Odd meter, birama ganjil dalam sebuah komposisi, menjadi hal yang dieksplorasi Filipus Cahyadi Project. Dalam pertunjukan di Salihara Jazz Buzz, Filipus Cahyadi Project menyajikan karya komposisi berbasis modern jazz dan penafsiran ulang terhadap musik tradisional beberapa daerah di Indonesia. Semua itu dibalut dengan komposisi hitungan ganjil yang entah bagaimana terasa begitu genap, selagi hitungannya tetap ganjil.
Secara umum, musik yang kita simak sehari-hari berbirama empat. Dari lagu nasional hingga lagu viral di TikTok, kita telah begitu menubuh dengan birama genap. Mungkin kegenapan yang menubuh dan mengakar dalam musik arus utama itu yang berusaha diintervensi Filipus Cahyadi. Komposisi yang dirancang Filipus sangat “matematis” dalam hal hitungan ritmis. Audiens Salihara Jazz Buzz sore itu seakan terbang pada tak-tik-tuk bunyi metronom, lalu masuk ke setiap ketuk birama ganjil yang mengalir dalam komposisi-komposisi Filipus Cahyadi.
Baca juga:
Keterlibatan Restha Wirananda pada piano, Ferdinand Chandra pada double bass, Kuba Skowronski pada flute dan tenor saxophone, hingga Arini Kumara pada cello menambah kaya eksplorasi Filipus dalam komposisinya. Terkadang tensi emosional terasa saat instrumen double bass, piano, atau cello berusaha menjaga ritme, sementara hentakan drum Filipus bermain-main untuk menghancurkan tatanan ritmik.
Hal menyenangkan dari eksplorasi odd meter adalah upaya mempertahankan ketuk selagi menghancurkannya, atau jika beruntung ketuk bisa dipertahankan tanpa harus membangun ulang ritme karena sang ketuk lari entah kemana. Pada karya komposisi Filipus, keberuntungan itu terjadi dalam komposisi “Lucky Number”, di mana hitungan birama tujuh begitu terdengar ganjil sekaligus genap. Secara teknis mungkin komposisi ini yang paling rumit untuk disimak dengan detail. “Lucky Number” memantik birama tujuh yang dirayakan bersama bahkan dalam keganjilannya.
Selain berlari dalam birama ganjil, Filipus Cahyadi Project membangun beberapa komposisinya dengan inspirasi pelog dari tradisi musik Sunda dan keroncong dari musik kosmopolit Betawi. Dua komposisi itu berjudul “Ganjil Genap” dan “Lima”.
Komposisi ini memperlihatkan upaya dialogis, antara apa yang dianggap tradisional dan modern. Meski begitu, komposisi ini tidak bertendensi mencari jalan alternatif bagi kebuntuan antara tradisionalitas dan globalitas. Komposisi ini lebih mengupayakan eksplorasi teknis berbasis modern jazz soal tradisi musik lokal di tanah Sunda hingga Betawi.
Dialog antara yang tradisional dan global dilakukan persis seperti dalam komposisi dialogos antara yang ganjil dan genap. Komposisi Filipus Cahyadi adalah upaya mencapai titik temu antara berbagai keganjilan yang genap, kegenapan yang ganjil, tradisionalitas yang global, globalitas yang tradisional, dan berbagai bineritas yang dipadukan melalui improvisasi dialogis, bahwa titik-titik yang berbeda dan terlihat saling mengganjil ternyata bisa dirayakan dalam perayaan estetik.
Pertunjukan ditutup dengan sambutan hangat tepuk tangan audiens, entah bagaimana telinga audiens ikut menari dalam keganjilan-keganjilan yang disajikan Filipus Cahyadi Project.
Estetika Ganjil dan Jazz Sebagai Dialog
Dalam tradisi jazz modern, eksplorasi tentang keganjilan memiliki jejak sejarah yang panjang. Pada tahun 60-an, Dave Brubeck, musisi jazz Amerika Serikat, membuat album Time Out di mana terdapat komposisi berjudul “Blue Rondo a la Turk” dan “Take Five” yang fenomenal. Hitungan 5/4, 9/8, dan permainan hitungan ganjil mengalir pada harmoni piano Brubeck, menjadikan komposisi dalam Time Out menjadi semacam lagu wajib untuk memahami eksplorasi odd meter.
Sebenarnya dalam eksplorasi jazz tahun 60 hingga 70-an, ada kerinduan untuk melihat musik global, musik Asia, Afrika, dan dunia Arab. Apa yang dianggap ganjil dalam tradisi musik Eropa menjadi hal-hal yang masif dieksplorasi. Dave Brubeck sendiri mendapat inspirasi membuat “Blue Rondo a la Turk” dari perjumpaan dengan seniman tradisi di Turki, Brubeck melihat betapa ritme yang dalam musik Barat dianggap ganjil begitu genap dan harmonisnya mengalir pada musik tradisi Turki.
Brubeck berdialog dan menyusun komposisi “Blue Rondo a la Turk” sebagai respons terhadap estetika ganjil musik tradisi Turki. Estetika ganjil ini menimbulkan pertanyaan penting: apa yang sebenarnya ganjil? Siapa yang melihat dan mengklaim suatu ekspresi estetik sebagai keganjilan?
Kisah Brubeck dengan seniman Turki memperlihatkan jazz sebagai dialog, ia adalah upaya membangun jembatan bagi suara-suara yang dianggap ganjil. Justru yang ganjil dan genap adalah suatu kenyataan dalam realitas kita, seperti juga hitam dan putih, lelaki dan perempuan, salah dan benar, emosional dan rasional, Timur dan Barat.
Baca juga:
Beberapa kali Brubeck merespons problem segregasi rasial di Amerika Serikat dalam karya komposisinya, dalam “The Real Ambassador” misalnya. Komposisi itu dibuat Brubeck saat grup musiknya ditolak tampil karena para musisi di dalamnya terdiri atas bermacam-macam identitas rasial. Pada masa segregasi rasial di Amerika Serikat, beberapa panggung pertunjukan jazz dan ruang publik lainnya begitu segregatif, ada ruang khusus orang kulit putih yang membuat orang kulit berwarna tak boleh masuk. Brubeck dengan komposisinya membangun jembatan bagi suara-suara yang dianggap ganjil, tak layak, dan disisihkan tatanan dominan.
Album Time Out adalah arsip penting dalam sejarah jazz, terutama dengan Brubeck yang bermain-main dalam hitungan ganjil.
Mencari Jalan Keluar Bineritas
Mendengar Filipus Cahyadi Project adalah pantikan untuk melihat pandangan yang lebih luas soal eksplorasi odd meter yang muncul pada jazz modern. Sebagai dialog estetik, jazz selalu berupaya mencari jalan keluar dari bineritas, dari dua titik pijak realitas yang dibekukan secara parsial. Dualitas tentang apa yang ganjil dan genap, hitam dan putih, sebenarnya hal alamiah. Tetapi kemudian ia menjadi berbahaya ketika ditempatkan secara parsial, dibekukan, dibuat berbenturan, seakan-akan dualitas ini selalu perlu dipertentangkan.
Seperti yang Wynton Marsalis bicarakan, jazz adalah bahasa yang membuat tiap ekspresi kultural dirayakan dalam percakapan hangat, tanpa harus mengubah masing-masing partikularitas dan ciri khas identitasnya. Improvisasi menjadi basis utama jazz, improvisasi juga adalah simbol bagi kebebasan berpendapat dan dialog lintas batas.
Dalam dunia yang terpecah belah dan tersegregasi, jazz bisa menjadi interupsi estetik bagi keterbelahan dualitas. Merayakan keganjilan adalah merayakan keterbukaan kita untuk saling berdialog dan bermain-main dengan apa yang dianggap ganjil, genap, hitam, putih, dan dinding pemisah antara berbagai hal itu.
Editor: Prihandini N