Dapatkah makhluk sekecil kutu mengalahkan raksasa seperti gajah?
Pertanyaan itu sama halnya dengan pertanyaan dapatkah rakyat biasa mengalahkan raksasa penguasa yang membuat mereka sengsara. Barangkali, kita akan malu-malu saat mengakui bahwa segala upaya kritis pada penguasa—entah perihal kerusakan lingkungan, pelanggaran HAM, kebijakan pemicu kesengsaraan—tidak terlalu berguna. Sebab, penguasa tinggal mengabaikannya saja.
Empati penguasalah yang diharapkan saat orasi-orasi di jalan dilantunkan, pamflet-pamflet disebarkan, sindiran-sindiran digumamkan. Namun, masalahnya adalah bagaimana jika para penguasa itu tak memiliki empati dan tak peduli dengan kritik yang dilantunkan? Seperti perkataan Alexander Solzhenitsyn:
“Kami tahu bahwa mereka berbohong. Mereka tahu bahwa mereka berbohong. Mereka tahu bahwa kami tahu bahwa mereka berbohong. Namun mereka masih juga berbohong.”
Menanggapi fenomena ini, biasanya ada imaji populer seperti, “Yang penting kan kita berusaha, urusan mereka berubah atau tidak biarlah waktu berkata.” Imaji ini memalingkan fakta bahwa yang menderita semakin menderita dan yang berkuasa semakin berkuasa sekaligus mengaburkan bahwa masih banyak upaya yang belum dilakukan. Barangkali, dapat kita amini apa yang Howard Zinn serukan dalam Ketidakpatuhan dan Demokrasi:
“Ketika keputusan-keputusan tak adil menjadi sebuah aturan, maka pemerintah beserta aparat-aparatnya harus ditumbangkan.”
Jelas kiranya bahwa para penguasa durjana tak akan kalah dengan demonstrasi keliling dengan bernyanyi-nyanyi, advokasi kebijakan pada badan hukum yang telah dikuasai, maupun aksi sindiran-sindiran yang dilakukan. Bukan berarti aksi-aksi tersebut percuma karena aksi tersebut dibutuhkan untuk menjaga napas perjuangan. Namun, akankah impotensi gerakan semacam ini kita biarkan?
Baca juga:
Barangkali, kita dapat mempelajari dan menjadikan qudwah (contoh) apa yang telah dilakukan oleh Lucio Urtubia; seorang kuli bangunan yang membuat gemetar bank sentral Amerika, sosok kutu yang mengalahkan gajah, yang baru-baru ini kisahnya difilmkan dengan judul A Man Of Action (2022), agar impotensi taktik dan strategi dapat kita obati.
Utopia Lucio Urtubia
Lucio Urtubia lahir pada 1931 di sebuah tempat bernama Cascante di Spanyol, ia hidup miskin bersama adik dan ayahnya yang sakit. Saat Lucio berumur 11 tahun, ia merampok beberapa tempat demi mencukupi kehidupan juga mengobati ayahnya. Sebab, tak ada yang mau mengulurkan bantuan.
Tak lama kemudian, adiknya berangkat ke Perancis untuk mengadu nasib dan mencari kehidupan yang lebih baik, sedangkan Lucio masih harus menjalani wajib militer. Pada tahun 1952, Lucio berangkat ke Paris untuk menyusul adiknya yang telah memiliki kekasih Bernama Patrick, darinyalah ia memperoleh pekerjaan sebagai kuli bangunan.
Saat bekerja, watak tidak suka diatur Lucio yang menempel sejak kecil membuat teman-teman satu profesinya menyebutnya sebagai seorang anarkis. Karena anggapan ini, kawan-kawan kuli bangunan Lucio yang memiliki beberapa koneksi gerakan mengajaknya bersilaturahmi dengan ide-ide anarkisme, mulai dari Michael Bakunin, Peter Kropotkin, Sebastien Faure, hingga Buenaventura Durruti. Perkenalan Lucio dengan ide-ide ini menariknya pada jejaring gerakan serupa hingga ia bertemu dengan Quico Sabate, seorang anarkis dengan praktik ekspropriatif seperti Durruti dan Ascaso.
Ekspropriasi adalah suatu gerakan perebutan (dengan merampok atau merampas) harta si kaya untuk dikembalikan pada si miskin. Sebab, pada awalnya, si kaya-lah yang merampas milik si miskin. Jadi, perlu ditegaskan bahwa ekspropriasi adalah pengembalian—dan bukan perampokan semata—hak si miskin yang dirampas oleh si kaya.
Bersama Quicolah Lucio mempelajari dan menerapkan ekspropriasi—dalam bentuk merampok bank—dengan aturan pembagian tiga bagian: sepertiga untuk gerakan; sepertiga untuk keluarga tahanan yang kesusahan; sepertiga untuk yang melakukan aksi.
Selepas kematian Quico karena tertembak polisi, kawan-kawan Lucio mulai khawatir dengan aksi perampokan bank yang semakin rentan. Mereka pun menggunakan uang sisa rampokan untuk membeli percetakan guna menjalankan gerakan non ekspropriatif seperti diskusi dan sebar pamflet. Di tengah perjalanan, Lucio bertemu Anne, perempuan idealis dengan impian mengubah dunia yang kelak menjadi istrinya.
Bersama Anne, Lucio menemukan ide ekspropriasi lain, yakni pemalsuan. Ia pun mengajak Patrick yang bekerja sebagai konsultan finansial untuk membantu memalsukan dolar. Aksinya pun berhasil karena orang-orang di bank tak sadar bahwa dolar yang mereka tukarkan palsu.
Lucio merasa bahwa strategi pemalsuan ini dapat meruntuhkan sistem kapitalis-imperialis yang ada. Ia pun mengusulkan strateginya pada duta besar Kuba—mengingat saat itu Kuba sedang berperang melawan Amerika Serikat—yang kemudian mempertemukannya dengan Che Guevara.
Lucio berkata pada Che, “Jika kita membuat jutaan uang seperti ini dan membanjiri dunia dengan dolar palsu, bank-bank Amerika akan runtuh.” Che menganggapnya utopis karena tak mungkin raksasa Amerika Serikat dapat kalah hanya dengan dolar palsu. Kutu tak mungkin menang melawan gajah.
Saat Kutu Menang Melawan Gajah
Lucio ditahan akibat ketahuan memalsukan uang. Setelah bebas, Lucio kembali bekerja sebagai kuli bangunan dan dibayar dengan cek perjalanan (suatu inovasi alat transaksi yang dikeluarkan oleh bank Amerika Serikat). Ia pun mendapat ide memalsukannya—memalsukan cek perjalanan jauh lebih mudah ketimbang memalsukan uang. Namun, ide ini ditentang oleh teman dan istrinya karena mereka ingin hidup tenang. Anne berkata bahwa mengubah dunia adalah suatu kemustahilan.
Lucio tak peduli, ia tetap menjalankan rencananya. Pemalsuan cek pun berhasil. Cek palsu bernilai jutaan dolar telah tersebar ke mana-mana, membuat kerugian amat besar pada Bank Sentral Amerika Serikat. Pencarian pelaku pemalsuan pun gencar dilakukan.
Lucio memiliki taktik canggih dalam menukarkan cek tersebut agar tidak kentara. Mula-mula, ia membeli satu cek asli dan memalsukannya menjadi ribuan salinan, lalu menukarnya secara serentak di tempat yang berbeda-beda. Hal ini membuat bank tak menyadari hingga cek tersebut sampai di pusat. Lambat laun, reputasi bank sentral kian menurun di hadapan bank-bank lokal karena aksi pemalsuan yang semakin masif. Kerugian puluhan juta dolar pun tak terhindarkan. Pihak bank sentral takkan menyangka bahwa dalang kerugian mereka adalah seorang tukang bangunan.
Saat Lucio ditangkap, bank sentral menginginkan ia dihukum seberat-beratnya dan membayar ganti rugi yang setimpal. Lucio sama sekali tak gentar dan justru menawarkan sebuah kesepakatan tidak masuk akal, yakni pembebasannya, yang jelas ditolak mentah-mentah. Lucio mengingatkan agen yang menangkapnya bahwa pemalsuan akan tetap berlanjut dan semakin masif walaupun ia ditahan. Sebab, plakat cetak cek palsunya masih ada di tangan teman-temannya. Ketika agen bank sentral mengumumkan bahwa mereka telah berhasil menangkap dalang pemalsuan, tapi pemalsuan masih berjalan, jelas mereka akan dipecat dan reputasi bank sentral beserta ceknya akan hancur berantakan.
Akhirnya, pihak bank sentral menyetujui kesepakatan pembebasan Lucio, juga memberinya uang yang melimpah, asal plakat cetak milik Lucio diserahkan. Siapa sangka, bank terkuat di dunia menyerah pada seorang kuli bangunan?
Lucio Urtubia wafat pada 18 Juli 2020 di Paris. Sosoknya menginspirasi pergerakan di seluruh dunia. Lucio Urtubia diingat sebagai kutu yang berhasil menaklukkan gajah. Ia tetaplah seorang tukang bangunan dan juga anarkis seumur hidupnya. Banyak yang terkesima dengan kisah hidupnya. Sutradara Albert Boadella menyebut, “Lucio adalah seorang Quijote yang tidak berperang melawan kincir angin, tetapi melawan raksasa sejati.”
Urtubia dan Gerakan Kita
Menyimak kisah Lucio Urtubia, Bertolt Brecht berkata, “Kejahatan merampok bank tidak sebanding dengan kejahatan mendirikan bank”. Apa yang dilakukan Lucio Urtubia jelas melampaui doktrin-doktrin moral seperti perampokan dan pemalsuan adalah hal buruk.
Ia tak peduli dengan narasi-narasi moral seperti itu dan ketidakpeduliannya jelas berbeda dengan ketidakpedulian bank-bank yang menimbulkan kesengsaraan, pemerintah yang merenggut hak rakyatnya, juga perusahaan-perusahaan yang merusak alam. Moralitas mutlak yang dianut oleh Lucio Urtubia adalah bagaimana cara menumbangkan sistem yang menimbulkan kesengsaraan. Oleh karena itu, segala taktik dan upaya harus dikerahkan.
Suatu taktik dan gerakan akan impoten sekaligus melempem apabila masih terbelenggu sekat norma-norma yang menimbulkan keraguan. Taktik dan gerakan haruslah kukuh dengan keyakinan berupa idealisme keberpihakan pada yang lemah dan bahwa mereka yang menimbulkan kesengsaraan mesti ditumbangkan.
Tulisan lain oleh Mohammad Rafi Azzamy:
Dituduh utopis dan tidak masuk akal? Lucio Urtubia dalam Mi utopía vivida mengatakan:
“A menudo se nos echa en cara a las y los utópicos que somos inocentes, ingenuos, crédulos. Tratan así de alejar todos los aspectos de nuestras vidas en los que la utopía ya ha echado raíces, haciéndonos creer que no es posible un futuro o un presente mejor.” [Kami—utopis—kerap disalahpahami karena naif, mudah tertipu. Dengan cara ini, mereka mencoba menjauhkan semua aspek kehidupan kita di mana utopia telah mengakar, membuat kita percaya bahwa masa depan atau masa kini yang lebih baik tidak mungkin.]
Idealisme dan utopia adalah naluri alami kita saat merespons realitas yang bermasalah. Ia berguna sebagai alat kita meraih masa depan yang lebih baik. Lalu, apa yang mesti kita pelajari dari Lucio? Memalsukan rupiah? Merampok bank di sekitar kita?
Tiap-tiap zaman memiliki taktik dan strategi yang berbeda-beda. Karenanya, idealisme, keberanian, juga gerakan Lucio Urtubia dapat kita jaga sekaligus kita sesuaikan bentuknya dengan zaman kita. Entah dengan internet, dengan gadget, dengan kecanggihan teknologi, atau dengan segala hal yang kita punya. Jelasnya, semangat Lucio Urtubia dapat kita jadikan obat mujarab untuk mengobati impotensi dalam taktik dan gerakan yang ada.
Editor: Emma Amelia
Underdogs!!