Pergerakan Mahasiswa Harus Lebih dari Sekadar Turun ke Jalan

Mario Angkawidjaja

3 min read

Tak bisa dimungkiri jikalau pergerakan mahasiswa memang memiliki peran yang penting dalam merawat demokrasi. Bahkan, pergerakan mahasiswa menjadi lokomotor perubahan politik Indonesia dari rezim otoriter menuju rezim yang demokratis, setidaknya pada tataran prosedural. Namun, setelah sekian lama menapaki perjalanan baru bangsa ini, muncul pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab: apakah ini demokrasi yang kita kehendaki?

Keraguan demi keraguan muncul ke permukaan. Bahkan, pada kasus tertentu berakhir dengan sikap kecewa dan rasa tak puas terhadap demokrasi. Kepercayaan terhadapnya kian hari kian meluntur. Dengan birokrasi yang gemuk dan institusi politik dan pemerintahan yang berjamuran dari pusat sampai daerah, tidak jua mampu memenuhi janji-janji manis yang diumbar oleh demokrasi. Merosotnya kepercayaan masyarakat tersebar merata, mulai dari kepada pembuat hukum sampai penegak hukum.

Lantas, ketika public unrest kian meluas, dapatkah kita mengandalkan pergerakan mahasiswa sebagaimana ketika Reformasi 1998?

Baca juga:

Belajar dari Reformasi

Selama ini saya mencermati kalau fokus pergerakan mahasiswa masih berlarut-larut pada angel of attack yang itu-itu saja. Saya menduga ini disebabkan karena kebanyakan mahasiswa terlalu terpaku pada puncak gunung es. Dengan kata lain, sasaran kritik sebatas pada tataran eventual atau symptom semata, jarang sekali sampai menyusuri sumber masalah yang lebih struktural. Goal (tujuan) pergerakannya pun akhirnya bersifat reaktif dan jangka pendek, alih-alih antisipatif dan berkelanjutan.

Apabila kita menengok ke belakang, perjuangan yang melelahkan pada saat Reformasi rupanya tidak berhasil menyediakan gunting yang cukup tajam untuk memutus rezim Orde Baru. Seolah-olah persoalan selesai ketika Soeharto turun, padahal dengan naiknya Habibie ke takhta presiden, menunjukkan secara jelas bahwa jejak-jejak Orde Baru berhasil masuk (carry over) ke dalam sistem yang baru.

Sistem baru pada akhirnya tidak memberikan perubahan yang mendasar karena tetap dihuni oleh pemain-pemain lama. Tidak adanya gunting yang cukup tajam membuat para pemain lama berhasil mengonsolidasi kekuasaan dengan mudah. Perhatikan saja wajah-wajah di panggung politik dan ekonomi kita saat ini, nyaris tidak ada perubahan yang fundamental.

Peristiwa tersebut memberikan kita pelajaran yang penting bahwa melihat masalah hanya dari atas permukaan saja tidak akan menyelesaikan masalah apa-apa. Sebaliknya, justru membuat masalah semakin pelik. Cara berpikir semacam itu tidak akan membawa kita beranjak lebih jauh dari apa yang pernah kita capai saat Reformasi.

Ribuan kali turun ke jalan, ratusan hashtag dan seruan bertebaran, kerongkongan sampai kering meneriakkan tuntutan, dikhianati oleh kawan yang dulu turun ke jalan, tapi kini merapat dengan kekuasaan—hingga kita sendiri bingung siapa yang menuntut dan dituntut. Pada akhirnya, kita tetap tidak beranjak keluar dari lingkaran setan.

Akhirnya, yang diperoleh dari demonstrasi hanya sebatas keberhasilan merilis hormon kebahagiaan (dopamine, endorphin, oxytocin, serotonin), bukan keberhasilan memecahkan persoalan. Turun ke jalan hanya jadi ajang untuk memamerkan identitas kelompok, menunjukkan kepada yang lain bahwa “kita” sudah berkontribusi. Bahkan, tak jarang demonstrasi berujung pada aksi perusakan fasilitas umum.

Namun, jangan salah sangka. Bukan berarti saya menolak demonstrasi sama sekali, hanya saja saya menilai perlu ada reorientasi demonstrasi. Utamanya berupa menggeser angel of attack dalam demonstrasi agar energi yang selama ini telah terkuras begitu besar bisa diarahkan untuk memberikan dampak yang lebih jangka panjang. Alangkah lebih baik ketika energi mahasiswa diinvestasikan untuk pergerakan yang lebih berkelanjutan dan mempertontonkan intelektualitas.

Baca juga:

Ini adalah Perang Panjang, Bung!

Untuk memenangkan perang, perlu dipastikan terlebih dahulu perang macam apa yang akan dihadapi: perang panjang ataukah perang pendek? Hal ini akan sangat menentukan strategi yang dipilih, akomodasi yang dibutuhkan, jumlah pasukan, dan seterusnya. Dengan kata lain, kita perlu memastikan apakah kita sedang mengikuti lomba maraton ataukah sprint? Sebab, bermaraton dengan mindset layaknya sedang sprint akan membuat kita kelelahan di tengah jalan.

Begitu pun dengan pergerakan sosial, kita perlu jernih melihat dan mendudukkan persoalan agar tidak salah strategi. Pergerakan mahasiswa kiranya perlu dimaknai sebagai sebuah perang panjang. Perjuangan yang tidak akan berakhir dalam hitungan tahun, apalagi bulan. Ini adalah perjuangan dengan skala lintas generasi.

Mungkin perlu 20, 30, 40 tahun untuk mencapai perubahan yang diharapkan, atau mungkin saja lebih dari itu, saya pun tidak tahu. Akan tetapi, yang jelas adalah jangan mengharapkan terjadinya perubahan secara instan. Boleh jadi kita sendiri tidak akan pernah merasakan buah dari perubahan tersebut.

Dengan cara berpikir seperti ini, mahasiswa diharapkan akan memberikan perhatian lebih pada apa yang ada di bawah permukaan. Mencoba menyelami masalah lebih dalam. Mencari persoalan yang lebih struktural.

Dalam pemodelan iceberg, dikenal 4 lapisan yang berguna untuk memetakan persoalan: events, patterns, structures, dan mental model. Suatu events terjadi hanya karena ada patterns yang melatarbelakanginya, patterns terbentuk karena structure tertentu, dan terciptanya structure bergantung pada mental model yang mendasarinya.

Singkatnya, pergerakan mahasiswa janganlah berlarut-larut pada tataran event saja, karena event yang serupa akan terjadi lagi ke depannya apabila pola yang membentuknya tidak pernah diubah. Setidaknya, pergerakan mahasiswa harus didesain untuk mengubah structure. Hanya dengan begitu pergerakan mahasiswa akan membawa perubahan yang mendasar.

Oleh sebab itu, pendekatan “evolusioner” akan lebih baik dibandingkan pendekatan “revolusioner” ala Reformasi. Reformasi 1998 telah memberikan pelajaran berharga bahwa perubahan revolusioner tanpa ditopang oleh kesiapan struktur (sistem) yang kokoh tidak akan bertahan lama. Perubahan yang terjadi tidak sebanding dengan risikonya yang begitu besar.

Seperti yang digambarkan oleh Acemoglu dan Robinson dalam buku Why Nations Fail, gerakan revolusioner pada umumnya hanya menciptakan penderitaan dan menjebak masyarakat pada siklus hukum besi oligarki. Dalam siklus ini, rezim yang tumbang digantikan oleh rezim yang serupa atau bahkan yang lebih buruk lagi.

Baca juga:

Menggeser Angel of Attack

Dari sekitar 270 juta penduduk Indonesia, hanya sekitar 9 juta orang yang beruntung untuk mendapatkan status sebagai seorang mahasiswa (per 2021). Melihat privilese yang dimiliki, sepatutnya mahasiswa mampu menawarkan suatu pergerakan sosial yang kental dengan nilai-nilai intelektualitas.

Cara berpikir system thinking perlu dibiasakan oleh mahasiswa agar pergerakannya tidak melulu bersifat populis. Mahasiswa justru memiliki tanggung jawab moral untuk menumbuhkan sense of urgency di masyarakat terkait problematika sosial yang lebih struktural. Tujuannya agar pemberdayaan seluruh elemen masyarakat dapat diarahkan pada perang panjang.

Jika mahasiswa saja—yang sering dilabeli agen perubahan—tidak mampu mengidentifikasi masalah yang lebih struktural, maka jangan harap pergerakan mahasiswa akan beranjak dari rutinitas yang membosankan, apalagi membawa negeri ini lebih jauh dari business as usual.

 

Editor: Emma Amelia

Mario Angkawidjaja

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email