Tidak ada wadah free jamming atau open jamming jazz di Eropa dan Amerika yang benar-benar bebas dan terbuka. Kalaupun ada, palingan hanya untuk kalangan tertentu saja, bahkan terkesan elitis. Hanya kalangan dekat atau musisi jazz profesional yang dapat bergabung.
Berbeda dengan itu semua, Jazz Mben Senen menawarkan sebuah jamming jazz yang inklusif. Semua orang dari berbagai kalang bisa melakukan jamming jazz di sini. Dari yang muda sampai yang tua, laki-laki maupun perempuan, pemula atau yang sudah pro, semua bisa bergabung di sini. Berlokasi di Bentara Budaya Yogyakarta, setiap Senin malam komunitas jazz ini melakukan jamming rutin.
Stereotipe Jazz yang Elit dan Eksklusif
Permainan yang ditampilkan JMS terlihat menarik dan cukup elit. Namun, nyatanya semua orang dapat masuk ke lingkaran tersebut tanpa ragu. Ada yang sekadar datang untuk menonton maupun sengaja datang untuk main musik. Ini yang akhirnya sedikit demi sedikit meruntuhkan stereotipe musik jazz yang kerap dianggap sebagai musik kalangan terbatas.
Stereotipe ini bukannya tidak berdasar. Kebanyakan pertunjukan musik jazz memang tidak seterbuka aliran-aliran musik lainnya. Di Indonesia sendiri penyebaran musik jazz tidak semasif musik populer. Bahkan masih kalah inklusif dibanding panggung-panggung dangdutan. Hanya konser besar macam Java Jazz serta bar tertentu yang menampilkan musik jazz. Walaupun belakangan muncul Ngayogjazz yang lebih memasyarakatkan musik jazz. Padahal kita tahu bahwa tujuan musik adalam menghibur masyarakat dan khalayak ramai, bukan hanya kalangan tertentu.
Penggemar musik jazz merupakan golongan minoritas di tengah gebyarnya konser-konser musik. Stereotipe itu membatasi gerak mereka. Karena dianggap elit, mereka kurang leluasa untuk menggoyangkan badan.
Inklusifitas Jazz Mben Senen
Nah, untuk menjembatani ‘yang elit’ dan ‘yang populer’ Jazz Mben Senen memberikan wadah untuk saling srawung. Jamming yang mereka hadirkan secara perlahan menarik perhatian anak muda untuk turut datang. Anak-anak muda ini diberikan kesempatan belajar dengan senior-senior di JMS. Itu pula yang disampaikan Ajie Wartono, salah satu pendiri JMS di ulang tahun ke-13 komunitas tersebut.
Walaupun masih belum terlalu terjangkau oleh khalayak umum, JMS memberikan kesempatan itu. Itu bisa dibuktikan dengan semua orang yang datang akan disambut dengan lapang. Tidak ada judgment ataupun anggapan aneh-aneh.
Upaya memasyarakatkan jazz yang dilakukan JMS bisa dilihat dengan pemilihan venue yang berada di Bentara Budaya Yogyakarta. Panggung sederhana tersebut bisa langsung dilihat dari pinggir Jalan Suroto, Kotabaru, sehingga setiap yang melintas bisa langsung menyaksikan jamming tersebut. Seolah memberikan penegasan tidak ada lagi tembok tebal yang memisahkan antara musik jazz dan masyarakat.
Tidak perlu risau untuk datang ke Jazz Mben Senen. Jika ragu karena status sosial dan fashion, kamu bisa melihat keberagaman di JMS. Banyak yang datang dengan kaus oblong dan sandalan saja, pulang ngantor, maupun sekadar mampir saja, alih-alih datang dengan proper dan necis.
JMS menjadi wadah yang luas untuk berekspresi dan menjalin relasi. Karena penonton dan pemain yang datang hadir dari berbagai kalangan, mulai dari pelajar hingga profesional. Tak jarang tiba-tiba muncul artis ibukota yang datang tanpa diundang, seperti Tompi, Bonita, hingga Bertha.
Selain itu pernah ada juga 2 bus rombongan pemusik dari Mojokerto gagal pentas di Jogja. Daripada tidak jadi pentas mereka diajak untuk jamming di JMS dengan memainkan seperangkat alat gamelan dan menampilkan fashion show batik secara dadakan. Pernah terjadi pula ada bapak-bapak yang bawa keronjot menghindari motor lain banting setir, lantas masuk Bentara dan menabrak yang sedang nge-jazz. Nah ini benar-benar kolaborasi yang atraktif.
Awal Mula Jazz Mben Senen
Dikutip dari gudeg.net keberadaan Jazz Mben Senen di Bentara Budaya Yogyakarta tidak terlepas dari peran GP Sindhunata (pendiri Bentara Budaya Yogyakarta), mendiang Djaduk Ferianto, mendiang Seno, Bambang Paningron, Hatta Kawa, Ahmad Arief Noor, serta Ajie Wartono.
Jazz Mben Senen bermula dari Jogja Jazz Club yang melakukan jamming jazz di Press Corner Yogyakarta. Melajutkan kegiatan Jazz Gayeng yang diselenggarakan sejak tahun 1999. Mulanya kegiatan ini dilaksanakan dalam format acara festival tahunan untuk menampung dan mengembangkan musik Jazz di Yogyakarta.
Sebenarnya sejak awal Maret 2003 Jazz Mben Senen sudah dimulai dari acara Jazz on The Street. Namun kegiatan tersebut belum berjalan secara rutin. Ide tersebut dimotori oleh Agung Prasetyo dari Jogja Jazz Club. Pada tahun 2007, penggemar jazz di Yogyakarta akhirnya menyelenggarakan Jazz on The Street di Boulevard UGM, tepatnya di depan gedung Purna Budaya Yogyakarta. Jazz on The Street mulai dilakukan secara rutin setiap satu bulan sekali pada hari Sabtu di minggu pertama setiap bulannya. Namun, setelah berjalan dua tahun, kegiatan tersebut dirutinkan menjadi seminggu sekali dan berlokasi di Bentara Budaya Yogyakarta.
Aji Wartono menceritakan bahwa nama Jazz Mben Senen itu dicetuskan dalam perjalanannya ke Semarang naik mobil tua (mobil VW) bersama Alm. Djaduk Ferianto. Setelah tercetus nama tersebut, mobilnya malah mogok, tapi untungnya Jazz Mben Senen tidak mogok sampai sekarang.
***
Editor: Ghufroni An’ars