Pengagum Severus Snape dan Uchiha Itachi.

Kuliah di Kampus yang Kebanyakan Mahasiswa Pekerja Banyak Tidak Enaknya

Beni Kusuma Wardani

5 min read

Inginnya hidup sukses. Wajar saja orang-orang melakukan segala cara, termasuk kuliah sambil kerja.

Bekerja adalah upaya mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk bertahan dan menunaikan hajat hidup. Kuliah untuk memvalidasi dan menambah pengetahuan seraya memperluas relasi sosial. Keduanya akan saling berkesinambungan meningkatkan derajat hidup.

Baca juga:

Biasanya, mahasiswa yang kuliah sambil kerja berasal dari keluarga kurang mampu yang ingin mengangkat derajat diri dan keluarga. Tak sedikit pula datang dari keluarga mampu lagi berkecukupan, yang tergerak karena referensi hidupnya. Entah karena ingin mandiri dari orang tua, mendapat tekanan karena berasal dari keluarga berada, mempertahankan derajat hidup keluarga, dan lain-lain. Tampak begitu ideal dan mulia.

Dominasi mahasiswa pekerja di perguruan tinggi kian meluas karena kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Kuliah dan bekerja lantas menjadi suatu keharusan yang mengendap pada asumsi umum, membuat kita berpikir seharusnya mahasiswa, ya, seperti itu.

Akan tetapi, percayalah, kuliah di kampus yang dominan mahasiswa pekerja tak seideal yang Anda bayangkan. Berdasarkan pengalaman saya sendiri, kuliah di lingkungan kampus seperti itu bakal menghambat kegiatan perkuliahan seperti kajian dan diskusi disiplin ilmu yang sedang ditempuh.

Di kampus, meski menekankan pada kemandirian belajar, bukan berarti tiap akademisinya terpisah satu sama lain. Masing-masing memiliki keterkaitan dan peran. Lingkungan kampus yang ideal terbentuk dari jalinan individu yang memiliki tujuan dan latar belakang berbeda, tapi tetap berada di suatu lingkungan sosial yang sama sehingga interaksi antar individunya menciptakan dialektika berdasarkan keilmiahan. Pengetahuan bisa berkembang dan kemajuan individu akan terbangun.

Kondisi demikian sulit diraih jika suatu kampus didominasi pekerja. Sebab, berdasarkan pengalaman saya, mereka akan menarik diri dari lingkungan akademik.

Kampus tempat saya kuliah adalah perguruan tinggi swasta yang berada di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur. Mahasiswa yang kuliah di sana tidak terlalu banyak. Biasanya warga lokal yang tidak diterima di perguruan tinggi negeri atau memang hanya kuliah untuk keperluan ijazah. Mereka yang hanya memerlukan ijazah sarjana ini biasanya sudah memiliki pekerjaan, tapi ingin naik jabatan atau memenuhi syarat administratif di pekerjaannya sekarang. Mereka cenderung pragmatis; hanya bergerak sebagai mahasiswa ketika mendapatkan keuntungan secara langsung dan bersifat material.

Padahal, mahasiswa seringnya didengungkan sebagai agen perubahan dan kontrol. Maksudnya, mahasiswa memiliki privilese berupa akses terhadap pengetahuan dan jaringan yang luas. Maka itu, peran mahasiswa dinanti-nanti masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dan kontrol atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak warganya.

Memang, bekerja adalah suatu upaya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup dan, jika mendapat hasil berlebih, bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier. Hanya dengan bekerja manusia mendapatkan upah. 

Bekerja bisa dipahami sebagai transaksi ekonomi, juga sebagai transaksi sosial. Individu atau kelompok masyarakat saling bertukar pekerjaan dengan yang lain, dengan syarat saling menguntungkan. Sementara itu, kuliah adalah suatu bagian proses hidup manusia dalam belajar dan menyiapkan bekal berupa pengetahuan dan pengalaman untuk terjun langsung ke masyarakat. Maksud dari terjun langsung ini ialah menjadi individu yang mandiri dan siap terlibat dalam realitas sosial (masyarakat) lengkap dengan segala gejolaknya. Tak hanya itu, kuliah juga menjadi wahana untuk menambah dan meningkatkan skill sehingga saat terjun ke masyarakat bisa dikomodifikasikan.

Jadi, antara kuliah dan bekerja adalah rangkaian proses hidup manusia yang membentuk suatu kausalitas. Namun, sekarang, berkat kemajuan teknologi informasi untuk mendapatkan pengetahuan, manusia bisa melewatkan fase kuliah. Manusia bisa langsung bekerja asal punya skill dan relasi.

Perlu dicatat juga bahwa esensi kuliah adalah pendidikan. Tidak hanya berfokus pada keterampilan dan pengetahuan, sekalipun itu salah satu tujuan, tapi juga pembangunan karakter.

Saya sendiri sering merasa kasihan dengan nasib para mahasiswa pekerja yang fokus dan tenaganya harus dibagi antara kampus dan tempat kerja. Namun, saya kesal dengan mereka karena tidak bisa diajak berkegiatan akademik karena sudah terlalu sibuk. Bahkan, mereka cenderung mengikuti kegiatan di kampus yang sekiranya langsung mendapatkan hasil material.

Hal itu sedang saya rasakan saat ini. Kondisi kampus saya sejak awal didesain untuk menaungi para pekerja pendidikan mendapatkan ijazah sarjana secara legal. Jika hanya kuliah saja di sini bakal terasa gagal dalam hidup seperti yang saya rasakan saat ini. 

Baca juga:

Kuliah sambil Kerja atau Kerja sambil Kuliah?

Dua penyebutan itu tampaknya sama, tapi sebenarnya berbeda. Kuliah sambil kerja itu tipikal mahasiswa yang prioritas utamanya kuliah, bekerja sebagai sambilan saja untuk mengisi waktu luang. Sementara itu, kerja sambil kuliah berarti prioritas si mahasiswa adalah bekerja, kuliah ala kadarnya saja yang penting mengisi daftar hadir, mengerjakan tugas, dan membayar UKT.

Ada alasan logis kenapa ekosistem kampus saya demikian. Pertama, kebanyakan anak Trenggalek yang memang ingin kuliah akan memilih kuliah di luar kota seperti Tulungagung, Malang, dan Yogyakarta. Biasanya, mahasiswa yang kuliah di daerah karena gagal masuk perguruan tinggi negeri seperti saya.

Selain itu, biasanya ada anak muda yang inginnya bekerja saja. Namun, karena dorongan orangtua, mereka terpaksa kuliah dan pilihannya di daerah. Alhasil, mereka bisa mengentaskan beban moralnya: tidak mengecewakan orangtua. Orangtua mana yang tidak bangga anaknya meraih gelar sarjana?

Selain dua di atas, ada satu alasan yang menurut saya paling tragis, yakni mahasiswa yang berasal dari keluarga pas-pasan, tapi bercita-cita tinggi. Salah satu cara menggapai cita-citanya adalah berkuliah. Mereka terpaksa bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga tanpa mengubur cita-citanya. Mereka harus bekerja keras untuk terus lanjut kuliah.

Untungnya, tak terlalu banyak mahasiswa seperti itu berkat program Kartu Indonesia Pintar (KIP) Kuliah. Setidaknya, beban biaya kuliah sudah tidak perlu ditanggung dengan berat penuh. Bekerja cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Seperti cerita adik saya di organisasi mahasiswa ekstra kampus PMII. Namanya sebut saja Mawar. Mawar rela memaruh hidup untuk bekerja di sebuah swalayan yang tak jauh dari rumahnya karena tak ingin membebani keluarganya. Hal itu ia lakukan sejak awal masuk kuliah. Awalnya, ibunya juga bekerja di Ibukota, tapi karena suatu kecelakaan, sang ibu absen dari dunia kerja.

Terkadang, Mawar kewalahan dan tak jarang menangis karena lelah dengan hidupnya. Di swalayan, ia bekerja sebagai kasir, tapi masih sering mengangkat barang kiriman di gudang. Hal itu dilakukannya sejak pagi sekitar pukul 08.00 hingga pukul 12.00. Siangnya, ia berkuliah hingga pukul 17.15. Namun, pulang kuliah ia tak bisa langsung bergegas ke rumah, melainkan kembali ke tempat kerja hingga sekitar pukul 21.30.

Tanggung jawabnya bertambah ketika ada tugas kuliah. Saat itu tiba, ia harus ekstra mengatur waktu agar tidak keteteran. Hidupnya setiap hari penuh kesibukan. Sekadar waktu untuk healing adalah barang mewah.

Bahkan, saat musim liburan tahun baru kemarin, ia tetap sibuk bekerja. Dalam hatinya terbesit rasa iri untuk memiliki kehidupan seperti teman-temannya yang masih punya waktu untuk berlibur dan bisa fokus kuliah saja. Seketika perasaannya itu jadi angin lalu, sebab cita-citanya untuk meningkatkan derajat hidup dan membahagiakan orangtuanya begitu besar. Beruntung, Mawar mendapatkan keadilan, ia menerima bantuan KIP Kuliah sehingga uang pendapatannya cukup membantu kebutuhan keluarganya.

Saya tak memonitor perkembangan akademiknya. Namun, dengar-dengar, IPK-nya di atas tiga semua.

Saya salut dengan semangat kawan mahasiswa seperti itu. Jika saya di posisi mereka, belum tentu kuat. Saya sendiri pernah mencoba bekerja sebagai penulis kontributor di portal media lokal Trenggalek. Namun, itu tak berjalan lama. Setelah kurang lebih 1,5 tahun, akhirnya saya berhenti dan hanya fokus kuliah.

Masih Merasa Kesal

Diam-diam, pola pikir pragmatis yang berorientasi serbapraktis mulai tumbuh di benak mahasiswa pekerja, meski tak semuanya begitu. Masih ada juga mahasiswa yang nyambi kerja, tapi tetap bisa berpikir kritis. Namun, keberadaan mereka selayaknya polisi jujur di Wakanda, sangat langka.

Pola pikir itu muncul bukan tanpa sebab. Kondisi hidup yang pelik membuat mereka berpikir bagaimana bertahan hidup secara layak. Alhasil, untuk berpikir kritis saja mereka tak berani. Takut KIP Kuliah dicabut. Takut dipecat dari tempat kerja.

Orientasi serbapraktis juga dianut oleh PMII yang melabeli diri organisasi pergerakan mahasiswa. Haluan organisasi PMII cenderung pragmatis. Saat ada kegiatan yang bisa memberikan keuntungan langsung seperti sosialisasi yang ada uang sakunya, mereka antusias. Namun, saat diajak aksi, begitu sepi. Sangat miris dan ironis.

Telah riuh wacana di internet yang membahas pragmatisme dan gigi mundur pergerakan mahasiswa. Kebanyakan meneriakkan agar para mahasiswa kembali bangkit dan memainkan perannya sebagai agen perubahan. Melihat realitas di lapangan, saya mengamini kritikan itu.

Dari sekian contoh kasus yang ada di sekitar saya, yang paling bikin kesal adalah mahasiswa yang sudahlah menerima KIP Kuliah, masih bekerja pula padahal berasal dari keluarga mampu. Alih-alih untuk keperluan kuliah, uang mereka justru dihabiskan untuk memenuhi gaya hidup dan membeli barang tersier.

Sebenarnya itu hak mereka. Akan tetapi, karena sering flexing di media sosial, mereka jadi secara tidak langsung turut menyebarluaskan pola pikir pragmatis. Ironisnya lagi, para pelakunya juga ada yang dari PMII. Jadi, kerusakan yang ditimbulkan bertambah. Mereka menjadikan organisasi sebagai batu loncatan pemenuhan hidup yang dilatarbelakangi pemikiran pragmatis.

Baca juga:

Berjibaku dengan lingkungan kampus yang karakteristik mahasiswanya seperti itu cukup dilematis. Di satu sisi, saya kasihan, tetapi tetap ada rasa kesal.

“Memang apa urusan kamu? Toh, itu hidup mereka.”

Oke, itu urusan orang lain. Saya tidak perlu memikirkan apalagi menghardik. Akan tetapi, kalau tiap hari bertemu, lama-lama saya sebal juga. Lagipula, yang bikin saya kesal bukan orangnya, tapi kondisi lingkungan yang mereka timbulkan.

 

Editor: Emma Amelia

Beni Kusuma Wardani
Beni Kusuma Wardani Pengagum Severus Snape dan Uchiha Itachi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email