menenangkan keduanya, dan berujung mengikuti kemuan pacar saya.

Sepanjang jalan saya hanya diam dan menahan gemetar. Saya tidak tahu akan dibawa ke mana. Rupanya, ia kembali mengajak saya ke kontrakannya. Sesampainya di sana, ia membanting pintu keras-keras, dan menguncinya. Setelah itu ia langsung membanting tubuh saya ke atas kasur miliknya. Ia mulai mencekik leher saya, dan menarik baju saya secara paksa. Saya gemetar. Lantas air mata saya dengan deras mengaliri muka. Tanpa mempertimbangkan perasaan saya, ia memperkosa saya.

Tahu apa yang ia katakan pada saya setelahnya? Begini katanya, “Perempuan seperti kamu memang pantas diperlakukan seperti ini. Perempuan murahan, tidak mau menutup aurat, senang bergaul dengan pria, hidup tidak tahu aturan, pakai baju terbuka, sering pulang malam. Mana pantas perempuan sepertimu membayangkan sebuah martabat dan kehormatan? Cuih. Jangan gila. Masih untung laki-laki seperti saya mau sama kamu. Dibanding perempuan alim di luar sana, kamu tidak ada apa-apanya. Kamu menolak untuk saya cium, tapi kamu malah bermesraan dengan pria lain. Munafik. Dasar perempuan sundal. Sudah tidak perawan, tapi sok jual mahal. Menjijikan!” Sisanya ia meludah dan meninggalkan saya.

Setelah-setelahnya saya masih melihat ia di ruang demo membawakan ayat-ayat Tuhan.

Kurang lebih, begitulah. Lelaki memang berengsek. Sepanjang saya mengenal lelaki baik dan paham agama, ketika di atas kasur, mereka tetap membuka kancing baju saya. Maka ketika mereka berkhotbah mengenai Tuhan kepada teman-temannya di hadapan saya, agama lelaki adalah dusta dan keputusasaan semata.

*****

Editor: Moch Aldy MA

Sarah Noer
Sarah Noer Penyair Paruh Waktu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email