Sebagai seorang pengajar, akademisi, dan praktisi, saya mengamati betul bagaimana rekan-rekan mahasiswa yang saya ajar terkadang takut untuk mengungkapkan pendapat atau sekadar bertanya tentang materi yang saya ajarkan. Kebetulan, di kampus saya mengajar materi keuangan, materi yang terlihat sangat membosankan, sulit, dan banyak bersinggungan dengan angka, tetapi justru sangat berperan dalam mendukung latar belakang mereka sebagai sarjana di bidang manajemen dan akuntansi.
Saya heran, apakah mereka khawatir jika bertanya atau sekadar mengungkapkan pendapat, mereka akan dinilai salah oleh saya sebagai pengajar mereka? Tentu saja, saya tidak akan searogan itu untuk memberikan nilai E kepada mahasiswa yang keliru dalam menjawab atau sekedar menanyakan hal yang sangat receh sekali pun. Namun, saya selalu mengapresiasi keberanian mereka dalam mengungkapkan pendapat di antara teman-teman sekelasnya, yang belum tentu berani untuk mengungkapkan pendapat di depan umum, terlebih di depan dosen yang dianggap memiliki kualifikasi untuk menjawab dan memahami sebuah fenomena dan permasalahan.
Perspektif Social Cognitive Theory
Pada beberapa kesempatan lalu, saya tidak sengaja menemukan teori yang cukup menarik dari Albert Bandura yang dipopulerkan pada tahun 1986 dalam buku Social Foundations of Thought and Action: A Social Cognitive Theory. Singkatnya, teori ini membahas bahwa individu merupakan makhluk sosial yang pada dasarnya akan berusaha untuk mengobservasi lingkungan sekitarnya, seperti kondisi personal, perilaku, maupun lingkungan yang ada di sekitarnya, dan hasil observasi tersebut akan cenderung membentuk perilaku individu tersebut.
Baca juga:
Singkatnya, apabila seorang individu berada di lingkungan yang tidak suportif untuk membentuknya menjadi kritis, tentu saja secara tidak langsung ia akan beradaptasi untuk menjadi karakter yang tidak kritis. Individu tersebut mengikuti kondisi lingkungannya. Ia akan menjadi apatis dan cenderung menghindari resiko yang membahayakan dirinya. Inilah yang terjadi pada mahasiswa yang saya ampu.
Teori ini menggugah pikiran saya, bahwa seharusnya sejak dini mahasiswa sudah harus mampu berpikir kritis dan berani untuk menyampaikan pendapatan tanpa harus dibebani dengan rasa salah dan keliru. Dengan adanya keberanian untuk berpikir kritis, secara tidak langsung akan tercipta pola pikir dan sudut pandang yang lebih dewasa, apalagi setelah mereka lulus dari bangku kuliah. Para mahasiswa tersebut akan bersinggungan langsung dengan lapisan masyarakat yang memiliki berbagai karakteristik.
Menciptakan Lingkungan Sehat dan Ruang Diskusi yang Adaptif
Sebagai seorang pengajar, saya selalu berusaha untuk menempatkan diri saya bukan sebagai dosen yang harus ditakuti, melainkan sebagai rekan diskusi yang terbuka akan masukan, pandangan, maupun kritik. Mahasiswa akan lebih nyaman untuk membuka dirinya apabila saya menganggap mereka sebagai rekan, tetapi tetap dengan batasan-batasan dan norma-norma tertentu yang saya tetapkan. Harapannya, begitu mereka sampai di kelas, ruang keceriaan terhadap diskusi bisa timbul, dan mereka tidak lagi merasa ada beban yang harus dipikul sebagai mahasiswa.
Baca juga:
Ketika saya berdiskusi dengan rekan-rekan dosen lainnya, mereka pun memiliki masalah yang serupa, ada kekhawatiran dari rekan mahasiswa untuk berpendapat atau sekadar bertanya masalah materi. Adanya sekat yang berjarak membuat intensitas ruang diskusi menjadi terbatas dan terhalang. Saya pun merasa bahwa hal tersebut tidak boleh berlarut-larut, karena seyogyanya pembelajaran yang terjadi di bangku perkuliahan harus menciptakan ruang diskusi yang sehat, solutif, dan adaptif untuk mendukung perkembangan mahasiswa.
Dosen, sebagai penanggung jawab di dalam ruang diskusi dan pembahasan ilmiah di kampus, harus mendukung terbentuknya situasi dan kondisi tersebut. Sekarang, bisa Anda bayangkan bagaimana rasanya menjadi mahasiswa yang bertanya tetapi dosen meresponsnya dengan cara yang terkesan mengintimidasi atau merendahkan, seperti misalnya, “Masa sekelas mahasiswa harus bertanya model pertanyaan seperti itu?”. Kembali lagi pada teori SCT yang sebelumnya saya jelaskan, hal tersebut akan membentuk individu yang pesimis karena tidak ada ruang adaptif yang tercipta. Mahasiswa akan malas dan bahkan cenderung takut untuk menyampaikan pendapat.
Idealisme yang Terukur
Saya pun pernah merasakan diajar oleh dosen yang dianggap “killer”, yang tak segan-segan memarahi mahasiswa karena tidak bisa menjawab pertanyaan atau bahkan merendahkan mereka apabila menanyakan hal-hal yang dianggap bodoh atau tidak penting. Sebagai seorang dosen, saya memiliki idealisme, bahwa mahasiswa harus mampu menempatkan diri sebagai seorang pemikir yang kritis dan tidak takut untuk menyampaikan pendapat.
Baca juga:
Harapan saya pun tidak muluk-muluk, saya selalu berdoa agar seluruh mahasiswa yang saya ajar terus berani menjalani kehidupan setelah perkuliahan. Jangan takut bersaing dengan para mahasiswa lulusan universitas ternama sekali pun, sebab di lingkungan masyarakat dan di lingkungan kerja, mereka akan dinilai secara objektif berdasarkan kapabilitas, kompetensi, serta integritas mereka kepada pimpinannya. Jadi, sekali lagi, saya menekankan kepada rekan mahasiswa untuk belajar berani berpikir kritis sejak di bangku perkuliahan, sebab di bangku perkuliahanlah kesempatan untuk menempa diri terbuka lebar.
Editor: Prihandini N