Mendengarkan musik merupakan rutinitas yang dilakukan oleh hampir semua orang di dunia ini. Mulai dari yang tinggal di perdesaan sampai perkotaan. Musik adalah bagian hidup yang sudah tak terpisahkan dari keseharian, menemani saat bekerja, bersantai sampai menjelang mata terpejam. Musik pun memiliki sejarah yang panjang, sebuah produk budaya manusia yang tak lepas dari ekosistem. Nada-nada indah yang kita nikmati, berasal dari proses belajar manusia dengan tempat yang mereka tinggali.
Seperti yang dikatakan oleh Ian Morley (2013) dalam bukunya yang berjudul The Prehistory of Music: Human Evolution, Archaeology, and the Origins of Musicality, bahwa musik dilahirkan dari evolusi kebudayaan yang secara realitas erat dengan sejarah perkembangan corak produksi manusia dan bagaimana ia hidup. Ini dapat dilihat dari temuan-temuan alat musik primitif yang rata-rata berbahan tulang dan kayu. Sehingga dapat dikatakan bahwa perkembangan musik tidak lepas dari perubahan struktur ekosistem, corak produksi dan situasi sosial dalam perkembangan sejarah umat manusia.
Pada perkembangannya, musik memiliki keterkaitan erat dengan aneka persoalan sosial, termasuk politik, gerakan dan keagamaan. Seperti yang disampaikan oleh Chaterine Bateson (2019) dalam bukunya War and Music, sekilas ia menyampaikan bahwa musik merupakan salah satu kekuatan untuk menggerakkan orang. Baik saat perang dengan terompet dan genderangnya, atau lagu-lagu pembakar semangat saat perang kemerdekaan atau mempertahankan suatu keyakinan.
Musik dan Gerakan Sosial Global
Musik sebagai sebuah kebudayaan, memiliki nilai tradisi yang kuat, bahkan direproduksi dalam sebuah situasi dan kondisi dalam suatu wilayah. Seperti musik sebagai simbol, seperti pada tahun 1960 di mana gelombang protes meluas terutama pada isu hak asasi manusia. Musik menjadi salah satu hal yang tak terpisahkan, nyatanya folk american atau yang dikenal sebagai folk revival atau kini dikenal sebagai genre folk rock, telah menjadi dominan dalam mempengaruhi orang untuk terlibat dalam gerakan. Bahkan menjadi sumber pengetahuan dan menginsipirasi hampir seluruh anak muda di dunia.
Seperti keberadaan Hippie Movement di mana musik menjadi salah satu yang dominan dari gerakan anti perang tersebut, terutama saat itu sebagai sarana protes atas perang Vietnam. Gerakan ini pun berkembang menjadi gerakan hak asasi yang cukup luas. Pada saat itu, kurang lebih tahun 1963, musisi-musisi seperti Baez, Pete Seeger, Guthrie, Bob Dylan dan lainnya tampil di barisan pawai Martin Luther King di Washington dan menyanyikan “We Shall Overcome“, sebuah lagu yang telah diperkenalkan oleh People’s Songs. Harry Belafonte juga hadir pada kesempatan itu, seperti halnya Odetta, yang diperkenalkan Martin Luther King sebagai “ratu musik rakyat” ketika dia menyanyikan “Oh, Freedom“. Saat itu turut hadir pula SNCC Freedom Singers yang personelnya kemudian membentuk Sweet Honey in the Rock, seperti yang dituliskan oleh Anne Kelly (2011) dalam sebuah paper berjudul “Wasn’t that a Time:” Pete Seeger and Folk Song Activism in the Cold War Era, 1948 – 1972.
Perkembangan musik sebagai sarana mobilisasi tidak berhenti pada tahun 1960, lalu berkembang dari tahun 1970 dan 1980 dengan tajuk gerakan yang berbeda-beda, ada gerakan yang lebih condong ke ide liberalisme dan juga isu-isu kesetaraan terutama anti-diskriminasi rasial, seperti perkembangan hip-hop pada 70-an di pinggiran kota New York. Perkembangan itu beberapa juga tidak lepas dari situasi politik, terutama diskriminasi ras yang berkembang di Amerika, sepanjang tahun 60-70-an muncul Black Art Movement yang menjadi salah satu gerakan seni yang menentang diskriminasi dan aneka penindasan pada warga kulit hitam, seperti yang disampaikan oleh Gibran (2010) dalam naskahnya yang berjudul The condemnation of blackness: race, crime, and the making of modern urban America.
Tidak hanya di situ saja, pada tahun yang sama musik rap juga berkembang di Kuba sebagai sarana protes dan upaya menyampaikan pesan. Marc D. Perry (2016) dalam catatannya yang berjudul Negro soy yo : hip hop and raced citizenship in neoliberal Cuba mengungkapkan jika hip hop tumbuh semakin populer di Kuba pada 1980-an dan 1990-an melalui periode krisis Kuba, yang salah satunya disebabkan oleh jatuhnya Uni Soviet. Karena selama periode tersebut penduduk miskin dan kulit hitam di Kuba sangat sulit kehidupannya, hip hop menjadi cara bagi penduduk keturunan Afro di negara itu untuk merangkul kegelapan mereka dan mengartikulasikan tuntutan kesetaraan rasial bagi orang kulit hitam di Kuba.
Konteks Indonesia
Catatan-catatan singkat di atas hanya sebatas rekaman mengenai bagaimana musik masuk pada ruang sosial, berkembang mengikuti ruang yang dari waktu ke waktu, terutama pada corak ekonomi politiknya. Paling tidak, musik dan gerakan sosial telah menjadi sebuah semangat dan meluas ke seluruh dunia, mengilhami beberapa gerakan serupa namun dalam konteks yang berbeda, tak terkecuali di Indonesia saat ini.
Mungkin ada beberapa musisi yang boleh dikatakan berkontribusi dalam memantik sebuah gerakan sosial, karena lagu-lagunya berisi potret sosial yang terjadi, sebagai sebuah pengetahuan kepada banyak orang. Seperti Iwan Fals yang setia dengan lagu-lagu bertajuk fenomena sosial, serta sebuah ungkapan politik saat era Orde Baru bahkan saat memasuki era reformasi, seperti dalam lagunya berjudul “Bongkar (1989),” “Manusia Setengah Dewa,” “Orde Paling Baru,” dan “Desa,” serta lagu-lagu lainnya yang sarat kritik sosial. Lagu-lagu tersebut rilis tahun 2004 dalam album “Manusia Setengah Dewa.”
Selain Iwan Fals, terdapat musisi rock seperti Slank, Boomerang, sampai genre punk populer yang diwakili oleh Marjinal yang rajin memproduksi lagu bertemakan sosial politik. Lagu-lagu mereka mengudara di setiap ruang-ruang sosial anak muda, juga menjadi salah satu lagu kesukaan masyarakat pinggiran untuk sekedar bersuara mengenai rintihan kesulitan yang membelit, seperti terjebak dalam jurang kemiskinan. Di mana lirik-liriknya mewakili setiap suara yang tak bisa disalurkan, karena terhambat dan tersumbat oleh dinding yang diciptakan oleh elite-elite politik, kini mungkin lebih populer disebut oligarki.
Jika contoh di atas adalah yang sering diketahui orang atau boleh dikatakan mainstream. Ada juga musisi yang benar-benar terlibat dalam gerakan sosial, boleh dibilang mereka lahir dari gerakan dan turut memenuhi ruang-ruang musik independen, menjadi sebuah sub-kultur dan counterculture. Mungkin kita mengenal salah satu legenda rap yang tetap konsisten dan terlibat dalam gerakan sosial seperti Morgue Vanguard. Tidak hanya itu, musisi jalanan yang mengorganisir diri dan membentuk grup musik alternatif seperti KepaL SPI dan Pandai Api/Sebumi juga menjadi pemantik gerakan sosial. Lagu-lagu mereka berkumandang lantang dalam setiap kobar gerakan sosial, terutama yang tengah tergusur dari ruang hidupnya. Karena di setiap bait lirik lagu-lagu mereka adalah pengetahuan dari rekaman atas realitas politik dan memantik semangat untuk bergerak.
Musik bernilai universal, mengisi ruang-ruang sosial dan menjadi bagian dari keseharian serta problem-problemnya. Menjadi sarana untuk belajar, berbagi dan memanggil orang lain untuk terlibat dalam sebuah aktivitas, salah satunya gerakan sosial. Menjadi simbol dan sarana memobilisasi orang untuk memperjuangkan sebuah nilai dan keyakinan.
***
Editor: Ghufroni An’ars
Wegelaseh, fresh dan tidak monoton tulisannya. Sederhana bagi pemula untuk memahaminya