Sang Legenda

Menyambut Malam dan Puisi Lainnya

Hilmy Almuyassar

1 min read

Sebelum Berangkat Kerja

Pagi sekali—antara kini. Dan
pagi-pagi terlewati.
Sebelum berangkat kerja, beberapa langkah dari sarapan ini berdiri.
Kudapati seorang ibu kehilangan
niat pergi berbelanja, dan
menjadi penyair jalanan.

Alih-alih membeli sayuran,
ia selalu hendaki diri
di depan pedagang.
Lalu membaca puisi getir
yang ditulis sendiri
pada tulang dahi
: tentang suaminya yang menyebalkan,
anaknya kurang ajar, cicilan hutang,
dan nasib-nasib buruk
yang menggiliri masa tua.

Matanya menggambarkan waktu.
Ia seperti telah membuka kata sejak malam-malam menumpuk diri,
menyiram pipi.
Membenam setiap retak
tangan di dada.
Barangkali hidup ialah
mencatat sejarah beserta tragedinya.

(2023)

Gorden Hitam

Memandang rumah dari
jendela kantor yang menganga.
Siang ini, rambutmu
merambat layaknya hari.
Seperti gorden hitam
di telinga. Kau melambai.
Komputer kehilangan fungsi,
aku tersenyum di depan sebuah nama.

Tembok gedung ditampar matahari
dan kursi dikerumuni
resah yang tak sudah.
Sementara kantor ini dingin.
Siapa yang bertanya di atas angin.
Barangkali meja. Barangkali
tangamu, di balik kata.

Adakah yang lebih gembira
selain suami, menggendong
laptop dan buku-buku, saat hari
sulit menentukan diri. Jam kerja
begitu getir, sementara mataku
mewadahi segala perpisahan
yang masih memuja pertemuan.

(2023)

Semut-Semut

Setelah semut-semut
berjajar membawa data dan
mengisi tabel-tabel nama.
Sebagian mencair jadi kopi
yang hangat dalam
selingkar pembicaraan.
Dan di sini sempoyongan,
pulang sendirian.
Pernahkah kau lihat semut
berjalan tanpa kawanan?

Sepi dari jauh mengitari
meja-meja kedai dan betapa
perut yang menggelak tampak perih.
Sedang dalam hempasan
di bawah motor aku hanya
mengedipkan angan. Mata hanya
ingin seseorang bicara,
saat pulang dari membajak
kertas-kertas digital dan
angka-angka.

(2023)

Menyambut Malam

Kosongkan harapan.
Pada langit sore kita
belajar merapikan yang retak.
Udara panas hitami dada.
Membisulah, coba panggil
kembali embun-embun pagi.

Asap knalpot, juga debu trotoar
adalah tungku di bawah motor-motor.
Dibius lampu merah yang meruah.
Pengamen boleh membedah jalanan. Senar-senar bergetar, kita
memikirkan jawaban.

Kau tahu, segerombolan helm
seperti kelereng yang
pernah kumainkan dulu.
Saat teman-teman masa kecil belum melihat uang sebagai mainan yang seru.

Begitupun denganku, sore
yang tak bisa memilih tinggal.
Biru tua menyambut, malam
mesti datang meski nanti harus
pula digantikan. Toko-toko besar
segera tutup, pedagang kaki lima
buka. Dan kita terjebak dalam
perhitungan panjang.

(2023)

Libur Kerja

Saat libur kerja nanti, aku
mengajakmu main arung jeram.
Kita lewati setiap batu-batu
dan turunan. Dari titik mulai
sampai titik setiap
persoalan selesai.

Arung jeram, barangkali
melepas segala yang dibuai
dalam dendam. Dijawab
riak-riak sungai, deras atau
tenang sekalipun. Sebab airnya
selalu membawa kerumitan
ke lautan luas. Biarkan segalanya
kembali dan membasahi
telinga kita masing-masing.

Dan hari libur yang
mengerikan adalah ketika
memahat penyesalan
di tengah pekerjaan. Maka
aku memilih arung jeram. Kita
akan saling berteriak
di atas perahu nanti. Dari titik
awal sampai titik setiap
persoalan berhenti.

(2023)

*****

Editor: Moch Aldy MA

Hilmy Almuyassar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email